http://newhistorian.wordpress.com/2006/11/30/tentang-matinya-para-jendral/
   
  Tentang Matinya Para Jendral
   
  Ben Anderson
   
  Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang 
bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi 
rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan 
Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang 
aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.
   
  Dokumen itu adalah laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima 
orang ahli kedokteran forensik, yang telah memeriksa mayat-mayat enam orang 
jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang 
letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965.
   
  Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang 
pernah kita miliki, tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat 
kontroversi yang telah lama tentang masalah ini, dan berita-berita yang 
disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang 
perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan 
kalangan ilmiah.
   
  Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut 
bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku 
Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat 
(RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono 
Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik 
pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang 
paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu ahli paling terkemuka 
dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu 
dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah malam tanggal 
5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD.
   
  Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh karena dari berita-berita pers kita 
ketahui mayat-mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya 
(di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, 
lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim 
tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, 
Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di 
Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut diperhatikan. Mengingat 
bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto, maka kiranya 
tidak akan mungkin jika laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan 
kepadanya, segera setelah tugas dilaksanakan.
   
  Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun menurut bentuk yang sama: 1. 
pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu; 2. 
identifikasi atas mayat; 3. deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau 
hiasan-hiasan badan; 4. uraian rinci tentang luka-luka; 5. kesimpulan tentang 
waktu dan penyebab kematian; 6. pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli 
itu, 7. bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana 
mestinya.
   
  Karena gambaran umum tentang matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana 
halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada 
apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan 
Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar 
tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun 
pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio 
dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya 
menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan 
berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut, 
dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai 
tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari 
dokumen-dokumen lampiran itu.
   
  Mengingat bahwasanya dua suratkabar tersebut adalah harian-harian pagi, 
sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah “ditidurkan” sementara para 
dokter masih menyelesaikan pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan 
mereka tentang hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi 
yang panjang lebar itu.
   
  Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah 
membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai “perbuatan biadab 
berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan”. Berita Yudha 
yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan 
bekas-bekas penyiksaan. “Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan 
sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita.” Mayjen Suharto 
sendiri dikutip menyatakan, “jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata 
kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh 
petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan ‘Gerakan 30 September’”. 
Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan 
Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah ditembak rubuh di rumahnya, ia 
dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa sampai 
“penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya.”
   
  Bukti-bukti tentang penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada 
leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa “anggota-anggota tubuhnya tidak sempurna 
lagi”. Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih jelas 
pada hari- hari berikut.
   
  Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa 
“matanya (Yani) dicungkil”. Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita 
Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam 
sehelai kain hitam. Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata 
melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral 
Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, 
lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan 
malam dengan “deru mesinnya yang seperti harimau haus darah”.
   
  Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada 
kedua tangan Harjono. Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa 
meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh 
“penteror-penteror biadab”, namun ciri-cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan 
Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, 
dan kedua bola matanya “dicungkil”. Harian ini pada hari berikutnya mengutip 
saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara 
kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya “ada yang 
dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di 
luar perikemanusiaan.”
   
  Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang 
matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di 
Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita 
Indonesia). Ia dijadikan benda “permainan jahat” perempuan- perempuan ini, 
digunakan sebagai “bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani.” 
Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta 
merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di 
bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa “alat pencungkil” 
yang digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda 
anti komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa 
Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai 
tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober 
suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, anggota
 organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah 
menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa “di luar batas kesusilaan” 
oleh anggota-anggota Gerwani. 
   
  Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada 
cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh 
Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan 
sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas 
tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima 
pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 
September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti 
perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan 
jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. (”Dibagi-bagikan pisau kecil dan 
pisau silet… menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 
6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah 
dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang 
Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada
 para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September.
   
  Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka 
bertelanjang menarikan “Tarian Bunga Harum” di bawah pimpinan Ketua Partai 
Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama 
para anggota Pemuda Rakyat. Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar 
selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini — sementara itu 
pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai 
Komunis terus berjalan — terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan. 
Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang 
mengerikan — khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, 
ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari 
organisasi yang berafiliasi dengan komunis.
   
  Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada 
tanggal 5 Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata 
pun dari para kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun 
masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak 
berkhitan. Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua 
golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik menunjukkan 
telah dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, 
yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang 
dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, 
dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.
   
  Golongan I. Berita paling lengkap tentang kematian mereka terbit jauh sesudah 
peristiwa terjadi: tentang Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; 
Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 
November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha 
Minggu tanggal 28 November.
   
  Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan 
mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh 
anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel 
Arief. 
   
  Gambaran demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensil. Para 
ahli forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang 
merupakan sepuluh luka tembuk masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga 
luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang 
dialami Harjono timbul tanda tanya, karena tidak disebut-sebut sebagai akibat 
tembakan. Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada 
bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau 
lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung 
korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan “pada tangan dan pergelangan 
tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul.” Tak ada cara lain yang 
lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa 
luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan — jarang penyiksa memilih 
pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka — dan luka itu
 barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 
kaki dalamnya.
   
  Golongan II. Cerita lengkap tentang matinya korban-korban ini terdapat dalam 
suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita 
Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha 
Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. 
Terhadap empat orang inilah berita-berita tentang siksaan biadab dan seksual 
paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik adalah 
sebagai berikut: 1. S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang 
mematikan pada kepala; dan, di samping itu, “robek dan patah tulang pada 
kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan 
keras — popor bedil atau dinding dan lantai sumur — tetapi jelas bukan 
luka-luka “siksaan”, juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat. 2. 
Soeprapto mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. 
Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari
 benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul 
pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu “akibat benda tumpul” yang 
sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan atas”; dan tiga sayatan 
yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. 
Sekali lagi “benda tumpul” mempertunjukkan terjadinya benturan dengan 
benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan 
batu-batu sumur), dan bukannya silet atau pisau, 3. Sutojo mengalami tiga luka 
tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang “tangan kanan dan 
tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras”. Sekali lagi 
kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat 
yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur. 4. Tendean mati akibat 
empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada 
dahi dan tangan kiri, demikian juga “tiga luka akibat trauma pejal pada 
kepala.” Tak
 terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini tentang adanya siksaan yang 
tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan 
saja karena hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akibat 
dari benda pejal dan keras, tetapi karena pembagiannya secara jasmaniah pun 
“pergelan gan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan 
lain-lain — pada umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat menarik, bahwa 
sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan 
lidah tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan bisa dikatakan bahwa 
enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal 
Harjono yang mati di dalam rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka 
mengalami tindak kekerasan lain adalah akibat pemukulan dengan gagang bedil 
yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin 
diakibatkan karena jatuh dari ketinggian 36 kaki — yaitu kira-kira tiga
 tingkat lantai — ke dalam sumur yang berdinding batu. Perlu juga dikemukakan, 
bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita Indonesia 
Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah membesar-besarkan 
pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang telah memeriksa 
mayat para kurban menyatakan, tentang tidak adanya perusakan mengerikan pada 
mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 
13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965).
   
  Diterjemahkan dengan



Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






 
---------------------------------
Have a burning question? Go to Yahoo! Answers and get answers from real people 
who know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke