** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Mawar Merah Café Bandar:
ADAKAH GEJALA "EKKLUSIVISME" DALAM DUNIA SASTRA KITA HARI INI? "Eklusivisme" oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia [terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka, 1988, hlm. 221] diartikan sebagai "paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat", sedangkan "ekslusif" dirumuskan sebagai "terpisah dari yang lain; khusus", "tidak termasuk" [ibid]. Pertanyaan saya:Adakah gejala demikian dalam sastra Indonesia sekarang, terutama yang kita dapatkan dalam pers cetak dan entah berapa milis yang sekarang marak berkembang? Jika ada, apakah dasar pembenaran eklusivisme ini? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, saya membedakannya "sastra-seni murni" seperti yang pernah diajukan oleh Shantined, cerpenis, penyair dan pemikir dari Balikpapan, Kalimantan Timur, dalam sebuah diskusi tahun 2005, dengan "eklusivisme. Karena "sastra-seni murni" saya pahamkan sebagai menempatkan "sastra-seni sebagai republik berdaulat" dan sastrawan-seniman adalah warga dari republik berdaulat ini. Sebagai warga dari republik berdaulat sastra-seni, seniman memiliki kebebasan berpikir, mengungkapkan diri secara merdeka, dan untuk itu ia tidak mungkin menjadi seorang eklusifistis. Setuju tidaknya pembaca atau siapa pun tentang isi dan cara pengungkapan mereka, ini adalah soal lain, masalah yang membuka pintu ruang perdebatan -- hal berguna bagi peningkatan pemahaman dan pencarian akan nilai-nilai hakiki.Dan dalam pencarian nilai untuk memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat [termasuk pemanusiawian diri sendiri], melalui debat jujur begini, apriorisme varian dari su byektivisme, ketakutan serta cari selamat, menjadi racun mematikan untuk melaksanakan tujuan demikian. Republik berdaulat sastra-seni, jika pemahaman saya benar, adalah wilayah terbuka dan para warganya adalah juga bersikap terbuka tanpa terjangkit otoritarianisme psikhologis, pola pikir dan mentalitas[dengan berbagai varian seperti paternalisme, neo-feodalisme, militerisme, sektarianisme, egoisme yang anti masyarakat dan kehidupan bersama] -- baik disadari atau tidak. Terbuka, kuartikan sebagai berbudaya, beradab, berbeda dengan kesukaan maki-maki dan hantam kromo terutama terhadap angkatan pendahulunya untuk menarik perhatian dan mendapatkan pengakuan keberadaan diri, sementara argumentasi nalar dijadikan sebagai hal yang tidak dianggap perlu. Masalah ini saya sentuh ulang, karena wajah haridepan tergantung dan ditentukan oleh kualitas angkatan mudanya. Jika wajah pikir dan wawasan angkatan mudanya brengsek, maka haridepan bangsa dan kemanusiawian pun akan brengsek, walau pun kemanusiaan akan menemukan jalan penyelamatan diri dengan mencampakkan kebrengsekan demikian. Benar juga bahwa mutu dan wajah pola, pikir dan mentalitas angkatan penerus tidak lepas dari angkatan pendahulu dan situasi dalam dan luar negeri] di mana mereka lahir dan diasuh. Hanya saja: Betapa pun tidak gampang, mengapa tidak mereka berusaha membebaskan diri dari belenggu dan menjadi diri sendiri yang bertangungjawab dan berpinsip manusiawi dengan menyaring pengalaman-pengalaman masa silam memburu esok dan bukan semata mengejar pengakuan sebagai ini atau itu yang hampa makna secara hakiki? Gelar kesarjanaan bukanlah jaminan mutu anak manusia. Pengakuan bagiku tidak usah dituntut tapi merupakah buah kerja dan kreativitas. Menuntut dan otoproklamasi tanpa hasil kerja dan kreativitas tidak lain sikap memalukan tidak tahu diri, seperti kata tetua kita: "besar pasak daripada tiang". "Dengan kail panjang sejengkal mau mengukur dalamnya laut", ujud dari ulah kekanak-kanakan yang lucu. Barangkali sikap beginilah yang antara lain turun menyebabkan adanya [kalau benar] terjadinya, eklusivisme sastra, di mana para sastrawan dan yang mengaku diri sastrawan asyik dengan diri sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh angka terbesar tema yang dipilih oleh para peserta "lomba" puisi milis [EMAIL PROTECTED] yang sekarang sedang dinilai oleh para 'juri'. Menurut keterangan Mila Dochlun sebagai salah seorang penanggungjawab 'lomba' ini sebagian besar tema yang dipilih oleh para peserta adalah masalah cinta dan kehilangan. Saya tidak anti pengangkatan tema ini, tapi masalahnya terletak pada bagaimana melihat dan mengolahnya. Jawaban terhadap pertanyaan inilah di samping bagaimana mengungkapkannya menentukan kadar karya dan penulisnya serta mempunyai pengaruh terhadap terasing tidaknya sastra-seni dari kehidupan bermasyarakat ataukah hanya berasyik-asyik di lingkup sempit bernama ekslusivitas sastra yang merasa diri, hanya mau dipahami tapi tidak ma u memahami, sebagai dunia tersendiri [le monde à part] yang berada di atas segala lapisan masyarakat lainnya, padahal dari segi sejarah sastra, anggapan begini sudah menyalahi kenyataan. Di sinilah saya melihat "Lagu Diam" karya Rasahgelo yang disiarkan oleh milis [EMAIL PROTECTED] <[01 Maret 2006] tampil padu sebagai sebuah puisi dengan menampilkan hal hakiki menjawab situasi dan lingkungan melalui kerinduannya pada kekasih [?]. Puisi ini sederhana, mendalam tapi tetap menjaga masalah puitisitas. Adanya puisi seperti puisi Rasahgelo sekaligus membantah anggapan bahwa karya-karya yang disiarkan di milis sama dengan karya "keranjang sampah" sekaligus patut menarik perhatian para kritikus dan pengkaji sastra obyektif bahwa studi sastra Indonesia yang obyektif dan layak, tidak bisa mengabaikan karya-karya di milis. Dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan dari segi penyebaran. Media cetak, bukan satu-satunya yang bisa menggagahi orang sebagai standar tunggal. Kepongahan begini sudah jadi masa silam. Eklusivitas ini menampakkkan diri pada adanya yang disebut antara lain "puisi-puisi gelap", "seksisme" atau "setubuhisme" atas nama pemberontakan atas penindasan perempuan atau gender, padahal sesungguhnya menyerah pada keadaan "uang sebagai raja" [l'argent est roi] perujudan pengaruh dari globalisme sebagai puncak kekinian dari perkembangan kapitalisme yang bahkan ditentang oleh para pemilik kapital dan majikan [le patronat] di Perancis [Lihat: Le Monde Diplomatique, Paris, Mars 2006, hlm. 25]. Eklusivisme, kalau pemahaman saya benar, tidak lain dari kedangkalan pemahaman akan posisi sastra dalam masyarakat serta apa sesungguhnya sastra-seni itu sendiri atau sengaja mendangkalkan makna sastra-seni. Saya ingin mengatakan bahwa eklusivisme sastra begini sebagai "puritanisme sastra" [saya membedakannya dengan sastra-seniu murni dalam artian republik berdaulat sastra-seni!]. Puritanisme yang sebenarnya tidak lain dari sektarisme umumnya lepas dari situasi obyektif masyarakat, ujud dari ketidakberdayaan berpikir, dan puritanisme satu akan dijawab oleh puritanisme lain. Dari segi inilah saya memahami lahirnya ide Rencana Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi -- ujud dari "puritanisme" dicampur dengan kepentingan politik pihak-pihak tertentu yang sektaris. Agaknya sektarisme sudah demikian berpengaruh di Indonesia sehingga mengaburkan makna konsep Republik dan Indonesia bahkan manusia itu sendiri. Dari kekaburan ini muncullah kekerasan yang merembet ke mana-mana sampai ke soal bahasa [Lihat:Budiawan, "Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasi Masa Depannya Masa Lalu", in: "Jalan Panjang Mencari Kebenaran", Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 5. No.2, 2005, Habibie Center, Jakarta, hlm.30-37; lihat juga: Myriam Revaul d'Alonnes, "La Liberté de dire et la liberté de croire", Harian La Croix, Paris, 21 Februari 2006]. Dan juga sastra atau yang disebut sastra serta secara otoproklamasi dinyatakan sebagai sastra. Berpengaruhnya sektarisme di negeri ini, saya lihat sebagai pernyataan dari "kekosongan" [jika menggunakan istilah sosiolog Perancis dari l'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, l'EHESS, Paris], Alain Touraine], ujud dari adanya disorientasi setelah runtuhnya Tembok Berlin. Sektarisme bukanlah jalan keluar bagi Indonesia, seb aliknya hanya akan menghancurkannya. Sedangkan ekslusivisme sastra hanya akan membuat sastra-seni jadi steril tanpa tanggungjawab manusiawi. Pandangan begini tak usah disangkutkan dengan pandangan avant-gardists tapi lebih mempertanyakan apakah tesis sastra-seni sebagai republik berdaulat dan para warganya yang bernama sastrawan -seniman masih berlaku dan mempunyai tanggungjawab ataukah tidak lain dari orang-orang eklusif yang asyik dengan diri sendiri tanpa tanggungjawab manusiawi, asyik dengan memburu ketenaran egoistik, dibius oleh globalisme kapitalis di mana "uang adalah raja", secara tidak sadar? Apakah pertanyaan yang kutulis dari meja "Café Bandar" ini keliru? Jika demikian, tolong katakan kepadaku di mana kekeliruanku setelah membaca sekian banyak media cetak dan milis yang sekarang marak berkembang -- dari mana bahan-bahan mentah berlimpah kudapatkan untuk dicermati terutama dari segi antropologi mentalitas -- cabang ilmu yang cukup berkembang di Perancis sekarang. Pertanyaan pokok saya adalah adakah ekslusivisme dalam sastra Indonesia hari ini, dan apakah eklusivisme tidak menjangkiti sastra kita hari ini? Sekedar satu pertanyaan dari seorang awam yang mencintai sastra-seni.*** Paris, Maret 2006. ---------------- JJ. Kusni [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **