ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN 
 

Nomor .
010/AJI-Div. Perempuan/ Release/I/ 2010

Perihal  . Pers Release untuk segera diberitakan


AJI Serukan Jurnalisme Dengan Perspektif Anak


Dalam beberapa hari terakhir, media
massa ramai
memberitakan kasus penculikan, mutilasi, dan kekerasan seksual dengan korban
anak-anak. Kasus paling menonjol adalah kasus mutilasi Baekuni dengan korban 10
anak.

Berita
tentang kejahatan yang menimpa anak-anak biasanya selalu menarik perhatian
pembaca/pemirsa. Soalnya, ada kedekatan secara psikologis antara subjek berita
(anak) dengan pembaca/pemirsa yang tidak lain adalah orang tua, paman/bibi,
atau saudara tua dari anak-anak. Paling tidak, semua pembaca/pemirsa pernah
melewati masa kanak-kanak.

Masalahnya, pemberitaan tentang
anak kerap kurang mempertimbangkan kemungkinan si anak menjadi korban secara
berulang-ulang. Anak yang telah
menjadi korban kekerasan, bisa juga menjadi korban pemberitaan. Dalam kasus
berita anak pengidap HIV/AIDS, misalnya, si anak yang telah menjadi korban
ketidaktahuan atau ketidakhati- hatian orang tuanya, setelah diberitakan, bisa
juga menjadi korban stigma dan perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya.
Misalnya, ketika si anak dan keluarganya dikucilkan dari lingkungan tempat
tinggalnya.

Begitu pula dengan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Setelah
wajah si anak difoto dan ditampilkan secara utuh tanpa dikaburkan, atau 
identitas
(seperti nama, alamat, dan sekolah) si anak dimuat tanpa disamarkan, setelah
diberitakan, dia dipaksa menanggung rasa malu atau kembali mengingat peristiwa
traumatik yang pernah dia alami.

Munculnya istilah 'razia dubur' bagi anak jalanan, juga berbagai
pemberitaan tentang razia tersebut, sangat berpotensi membuat si anak yang
telah menjadi korban kekerasan seksual untuk kembali menjadi korban pemberitaan.
Padahal, jangankan dalam kasus anak-anak yang jadi korban. Dalam memberitakan 
anak-anak
yang menjadi pelaku tindak kriminal pun, kemasan beritanya tetap harus
memposisikan si anak sebagai korban (korban kekacauan rumah
tangga, korban salah asuh, korban dari sistem pendidikan yang teramat
mahal sehingga si anak tidak bisa sekolah, dan seterusnya). 

Di lapangan, masih ditemui jurnalis yang tidak menggunakan jurnalisme
perspektif anak. Misalnya masih ada wartawan yang bertanya pada anak, “Apakah
kamu pernah disodomi?”, “Apa yang ada dalam benak kamu kalau di sodomi”.
Kalimat itu dilontarkan kepada anak jalanan secara langsung. Itu pun dengan
mengggunakan cara bertanya yang kasar. Tak ada empati sama sekali dari
jurnalis. Ini tentu bukan perilaku jurnalis yang menerapkan jurnalisme
perspektif anak. 

Berkaitan dengan pemberitaan anak sebagai korban kejahatan susila atau anak
yang menjadi pelaku tindak kejahatan, bersama ini kami dari Aliansi Jurnalis 
Independen
kembali mengingatkan para jurnalis (reporter, redaktur, dan produser) serta
penanggung jawab ruang redaksi untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1.     Jurnalis
menerapkan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yang berbunyi :”Wartawan Indonesia
tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas 
anak yang menjadi pelaku kejahatan.

2.     Jurnalis
menerapkan prinsip dasar meliput anak yang dikeluarkan oleh International 
Federation of Journalists
(IFJ). Beberapa di antaranya adalah menghindari eksploitasi dan sensualisme
anak, menghindari seksual image terhadap anak di media. Serta tidak mengekspose 
anak secara berlebihan.

3.     Jurnalis
menerapkan isi Pedoman Perilaku Penyiaran, khususnya pasal 5 ayat f yang 
menyebutkan,
"Lembaga penyiaran melindungi kehidupan anak-anak, remaja dan
perempuan," dan Pasal 18 soal 'Narasumber Anak dan Remaja' yang menyebutkan
lembaga penyiaran harus mengikuti sejumlah ketentuan seperti: 

a.      Anak
dan remaja, di bawah 18 tahun, tidak boleh diwawancarai mengenai hal di luar 
kapasitas mereka untuk menjawabnya. 

b.     Keamanan
dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber harus dipertimbangkan. 

c.      Anak
dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses pengadilan
terlibat dengan kejahatan seksual atau korban dari kejahatan seksual harus
disamarkan atau dilindungi identitasnya.


Jakarta, 27 Januari 2010 


Nezar Patria                                         Rach Alida Bahaweres

Ketua Umum                                      Koordinator Divisi Perempuan

Informasi lebih lengkap hubungi :

Rach Alida Bahaweres, Koordinator Divisi Perempuan AJI Indonesia :
081330392480 

Nezar Patria, Ketua Umum AJI Indonesia : 0811829135


Sekretariat AJI Indonesia 
Jl. Kembang Raya No. 6 
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420 
Indonesia 
Phone (62-21) 315 1214 
Fax (62-21) 315 1261 
Website : www.ajiindonesia. org

[Non-text portions of this message have been removed]



 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke