http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/26/opi02.htm
tajuk rencana "Bau'' Kampanye dan Pendidikan Politik Pilkada - Apa yang sebenarnya tidak bisa dipolitisasi di negeri ini? Jangankan suatu perkumpulan massa yang potensial berbicara mengatasnamakan kelompok tertentu, bahkan kegiatan olahraga pun bisa dibelokkan demi suatu kepentingan politik. Pernah terjadi di provinsi ini, kostum kesebelasan sengaja di-setting agar asosiatif dengan simbol warna partai politik; atau kepengurusan yang didominasi oleh orang-orang dari suatu parpol, dan semacamnya. Maka ketika Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah Kota Semarang menemukan indikasi kampanye kandidat wali kota dalam acara ulang tahun ke-4 Panser Biru, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang mengejutkan. Hanya memang terasa eman-eman kalau benar aktivitas kelompok suporter itu bisa tersusupi oleh ''bau'' kampanye. - Pada satu sisi, kita menangkap hal itu sebagai dinamika biasa. Namun pada sisi lain, dinamika itu menggambarkan munculnya eskalasi dukung-mendukung kandidat. Sebelum ini, panwas juga menemukan indikasi kampanye salah satu calon dalam deklarasi sebuah forum yang menamakan diri Foret. Ekspresi pendukungan semacam ini sebenarnya merupakan hak politik warga, tetapi kita tentu perlu melihat runutan waktu, aturan-aturan yang telah disepakati, sehingga dapat menjawab dengan objektif apakah mobilisasi massa itu dapat disimpulkan mengandung unsur pelanggaran atau tidak. Kalau kesepakatan yang sudah dituang sebagai aturan itu tidak dipatuhi dan terus-menerus disiasati lewat kemasan-kemasan kampanye, lalu bagaimana kita bisa belajar untuk konsisten? - Apakah sejumlah aturan dalam lingkup pengawasan itu bersifat abu-abu, sehingga dengan cara-cara tertentu bisa disiasati? Mobilisasi massa yang melibatkan kandidat dan tim suksesnya, misalnya, walaupun tidak secara verbal menunjuk materi kampanye, bukankah memuat logika-logika insinuatif sebagai bentuk ''permintaan dukungan'', atau sebaliknya ungkapan ''mendukung''? Maka kapasitas kehadiran sebagai figur yang ditokohkan, dan bukan atas nama calon wali kota pun bisa menjadi bias. Demikian juga dengan keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat dalam sebuah acara semacam itu. Yang sering secara mudah dijadikan justifikasi adalah kehadiran atas nama pribadi, pembina suatu organisasi, dan tidak terkait dengan dukung-mendukung kandidat secara politik. - Contoh-contoh semacam itu tentu menjadi tantangan pengawasan. Persoalannya, bagaimana mencegah agar dukung-mendukung yang diperkirakan bakal meningkat menjelang hari pemilihan itu tidak menimbulkan gesekan di antara kelompok-kelompok? Yang secara substansial banyak terlupakan dalam proses pilkada langsung ini adalah memanfaatkan momentum sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat. Rakyat memang punya hak memilih sendiri figur yang dikehendaki untuk memimpin daerahnya. Masalahnya, apakah hak pilih itu muncul dari logika ''perumusan'' karena kebutuhan berdasarkan aspirasi dan pertimbangan-pertimbangan rasional, ataukah karena konsiderans yang lain? Misalnya sekadar kedekatan emosional, ikut-ikutan, atau bahkan tekanan-tekanan? - Jalan pikiran seideal itu boleh jadi masih jauh dari realitas sosial-politik. Apalagi keterlibatan langsung rakyat sebenarnya juga sudah merupakan sebuah lompatan penting demokratisasi kita. Hanya, alangkah sayang kalau momentum ini lewat begitu saja, dan yang mengambil keuntungan hanya pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan rakyat, dengan memobilisasi ke dalam bentuk pengelompokan dan pendukungan. Dalam setiap proses atau momen politik, selalu muncul pihak-pihak yang dengan jeli bisa meraih keuntungan, baik bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya. Maka rakyat pun berada dalam posisi sebagai objek. Apalagi dengan kesadaran setiap suara sangatlah berharga untuk menentukan seseorang bakal terpilih sebagai kepala daerah atau tidak. - Dalam kasus Panser Biru, kita tentu berharap kelompok suporter yang sejauh ini cukup mampu menggemakan koordinasi persuporteran bagi PSIS itu tetap mampu bersikap netral dalam pilkada. Bagi kita, Panser Biru merupakan bagian dari kekuatan dan pilar persepakbolaan Semarang. Mereka telah memberi warna dalam mengeliminasi rusuh suporter baik ketika tim ''Mahesa Jenar'' bertanding di Stadion Jatidiri maupun melawat ke kandang lawan. Keterlibatan dan peran tokoh-tokoh tertentu bagi kelompok ini memang diakui cukup besar, tetapi bagaimanapun, Panser Biru tetap harus mendudukkan diri di habitat olahraga. Keterpelesetan ke ranah politik - sekecil apa pun - bukan jalan yang bijak bagi salah satu ikon persepakbolaan di Ibu Kota Jawa Tengah ini. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/