EKSEKUTIF NASIONAL LIGA MAHASISWA NASIONAL untuk DEMOKRASI EN-LMND Sekretariat: Jl. Tebet dalam, II.G No.1 Tebet, Jakarta Selatan, telp.021-682-40040 e-mail:[EMAIL PROTECTED], website:http;www.lmnd.org
No : 045/B/EN-LMND/September-2007 Hal : Statemen Politik Lamp :- MDG,S Bohong! SBY-Kalla juga bohong! Pendidikan Gratis, Ilmiah dan Demokratis bagi Rakyat! Hapuskan Hutang negara dunia ketiga, dan Hapuskan Segala Bentuk Eksploitasi Ekonomi! Tanggal 8 September, bangsa-bangsa di dunia akan memperingati dan sekaligus merenungkan kembali soal tekad memberantas buta aksara sedunia. Mengingat, sejak di canangkan hingga hari ini, jumlah orang buta aksara masih cukup besar yakni 885 juta orang, 64% di antaranya adalah wanita. Ini berarti hampir seperempat penduduk dunia dewasa masih tak bisa baca tulis. Ironisnya, sebagian besar dari angka-angka tersebut tersebar di Negara-negara Asia (Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan lain-lain) dan Afrika, yang juga sering di sebut Negara selatan-selatan. di Asia Selatan jumlah penduduk buta huruf mencapai 109 juta, Negara-negara Arab 98 juta orang. Negara-negara Afrika Sub-Sahara merupakan kawasan negara yang tingkat buta aksaranya paling tinggi berkisar 40% hingga 50%, di Mali peringkat 175 ( hanya 19,0% yang melek huruf), Niger (14,4% yang melek huruf) dan Burkina Faso (12,8%). Kenyataan ini semakin di perparah dengan jumlah kemiskinan yang lebih besar di timpakan kepada Negara-negara Asia, Amerika latin, dan Afrika Sub-sahara. Berdasarkan data dari Bank Dunia dari 1,2 Milyar penduduk dunia yang di nyatakan miskin, 80% terdapat di 12 negara berkembang(Asia, Sub sahara Afrika, dan Amerika Latin). Tidak bisa di pungkiri, bahwa hubungan antara utara(Negara-negara maju) dan selatan(Negara berkembang) telah menciptakan kesenjangan akibat dari pola hubungan yang dominatif dan eksploitatif. Sejak perang dunia ke II berakhir--- yang juga berarti proses pembagian Negara-negara colonial (jajahan) sudah berakhir, dunia semakin terpolarisasi pada dua kutub yakni Negara-negara maju dan Negara-negara miskin. Kemerdekaan politik yang dinikmati Negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika latin tidaklah bermakna kemerdekaan penuh tetapi yang berlansung adalah proses penjajahan dan penjarahan terus menerus, dengan mekanisme kerjasama ekonomi yang eksploitatif. Ketika Eropa hancur lebur akibat perang dunia I dan II, mereka masih mendapat ceceran-ceceran dari Marshall Plan untuk membangun dan memulihkan kembali ekonominya. Sedangkan, Negara-negara miskin—karena tidak punya tekhnologi dan modal, dipaksa untuk meminjam dana dan mengikuti skema kebijakan ekonomi Negara Imperialis. Hasilnya adalah ketergantungan, kemiskinan, dan kekejaman terhadap kemanusiaan (pelanggaran HAM dan kekerasan Militer) sebagai jalan paling logis untuk menutupi kenyataan tersebut. Di tengah situasi tersebut, dan semakin meluasnya kritikan dari Negara dunia ketiga dan kritika dalam masyarakat di Negara maju sendiri (terutama gerakan social dan gerakan rakyat di sana), maka, pemimpin Negara-negara imperialis mulai memikirkan scenario untuk melanggenkan situasi ini dengan berpura-pura baik terhadap Negara dunia ketiga. Beberapa langkah di ambil diantaranya; (1) mendeklarasikan Millenium Development Goals atau disingkat MDG's adalah sebuah inisiatif pembangunan yang dibentuk pada tahun 2000, oleh perwakilan-perwakilan dari 189 negara (termasuk Indonesia). MDG,S mengusung delapan program pokok yang diharapkan dituntaskan 2015, diantaranya penghapusan kemiskinan, pemberantasan buta huruf, pendidikan, kesetaraan gender, dan lain-lain. Sepintas lalu program ini sangat MULIA, namun jika di periksa baik-baik logika berpikirnya maka akan tersingkap tujuan sebenarnya. MDG,S bisa dikatakan program belas kasihan untuk menutupi proses eksploitasi panjang yang dilakukan Negara maju (plus korporasinya) terhadap Negara-negara miskin. Merealisasikannya pun TIDAK MASUK AKAL, karena Negara-negara Miskin tetap di paksa membayar utang najis yang nota bene adalah perangkap Negara maju. Selain itu, di bawah paying Neoliberalisme, Negara-negara dunia ketiga di paksakan menjalankan program swastanisasi/privatisasi layanan public, dan pencabutan subsidi social yang malah memperbesar jumlah kemiskinan di Negara dunia ketiga. (2) komitmen lain, misalnya dengan program Debt Swap(program Koversi Utang) yang saat ini getol dilakukan oleh Jerman dan diikuti oleh Negara-negara G7 khusus untuk Negara yang dikategorikan sangat miskin seperti Bangladesh, Ethiopia, Kenya, Rwanda, dll. Tetapi, ini pun BOHONG, karena banyak proses konversi utang tersebut di lakukan dalam bentuk proyek yang infrastrukturnya di datangkan dari Negara maju, sehingga utang yang di bayarkan tersebut tetap di nikmati kapitalis Negara maju. Demikian pula dengan pemerintah Indonesia, beberapa upaya pemberantasan buta huruf kebanyakan hanya di lapangan teori dan janji-janji saja. Lihat saja, meskipun genderang perang memerangi buta huruf ini sudah di lakukan sejak tahun 1945, namun capaiannya seolah masih berjalan di tempat. Pada tahun 2005, jumlah buta huruf menurut BPS adalah 15,04 juta , Dengan perincian jumlah penduduk usia 15 - 44 tahun yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun keatas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta. Meskipun versi pemerintah menyebutkan bahwa angka terus di tekan, namun berdasarkan data kemiskinan absolut yang terus bertambah ditambah makin ruwetnya persoalan dunia pendidikan, rasanya angka buta huruf itu konstan (tidak berubah). Jaman Orde Baru di perkenalkan program Wajib Belajar 9 tahun, harapannya bisa memberantas buta huruf dan minimal bangsa Indonesia memiliki kemampuan baca tulis. Program ini tidak berhasil; pertama tidak di sertai tindakan politik pemerintah dalam hal menyediakan anggaran dan memastikan infrastruktur pendidikannya. Mana mungkin semua anak Indonesia bisa menikmati pendidikan, kalau jumlah sekolah saja tidak mengcukupi untuk menampungnya. Belum lagi, biaya pendidikan yang makin mahal membuat mayoritas masyarakat Indonesia susah untuk mengakses pendidikan. Kedua Tidak ada program turunan yang konkret seperti sosialisasi massif, proses penyadaran, dan sanksi. Di daerah pedalaman yang kultur agrarisnya masih sangat kuat menganggap pendidikan bukan hal yang pokok(penting). Ketiga kebijakan akan susah berhasil kalau problem kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan belum di selesaikan oleh pemerintah. Sebenarnya problem pokok pendidikan nasional Indonesia ada 3 point pokok; (1). Biaya Pendidikan yang semakin mahal, akibat dunia pendidikan semakin di komersialisasikan. UU Sisdiknas dan RUU BHP merupakan ancaman nyata lembaga pendidikan akan mengarah pada mekanisme pasar, dimana pendidikan tidak ubahnya komoditi yang di perjual –belikan. (2). Mutu/kualitas pendidikan yang lemah, kurikulum yang disusun sepenuhnya di orientasikan untuk kepentingan pasar tenaga kerja (labour market) dan kebutuhan technology kapitalis untuk menyiasati persaingan. Di bawah Orde baru, pendidikan proporsinya lebih banyak sebagai alat Indoktrinasi rejim Orde Baru. (3). Infrastruktur pendidikan yang tidak memadai, kebijakan pembangunan nasional yang tidak berbasikan memajukan tenaga produktif nasional lebih menekankan membangun infrastruktur seperti Mall, tempat hiburan, Hotel/Apartemen dan membiarkan bangunan sekolah di gusur. Realisasi Anggaran 20% yang wajib di laksanakan oleh pemerintahan SBY-Kalla karena sudah di gariskan dalam Konstitusi justru tidak kunjung di realisasikan. APBN tahun anggaran 2007 hanya mengalokasikan anggaran sektor pendidikan sebesar Rp 43,489 triliun. Jumlah itu hanya 11,8 persen dari total APBN tahun 2007 yang besarnya mencapai Rp 763,6 triliun. Sedangkan untuk APBN 2008, SBY hanya menjanjikan anggaran pendidikan sebesar 12,3% dari APBN. Ini sangat berbeda dengan Alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Inilah karakter sejati dari rejim yang berkuasa sekarang, lebih suka menjadi pelayan bagi kepentingan Negara-negara Imperialis. Sangat Jelas bahwa komitmen SBY-Kalla, termasuk pernyataan Ani Yudhoyono dalam Konferensi Regional UNESCO mengenai Upaya Pemberantasan Buta Huruf Sedunia ("UNESCO Regional Conferences in Support of Global Literacy"), di Beijing, China, Selasa (31/7) adalah BOHONG besar. Mana mungkin bisa memberantas buta huruf kalau kesempatan untuk mengakses pendidikan bagi semua orang terutama orang miskin justru dihambat dengan paket Neoliberalisme di sector pendidikan. Mana mungkin bisa memberantas buta huruf jika anggaran untuk pendidikan sangat kecil, dan anggaran Negara justru harus di hamburkan untuk kepentingan membayar utang luar negeri dan menerbitka surat obligasi untuk melindungi konglomerat hitam seperti dalam kasus BLBI. Oleh karena itu, dalam momentum peringatan hari pemberantasan buta aksara sedunia yang jatuh tanggal 8 September, maka kami dari Eksekutif Nasional-Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EksNas-LMND) menyatakan sikap sebagai berikut: 1. bahwa komitmen Negara-negara Imperialis (G7) dalam program MDG,S, dan Debt Swap (konversi Utang), untuk membantu Negara dunia ketiga terutama dalam persoalan pemberantasan buta huruf seperti yang banyak di propogandakan media adalah bohong! Seharusnya jika konsisten, maka Negara maju harus memenuhi tuntutan penghapusan utang Negara dunia ketiga. 2. bahwa pemerintahan SBY-Kalla juga tidak punya komitmen untuk memberantas buta huruf dengan membiarkan kebijakan swastanisasi dan komersialisasi pendidikan. 3. bahwa Jalan untuk memberantas buta huruf bagi Negara dunia ketiga hanya akan berhasil jika; I. Negara bertanggung jawab atas sector pendidikan, memobilisasi anggaran untuk pendidikan guna mencerdaskan kehidupan bangsa. II. menyediakan pendidikan layak dan berkualitas; Jalannya dengan mewujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah dan Demokratis. III. Bahwa jalan menggratiskan pendidikan terbuka lebar dengan sumber pembiayaan dari; a) Penghapusan Utang Luar negeri b) Tangkap, Adili dan Sita harta koruptor untuk pendidikan, terutama koruptor kelas kakap seperti Soeharto dan Kroninya. c) Menasionalisasi Industri Pertambangan d) Menarik surat Obligasi untuk perbankan e) Pajak progressif IV. Bahwa syarat-syarat itu hanya akan terjadi kalau pemerintahanya memiliki kemandirian dan kedaulatan politik dan ekonomi, lepas dari syarat-syarat ekonomi dan politik yang di diktekan Negara Imperialis. Kepada rakyat Indonesia dan organisasi gerakan demokratik, kami menyerukan untuk: 1. memperkuat solidaritas Internasional dan menggalang kerjasama untuk front Anti Imperialisme. 2. Memperkuat persatuan gerakan rakyat dengan Front Persatuan, dan Memanfaatkan setiap momentum politik yang ada untuk memajukan gerakan rakyat termasuk PEMILU 2009. 3. Kami juga memberikan dukungan dan Solidaritas kepada kawan-kawan yang tergabung dalam Gerakan Pemberantasan Buta Huruf yang hari ini (kamis/5/9/07) melakukan Aksi ke Istana. Demikian statemen ini kami buat, untuk kemenangan kelas pekerja dan rakyat tertindas! Terima kasih. Jakarta, 5 September 2007 Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi EN-LMND Lalu Hilman Afriandi Agus Priyanto Ketua Umum Pjs. Sekretaris Jendral