** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** Catatan Laluta: ... ''ANGGAPLAH Ibu mati, kapan pulang jangan dipikir,'' ucap Lestari, 74, dengan ikhlas kepada anak-anaknya sekitar 13 tahun silam. Tidak ada keraguan dalam kalimat yang disampaikannya itu...''Enakkan di sini, bebas ngomong apa saja,'' ujar Siti. ...(lihat berita selengkapnya dibawah...) Apa sebenarnya yang terjadi pada Peristiwa Berdarah 1965? Apa yang dialami dan dilakukan oleh sang Anak Tapol sampai saát ini? Untuk itu kusajikan Ekspresi dan Refelksi diri karya tulisan A. Kohar Ibrahim berjudul "Upaya Penghancuran Keturunan Yang Tersisa".
La Luta Continua! *** Upaya Penghancuran Keturunan Yang Tersisa Tingkap : Sekitar Tembok Berlin (22) Oleh : A. Kohar Ibrahim Jikalau dalam aksi penghancur-binasaan itu jumlah orang dewasa atau orang-tua sampai beratus-ratus ribu bahkan sejuta dua juta yang dibantai maupun dipenjarakan atau dibuang ke kamp konsentrasi seperti Pulau Buru, maka berapa banyakkah anak keturunan yang terpaka tertinggalkan ? Anak-anak dari yang masih balita sampai yang muda remaja pula ? Ketika dalam kesempatan bertukar pikiran beberapa kali dengan para pemuda mahasiswa di bagian barat kota Berlin itu, perihal anak-anak tawanan yang menderita juga jadi perhatian adanya. Maka pembicaraan semakin hangat ketika Elke Herold memperlihatkan sebuah fotokopy foto-foto dokumentasi kekejaman kaum fasis Nazi. Di antara berjuta-juta orang yang dijadikan sasaran aksi kekejaman kaum Nazi itu memang termasuk anak-anak pula. Selain tak terbilang banyaknya anak-anak para tawanan yang terpaksa hidup dalam persembunyian, disembunyikan orang, jadi pelarian dan juga yang hidupnya terlunta-lunta atau jadi anak gelandangan. Sedangkan anak-anak yang masih ada ibu kandung yang mengurusnya atau diurus oleh anggota keluarga lainnya dan atau jadi angkat-angkat, kehidupannya pun tak lepas dari beragam penderitaan. Semata-mata karena mereka adalah anak-anak keturunan kaum yang mendapat cap yang kejam dan keji. Sebagai anak-anak yang danggap « tidak bersih dari lingkungan ». Jelasnya : sebagai anak-anak keturunan dari mereka yang dituduh « langsung maupun tak langsung terlibat G30S/PKI ». Maka dari itu mereka tidak mendapat perlakuan seperti anak-anak lainnya, baik di dalam lingkungan pendidikan atau di luar itu ; baik ketika masih bocah maupun setelah jadi remaja bahkan dewasa. Mereka tercatat dengan cap « tidak bersih dari lingkungan ». Konsekwensinya tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah negeri, pun kemudian tidak bisa diterima sebagai pegawai negeri atau menjalani profesi yang dianggap strategis yang bisa membahayakan kekuasaan negara. Tak terbilang banyaknya anak-anak yang menderita karena tertinggalkan orang tuanya yang ditangkap atau dibunuh atau menyaksikan sendiri tragedi yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965. Dari beribu-ribu naka-anak yang di-tapol-kan dan yang mengalami ragam macam penderitaan, adalah sejumlah diantaranya yang berhasil survive. Survive baik yang terus tumbuh membesar serta jadi dewasa di Indonesia, survive juga ada yang entah karena keberuntungan bisa hidup di mancanegara. Salah seorang diantaranya, ada suaranya yang di kemudian hari kami siarkan di majalah Arena nomor 26. Berjudul : « Renungan Anak Seorang Tapol Tentang Gerakan 30 September ». Dalam mana sang Anak Tapol itu secara jujur mengaku telah terpaksa dalam hal hal tertentu memakai topeng « ketidak-jujuran ». Harus berdusta, demi keselamatan dirinya. Semata-mata karena mendapat cap seorang anak « tapol ». Suatu keadaan yang menyakitkan. Karena tidak bisa menyatakan jati dirinya dalam suasana tercengkam ketakutan yang berkepanjangan. Hanya setelah dia berada di luar negeri, bermukim di suatu negeri yang menghargai hak-hak azasi manusialah dia merasa terbebaskan dari rasa ketakutan yang mencengkam dan selalu mebayang-bayanginya. « Pada bulan-bulan September dan Oktober seperti sekarang ini aku sering teringat ketika masih dudul dibangku SMP, » kenang sang Anak Tapol dalam renungannya itu. Selanjutnya menegaskan, « Suatu pagi ketika aku hendak siap-siap pergi ke sekolah, tiba-tiba ada berita dari salah seorang teman bila sekolahan ditutup untuk sementara. » « Sekolahan ditutup berhubungan dengan semakin ramainya pertikaian politik. Beberapa guru pengajar tidak masuk dan terakhir aku dengar mereka ditangkap untuk dimasukkan ke dalam penjara, karena mereka adalah anggota PGRI yang beraliansi dengan PKI. PKI sendiri dituduh sebagai dalang pembunuhan para Jendral di Ibukota. Karena tidak pergi ke sekolah, maka seperti biasa aku ingin menghabiskan waktuku main-main di Sungai Brantas yang lokasinya tidak seberapa jauh dari rumah. Namun keputusan itu ternyata keliru besar buat perkembangan jiwaku. Karena di Sungai Brantas aku melihat suatu pemandangan yang membuat aku susah menelan makanan untuk beberapa waktu lamanya. Bahkan aku percaya, jika bukan saja manusia yang punya perasaan sensistif seperti aku yang akan terganggu dengan pemandangan itu. Setiap orang yang memiliki rasa kemanusiaan pasti akan terganggu. » « Betapa tidak, » lanjut sang Anak Tapol dalam renungannya itu. « Hari itu aku menyaksikan dengan mataku berderet-deret tubuh manusia mengapung di atas sungai tanpa kepala dan tangan masih terikat di belakang. Begitu banyak mayat manusia terbawa arus sungai dan ada pula yang parkir di tebing sungai dengan keroyokan lalat untuk kembali hanyut ke mulut sungai. Pemandangan semacam itu tidak pernah aku lupakan sampai saat ini Bulan-bulan akhir tahun 1965 adalah merupakan periode benar-benar mengusik jiwaku. Ruang gerakku sebagai anak kecil yang punya begitu banyak energi dan inisiatif benar-benar dibatasi. Aku sering dilarang pergi di luar rumah. Karena di luar rumah kedengaran sangat menyeramkan. Dan memang begitulah keadaannya. » « Suatu pagi ketika aku pergi berbelanja ke pasar bersama seorang pembantu rumah tanggaku, aku melihat kumpulan orang nampak sangat tegang. Ada yang menangis terisak-isak, ada yang menutupi hidung dengan sarung dan banyak lagi diantara mereka yang bilang « innalillahi wainnillilahi » Ketika aku sendiri sampai di tempat kerubunan itu, aku melihat tubuh perempuan dengan kepalanya terpisah dari tubuhnya dengan tulisan GERWANI ». Selanjutnya sang Anak Tapol mengutarakan rasa ketakutan,gelisah dan duka yang mencengkam seluruh keluarga. Terutama sekali setelah selain ayah, juga abang sulungnya ditangkap dan abang lainnya mati terbunuh. Beberapa waktu kemudian, ibunya pun meninggal lantaran menanggung derita sedih yang menyakitkan. Begitu pun dia masih merasa lebih beruntung kebanding yang dialami oleh orang banyak lainnya. « Terutama buat mereka yang keluarganya termasuk dalam deretan nama-nama orang yang dibinasakan dengan peluru maupun pedang, » jelasnya. « Aku masih ingat seorang teman sekolah SD-ku yang bernama Saluki. Ketika ayah ibunya dibunuh dan mayatnya dibuang ke Sungai Brantas, ia harus hidup sebagai pengamen jalanan. Bila dibandingkan dengan nasib Saluki, aku masih jauh beruntung. Berapa lagi bocah seperti Saluki ? Aku tahu masih ada beberapa lagi. Tapi di Indonesia mungkin sebanyak mayat-mayat yang lalu lalang di sungai-sungai, yang bertumpukan di jurang-jurang, yang berjejal-jejal di dalam liang-liang dangkal galian mereka sendiri. » Pertanyaan sang Anak Tapol, berapa banyak bocah-bocah semacam Saluki ? Mengingat banyaknya jumlah korban keganasan teror yang dilancarkan kaum militeris Orba, jumlah anak-anak tapol yang tertelantarkan pastilah berpuluh-puluh ribu orang ! Selain kisah-kisah tukang ngamen di jalanan seperti Saluki, ada juga yang untuk survive terpaksa harus mengais tempat-tempat sampah. Malah pernah terjadi, ketika seorang ibu tapol sedang membuang sampah dari rumah tahanannya, dia menjumpai bocah yang sedang mengais tempat pembuangan sampah. Dan bocah itu ternyata anaknya sendiri ! Yang dikenalinya berkat seutas kain yang dikenakan sang bocah yang ditinggalkannya hingga hidupnya terlunta-lunta selama beberapa tahun ! Apa yang dialami dan dilakukan oleh sang Anak Tapol dan yang seperti Saluki itu memang juga dialami dan dilakukan oleh banyak anak-anak tapol lainnya. Untuk survive. Untuk terus mengayomi hidup dan kehidupan sekalipun dalam suasana teror dan kesengsaraan luar biasa. Kemudian, baru sekian puluh tahun kemudian, ketika mantan eks-tapol dan juga sanak-beranak keturunan mereka mulai menghirup kembali segarnya angin kebebasan setelah berkobarnya Gerakan Reformasi 1998. Maka sedikit demi sedikit umum dapat mengetahui wajah-wajah sekalian suara mereka yang sebenarnya. Sekalipun masih amat terbatas lantaran masih dibatasi dengan berbagai cara. Seperti salah satunya adalah anak mantan-tapol yang selain giat sebagai aktivis juga dengan berani menulis buku berjudul : « Aku Bangga Jadi Anak PKI ». Penulis buku yang selain menunjukkan keberaniannya, juga mengajukan judul karya tulisnya itu benar benar seperti cahya kilat berdenyar teriring halilintar. Lebih menakjubkan lagi, penulis yang bernama Ribka Tjiptaning Proletariati itu ternyata adalah putri RM Soeripto Tjondrosaputro, anggota PKI dari kalangan ningrat Yogyakarta. Sang ayah sempat dijebloskan ke dalam penjara rezim Orde Baru. Sedangkan ibunya menjadi tahanan kota. « Karena itu, » tulis Penerbit.net. « Ribka yang ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus berusia tujuh tahun, mesti menjalani masa kecil serba kekurangan. » Daya upaya dengan segala cara dari kaum anti-komunis internasional dan nasional yang diwakili rezim Orde Baru untuk menghancur-habiskan yang jadi sasaran sampai ke sisa-sisa keturunannya, rupanya mengungkapkan pula sisi lain. Sisi yang berbeda : dari yang nampaknya keputus-asaan berubah menjadi kesinambungan asa selayaknya. *** (seri Tingkap: Sekitar Tembok Berlin ini bersambung sampai jilit 25) * A. KOHAR IBRAHIM lahir di Jakarta, 1942. Bermukim di Brussel, Belgia. Jurnalis, Penulis, Pelukis. Anggota dewan redaksi Zaman Baru, yang Dewan Redaksinya dipimpin oleh Rivai Apin dan pemimpin umumnya S. Anantaguna. Sejak tahun 1950-an sampai sekarang karya tulisan dimuat diberbagai media massa cetak dan elektronika a.l.Seri karya tulisan IMPRESI DARI EROPA (http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewcat&cid=67), Kolom BUNG KOHAR (http://kolom.depokmetro.com/v2/view.php?kat_id=1&rubrik_id=23&id=3808) *** Merajut Senja di Panti Jompo http://www.media-indonesia.com/ ''ANGGAPLAH Ibu mati, kapan pulang jangan dipikir,'' ucap Lestari, 74, dengan ikhlas kepada anak-anaknya sekitar 13 tahun silam. Tidak ada keraguan dalam kalimat yang disampaikannya itu. Nada bicaranya tegas sama seperti keputusannya untuk menyimpan rapat-rapat kenangan bersama lima buah hatinya di Surabaya. Sekarang, wanita bertubuh kurus dan berambut putih itu tinggal bersama rekan-rekannya berusia lanjut di sebuah rumah mungil di Jalan Kramat V Nomor 1 C Jakarta Pusat. Di tempat yang bernama Panti Jompo Yayasan Waluya Sejati Abadi tersebut terdapat delapan wanita dan tiga pria lanjut usia (lansia). Mereka ini 'korban politik' --mantan tahanan politik (tapol) kasus G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia)-- masa lalu. Lestari, memilih tinggal di panti jompo itu lantaran tak ingin menyusahkan anaknya, sebab cap tapol PKI masih melekat. Pada 1968 Dia dicokok aparat di Malang, Jawa Timur (Jatim) karena dituduh terkait dengan aktivitas Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)--underbow PKI--Jatim. Begitu pula dengan Soedjinah, 78. Wanita ini malahan salah seorang pengurus Gerwani Pusat. Mantan wartawati Harian Rakjat dan Bintang Timoer itu, memilih hidup sendiri setelah suaminya meninggal dunia saat bergerilya melawan pendudukan Jepang. Lestari dan Soedjinah merupakan sahabat lama saat menghadiri kongres Gerwani di Surabaya, pada 1951. Penghuni lainnya, Siti Komariah, 79, merasa betah tinggal di panti meski baru satu tahun. Sebelumnya nenek ini serumah dengan keponakannya di Kendal, Semarang, Jawa Tengah (Jateng) tetapi merasa tertekan lantaran di tempat itu ia harus terkungkung dalam aturan sang keponakan yang melarangnya pergi ke mana-mana. ''Enakkan di sini, bebas ngomong apa saja,'' ujar Siti. Setiap hari, mulai matahari terbit para penghuni panti ini mulai beraktivitas layaknya ibu rumah tangga. Urusan masak-memasak dikerjakan Lestari, sedangkan mencuci pakaian dilakukan mereka secara bergantian, begitu pula dengan membersihkan rumah dikerjakan secara gotong-royong. Aktivitas lainnya, secara rutin mereka membaca koran pagi serta nongkrong di muka televisi menyaksikan sinetron, tidak lupa program berita sebagai acara favorit. Selebihnya para mantan aktivis politik ini melakukan diskusi dengan beragam tema, mulai sosial, budaya sampai politik. Bahkan ada pula di antara mereka yang rajin mengikuti seminar, maupun turun ke jalan mengkritisi kebijakan pemerintah. Untuk melakukan semua kegiatan di rumah jompo ini, Yayasan Waluya Sejati Abadi harus merogoh kocek Rp2 juta per bulan. Selain yayasan, tidak sedikit pula donatur yang menggelontorkan rupiah ke rumah itu. Bagi warga sekitar, apa yang dilakukan di rumah bercat putih kusam itu lazimnya rumah tangga biasa. ''Kami merasa tidak terganggu walau mereka mantan tapol,'' kata Saiful, 21, warga Kramat V. (*/M-3). Informasi tentang KUDETA 65/ Coup d'etat '65, Klik: http://www.progind.net/ http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ --------------------------------- Yahoo! for Good Click here to donate to the Hurricane Katrina relief effort. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now. http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.org ** ** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **