SUARA PEMBARUAN DAILY

Keberhasilan Malino

Sarlito W Sarwono

Di tengah skeptisme opini publik, beberapa bulan yang lalu Menko Jusuf Kalla memprakarsai pertemuan Malino I untuk mendamaikan pertikaian di Poso. Ternyata sejauh ini hasilnya menggembirakan. Karena itu, Jusuf mencoba strategi yang sama untuk konflik Maluku. Juga di tengah skeptisme opini publik (opini publik memang skeptis terus). Hasilnya pun ternyata sangat optimal karena dua topik krusial yang tadinya dikira (oleh para skeptis) tidak akan bisa diselesaikan (yaitu masalah Laskar Jihad dan RMS/Laskar Kristus), ternyata tetap bisa dituangkan dalam kesepakatan dan setelah itu para delegasi berpelukan.

Dua sukses luar biasa yang sangat langka, yang sulit dicapai oleh Gubernur DKI (dalam mengatasi tawuran warga), para kepala sekolah (tawuran). Bahkan Amerika Serikat sekalipun (yang belum berhasil mendamaikan Palestina dan Israel, sejak Camp David sampai hari ini).

Mengapa bisa begitu? Karena walaupun bukan pakar psikologi, Jusuf melakukannya persis seperti yang dianjurkan dalam hampir setiap buku teks psikologi sosial, khususnya tentang penyelesaian konflik.

Langkah-langkah

Hampir setiap literatur psikologi sosial (yang sering juga diretorikakan oleh politisi, pengamat sosial dan pengunjuk rasa) menyatakan bahwa langkah penyelesaian konflik harus diawali dengan dua hal yaitu iktikad baik dan perundingan (istilah retorikanya: ''duduk bersama''). Tetapi untuk mewujudkan kedua prasyarat itu, perlu ada mediator atau fasilitator yang juga beriktikad baik (tidak punya agenda tersembunyi).

Peran fasilitator inilah yang dilaksanakan oleh Jusuf Kalla. Iktikad baik Jusuf terbukti dari kenyataan bahwa dia dipercayai oleh pihak-pihak yang bertikai baik di Poso maupun di Maluku (Ambon). Tanpa kepercayaan itu tidak mungkin ia mengajak pihak-pihak itu untuk duduk bersama (terbukti juga masih ada fraksi-fraksi kecil di kedua golongan yang tidak mau ikut ke Malino).

Tetapi kepercayaan itu harus diikuti dengan tindak lanjut yang rinci yang membutuhkan kesabaran, keuletan dan pikiran jernih serta harus jauh dari motivasi politik. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi kelompok-kelompok mana saja yang sesungguhnya saling bertikai dan siapa tokoh dari masing-masing kelompok itu (kegagalan AS di Timur Tengah adalah karena mereka mengira bahwa Yitzak Rabin mewakili seluruh kelompok Israel dan Arafat adalah satu-satunya wakil Palestina). Setelah itu semua pihak dan tokoh harus didekati dan diyakinkan tentang adanya peluang untuk rekonsiliasi (pada dasarnya semua orang ingin damai). Ini pekerjaan tim yang sangat berat dan melibatkan tugas-tugas intelijen, sosial-kemasyarakatan sampai diplomasi.

Setelah ada kesediaan (belum perlu komitmen dulu) dari para tokoh dan kelompok masing-masing untuk bernegosiasi, barulah disiapkan dan dilaksanakan ''duduk bersama''. Ini pun merupaka tugas yang sangat sulit, karena kesalahan sedikit saja (misalnya: keterlambatan pesawat terbang, atau salah penempatan kamar di hotel, bahkan kesalahan menyebut nama delegasi), bisa memanaskan suasana kembali (karena semua orang masih paranoid) dan menggagalkan seluruh rencana.

Sementara itu, tempat perundingan itu sendiri haruslah tempat yang netral, yang jauh dari suasana lingkungan pertikaian dan jauh dari pengaruh provokator lokal, nasional maupun internasinoal. Di tempat itu, (Jusuf memilih Malino) kedua kelompok harus dipersiapkan mental dahulu secara terpisah sebelum didudukkan bersama (termasuk diajak bersantai dan bercanda). Akhirnya, pada saat duduk bersama itu fasilitator (dalam hal ini Jusuf Kalla sendiri) harus sangat berhati-hati (agar tidak salah bicara) tetapi juga cukup rileks (agar peserta tidak makin tegang dan bertambah paranoid) untuk bisa menghasilkan kesepakatan.

Jusuf Kalla memimpin perundingan akhir dengan sukses bukan karena dia pakar psikologi atau terlatih sebagai negosiator, tetapi karena iktikad baiknya sehingga dia tetap mendapat kepercayaan dari kedua pihak sampai detik-detik terakhir perundingan. Dengan modal kepercayaan itulah ia membimbing pihak-pihak yang bertikai untuk merumuskan kesepakatan, termasuk tentang dua masalah krusial tersebut di atas.

Sebetulnya usaha Jusuf Kalla bukan yang pertama kali dilakukan pemerintah. Akhir tahun 2000 atau awal 2001, Menteri Masalah-masalah Kemasyarakatan, Anak Agung Gde Agung, pernah meminta bantuan saya dan Prof Dr Judo Purwowidagdo (intelektual Kristen, sekarang Rektor Ukrida Jakarta) untuk mendamaikan pertikaian di Maluku Utara.

Cara pendekatan dan langkah-langkah yang kami rencanakan pada waktu itu persis seperti yang sudah dilakukan Jusuf Kalla. Mulai dengan menghimpun tokoh-tokoh Maluku Utara di Jakarta (Islam dan Kristen), kami mencoba mengidentifikasi inti persoalan, lokasi dan kelompok-kelompok yang bertikai. Dengan menggunakan dana dari tokoh-tokoh masyarakat Maluku Utara di Jakarta, pada waktu itu sudah sempat dikirim tim-tim kecil ke lokasi-lokasi pertikaian untuk mulai melakukan pendekatan.

Setelah ada respons yang positif (komunikasi terus berlangsung antara tim di lapangan dengan tim Jakarta), dipersiapkan tempat pertemuan (rencananya di Bali dengan transit di Menado). Sarana angkutan pun mulai disiapkan dan diminta bantuan dari pihak swasta (perusahaan penerbangan, pertambangan, pelayaran sampai TNI AU dan AL). Sayangnya, upaya tersebut kandas pada saat-saat terakhir, karena biaya yang sangat terbatas dari kementerian MMK dan situasi politik pada masa itu (Presiden Gus Dur) yang tidak memungkinkan Menteri MMK mendapat dukungan penuh dari jajaran lain dari pemerintah.

Tindak Lanjut

Masalahnya sekarang adalah bagaimana melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang sebanyak 10 butir untuk Poso dan 11 untuk Maluku (karena ada pasal tentang Universitas Pattimura). Salah satu persyaratannya, semua butir itu harus dilaksanakan secepat-cepatnya (Jusuf Kalla me- nargetkan satu tahun) dengan prioritas yang sama. Tidak boleh, misalnya, penegakan hukum dulu, baru meletakkan senjata, karena kalau begitu ''penegakan hukum'' hanya akan berarti balas dendam atau ''hukum rimba''.

Persyaratan berikutnya adalah bahwa semua pihak harus terus-menerus mengembangkan persamaan, bukan memperuncing perbedaan. Pawai bersama antargolongan-golongan yang bertikai di Ambon. tanggal 1 Maret 2002 lalu, merupakan indikasi bahwa perdamaian itu memang ada di hati rakyat di tingkat akar rumput.

Penulis adalah Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia.

Last modified: 7/3/2002

Kirim email ke