Sudah bukan rahasia lagi bahwa peran orang tua bagi anaknya telah banyak tergantikan di dalam masyarakat modern. Kita bisa melihat di sekitar kita beberapa contohnya: ada berapa banyak anak yang lebih banyak meluangkan waktu bersama baby-sitter-nya dibandingkan bersama orang tuanya sendiri? Ada berapa banyak anak pula yang ditemani oleh televisi dan DVD untuk mengisi waktu bermainnya, dibandingkan bersama kedua orang tuanya sendiri? Ada berapa banyak bentuk jasa penitipan anak, sehingga anak-anak tidak lagi dapat mengenal orang tuanya sendiri lewat berbagai permainan? Mungkin karena orang tuanya memang terlalu sibuk bekerja akibat tuntutan bertahan hidup di bawah tirani sistem perekonomian yang memojokkan sebagian besar dari kita dengan hanya dua pilihan, mengabdi atau mati. Namun tak bisa dipungkiri, peran orang tua bagi seorang anak telah banyak tergantikan. Hubungan antara orang tua dan anak semakin jauh terpisah. Ironisnya, banyak dari kita yang menyebut keterpisahan ini sebagai sebuah "kemajuan". Dari kesemua contoh kasus mengenai betapa peran seorang orang tua telah tergantikan, ada satu hal yang cukup menyedihkan, namun seringkali diwajarkan oleh masyarakat modern: tergantikannya peran ibu untuk menyusui bayinya.
Selama ribuan generasi, ASI atau Air Susu Ibu merupakan satu-satunya makanan bagi bayi yang baru lahir. Menyusui adalah satu insting yang paling mendasar dalam hubungan antara ibu dan anak. Kolustrum, yaitu cairan kuning kental yang keluar dari puting ibu pada hari-hari pertama setelah melahirkan, merupakan sumber zat gizi, termasuk vitamin A dan E, enzim dan hormon, mencegah berbagai penyakit yang mematikan, menghambat berkembangnya kuman penyakit, serta meningkatkan sistem imunitas (kekebalan) serta memaksimalkan kinerjanya melindungi tubuh. Jadi untuk alasan kesehatan, tentu saja mendapatkan ASI sejak dilahirkan adalah satu hal yang cukup penting bagi seorang bayi. Namun yang terpenting dari semua itu adalah, menyusui kemudian akan mendekatkan hubungan emosional antara ibu dengan bayinya. Menyusui anak adalah aktivitas antara ibu dan anak yang paling alamiah dan naluriah bagi spesies mamalia manapun, sebelum ia diambil alih oleh industri susu pengganti ASI—susu artifisial. Bagi mereka yang telah memiliki anak, tentu saja sudah tidak terlalu asing mendengar berbagai cerita mengenai bagaimana kebanyakan rumah sakit, rumah bersalin—dan bahkan beberapa praktek bidan—memisahkan (secara fisik maupun emosional) antara bayi dari ibunya selama beberapa lama pasca proses persalinan. Kebanyakan bayi dan ibunya dipertemukan hanya pada jam-jam yang telah dijadwalkan oleh pihak rumah sakit. Alasannya pun bervariatif, dari mulai sang ibu membutuhkan istirahat pasca melahirkan, hingga agar sang bayi pun dapat beristirahat dengan tenang. Namun hal tersebut bukanlah sekedar cerita isapan jempol belaka, melainkan suatu kenyataan yang memang terjadi. Biasanya, bayi-bayi ditempatkan di ruangan yang jauh terpisah dari sang ibu selama beberapa hari, "dipertontonkan" pada jam-jam tertentu bagi para penjenguk. Bayi-bayi ini segera merasakan hangatnya selimut dan tempat tidur yang disediakan oleh rumah sakit, menggantikan hangatnya dekapan pertama ibunya sendiri. Para ibu yang baru melahirkan tidak lagi perlu khawatir karena pada jam-jam ini pula para pekerja rumah sakit memberikan susu artifisial di dalam botol kepada bayi secara teratur. Puting ibu pun telah digantikan oleh dot botol susu—yang dalam promosi beberapa produk tertentu, berusaha meyakinkan para ibu bahwa dot tersebut telah didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai puting seorang ibu. Susu artifisial yang beredar di pasaran saat ini kebanyakan adalah susu formula. Artinya susu tersebut sudah mengalami pencampuran dengan bahan-bahan lain sesuai dengan formula yang diinginkan. Maka dikenal adanya susu dengan kalsium tinggi untuk orang tua, susu dengan vitamin tertentu untuk pertumbuhan anak-anak, susu dengan lemak rendah untuk diet, dan seterusnya, termasuk susu khusus balita dan bayi yang baru dilahirkan. Umumnya, susu artifisial berbahan dasar susu sapi, menjadikan manusia sebagai satu-satunya spesies yang "menyusui" dari spesies lain dan meninggalkan air susu ibunya sendiri. Susu artifisial sendiri dapat menjadi berbahaya para bayi karena ia tidak mengandung antibodi-antibodi alami seperti yang tersedia di dalam ASI. Dan karena harga susu artifisial sangat mahal, para orang tua di beberapa negara miskin bahkan mencampurkan sedikit bubuk susu dengan lebih banyak air agar susu tidak cepat habis. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya pasokan gizi yang diterima oleh sang bayi. Sebagai tambahan, kualitas air yang buruk dan tidak steril di beberapa tempat di negara dunia ketiga menyebabkan bayi-bayi yang diberi makan pengganti ASI berpotensi menderita diare dan infeksi yang dapat mematikan. Ini adalah fakta, bahwa ada banyak rumah sakit dan sarana pelayanan persalinan lainnya yang memberikan susu formula kepada bayi sejak dilahirkan sebagai pengganti air susu ibu (ASI). Berbagai alasan diyakinkan oleh pihak rumah sakit, misalnya sang ibu tak dapat memproduksi ASI—pada kenyataannya, sebuah penelitian membuktikan bahwa hanya satu dari seribu ibu yang tidak mampu memproduksi ASI—, hingga berusaha meyakinkan sang ibu bahwa ASI sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan nutrisi bayinya. Beberapa ibu-ibu muda bahkan dibuat "malu" untuk menyusui, seakan-akan pemberian ASI adalah sebuah trend yang telah habis masa jayanya dan digantikan oleh cara yang lebih "modern" untuk pertumbuhan bayi—susu formula di dalam botol. Bagi para ibu yang bersikeras untuk menyusui anaknya, biasanya akan mendapat respon: "ASI saja tidak cukup. Dia perlu tambahan susu formula." Namun, hal tersebut bukanlah semata-mata kebijakan dari rumah sakit sendiri, melainkan strategi pemasaran produsen-produsen susu artifisial yang melakukan kerjasama dengan pihak rumah sakit. Para suster telah berganti peran menjadi SPG-SPG produk susu formula. Ibu melahirkan di sarana pelayanan persalinan memang menjadi pasar utama para produsen susu formula untuk bayi yang baru lahir. Mereka adalah pasar yang sangat mudah dipengaruhi, terutama para ibu muda yang akan mempercayai setiap saran yang diberikan demi keselamatan bayi mereka. Tak jarang pula pihak sarana pelayanan persalinan menjual data dan kontak para mantan pasiennya kepada divisi pemasaran berbagai produsen susu artifisial. Pengumpulan data dan kontak para prospek (prospek adalah bahasa pemasaran yang memiliki arti: "pasar potensial dan memiliki daya beli") adalah salah satu praktek pemasaran yang cukup umum dilakukan, agar pihak produsen dapat mempengaruhi pasar secara langsung dan lebih personal. Tidaklah terlalu mengejutkan ketika sepasang orang tua yang berbahagia siap pulang ke rumah membawa bayinya setelah menginap beberapa hari di sarana pelayanan persalinan—dan tentu saja setelah menuntaskan urusan administrasi—umumnya diberi "bonus" berupa sekaleng susu formula untuk bayi oleh pihak rumah sakit. Yang kemudian tak terhindarkan adalah, sang bayi yang mulai terbiasa mengkonsumsi susu formula sejak ia dipisahkan dari ibunya di rumah sakit, biasanya akan sulit membiasakan dirinya menerima ASI. Semakin keras bayi menolak menyusui langsung dari payudara ibunya, semakin sulit pula sang ibu memproduksi ASI. Hisapan bayi pada puting ibu akan memancing produksi susu, jadi semakin jarang bayi bersentuhan dengan puting ibunya, semakin berkurang pula produksi susunya. Ibu yang tidak menyusui kemudian akan berhenti memproduksi ASI. Ini menjadikan pernyataan rumah sakit bahwa sang ibu yang tak mampu memproduksi ASI, tampak benar, dan sang ibu tak memiliki pilihan lain selain terus memberikan susu formula kepada bayinya. Pada kenyataannya, ASI akan keluar secara alami sebanyak yang dibutuhkan. Yang terjadi setelah sang bayi menolak ASI adalah ketergantungan akan kaleng-kaleng susu formula, semahal apapun harganya. Kedua orang tua yang putus asa pun kemudian mau tidak mau harus bekerja lebih keras lagi agar dapat memenuhi kebutuhan bayinya akan susu formula. Dan semakin keras orang tua bekerja, semakin terpisahlah mereka dengan bayinya. Singkatnya, para produsen susu formula memberikan sampel gratis lewat tangan para suster. Pada saat pemberian sampel gratis dihentikan, produksi ASI sang ibu sudah terlanjur berhenti, sehingga kini sang ibu harus memikirkan cara bagaimana mendapatkan uang lebih untuk dapat terus membeli susu formula. Ini adalah sebuah jebakan pemasaran. Membiasakan bayi menerima susu formula sebagai pengganti ASI juga adalah kebiasaan yang sangat mahal. Penjualan susu formula untuk bayi di Indonesia saja menghasilkan profit sebesar 11 miliar dollar AS setiap tahunnya. Ini jumlah yang sangat besar dan tentu saja sangat menggiurkan para produsen susu artifisial manapun. Maka sangat masuk akal apabila para produsen susu artifisialpun terus melancarkan kampanye anti-ASI melalui berbagai sarana pelayanan persalinan, sebab apabila semua ibu memutuskan untuk menyusui anaknya secara aman, steril dan gratis langsung dari payudaranya, tak ada lagi susu formula yang terjual. Sekarang, mari kita berkenalan dengan salah satu produsen susu artifisial yang paling sukses dalam menipu para ibu lewat jebakan pemasarannya, sebuah korporasi yang pertama kali memulai semua petaka ini dan masih sukses mengambil alih peran ibu yang paling esensial—menyusui—sampai hari ini: Nestlé. http://apokalips.org/index.php?option=com_content&task=view&id=158&Itemid=92