jika umat kristen/yahudi
mengatakan mereka adalah pengikut agama ibrahim, ya moso bodo lah
tp jika ada muslim
mengatakan demikian, jelas orang tsb sedang mendzalimi dirinya sendiri, maka 
orang2 spt itu wajib ditolong, setidaknya agar dirinya tdk mengulangi perbuatan 
zalimnya kembali.

Artinya: "Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim  atau yang dizalimi." Aku 
bertanya, "Ya Rasulullah,  menolong orang yang dizalimi dapatlah aku mengerti. 
Namun, bagaimana  dengan menolong orang yang berbuat zalim?" Rasulullah 
menjawab,  "Kamu cegah dia agar tidak berbuat aniaya, maka itulah  
pertolonganmu untuknya." (hadist)



 
Abrahamic Faiths?
Ditulis
Oleh Adian Husaini 
 
 
Bagi peminat pemikiran
keagamaan, istilah “Abrahamic Faith” atau “agama Ibrahim” tidaklah asing.
Istilah ini sudah lama dipopulerkan oleh banyak kalangan dan dianggap sebagai
sesuatu yang sudah lazim dalam isilah studi-studi agama, seperti halnya
pembagian agama menjadi “agama samawi” (agama langit) dan “agama ardhi” (agama
bumi). Istilah ini mulai popular di dunia Islam, setelah pada tahun 1986, The
International Institute of islamic Thought (IIIT), menerbitkan sebuah buku
berjudul Trialogue of the Abrahamic Faiths (ed. Ismail Raji al-Faruqi). Secara
harfiah, judul buku itu adalah “Trialog antar Agama-agama Ibrahim”.  Buku
ini merupakan kompilasi makalah hasil konvensi tahun 1979 di New York yang 
diselenggarakan oleh American Academy of Religion (AAR).
 
Pada 8 November 2007,
Republika menurunkan sebuah kolom Azyumardi Azra berjudul ”Trialog Peradaban”.
Azra menceritakan, bahwa pada 21-24 Oktober 2007, Harvard University 
menyelenggarakan sebuah konferensi bertema ”Children of Abraham: A Trialogue of
Civilization”. Kata Azra, ’Anak-anak Ibrahim’, tak lain adalah para
pengikut tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam. Pembicaraan antara ketiga
agama (trialog) diharapkan dapat menumbuhkan saling pengertian dan toleransi
yang pada gilirannya mendatangkan perdamaian.
 
Lebih jauh Azra menulis:
Dalam makalah berjudul
‘Trialogue of Abrahamic Faiths: Towards the Alliance of Civilizations”, saya
melihat ‘Abrahamic Faiths’ yang dalam Al-Quran disebut sebagai ‘millah Ibrahim’
memiliki banyak kesamaan dan afinitas; lebih dari itu ketiganya juga berbagi
sejarah yang sama. Tetapi, tentu saja, masing-masing agama Nabi Ibrahim tersebt
unik dalam dirinya sendiri. Lagi pula, para penganut ketiga agama itu ibarat
kakak-adik, juga terlibat dalam persaingan, kecemburuan, konflik, dan bahkan
perang.”
 
Begitulah, sebagian isi
tulisan Azyumardi Azra, yang mengaku beruntung hadir dalam konferensi di
Harvard tersebut. Ia merupakan satu-satunya ilmuwan dari Asia yang hadir di 
situ.
 
Kita tentu menyambut baik
setiap usaha untuk menciptakan perdamaian di muka bumi ini. Namun, kita perlu 
mengkaji
dengan cermat, cara-cara yang digunakan untuk menciptakan perdamaian tersebut,
khususnya dalam hal yang berkenaan dengan ajaran Islam itu sendiri. Soal dialog
antar-agama, dalam sejarah, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak awal
kemunculannya, umat Islam sudah terbiasa berdialog dengan siapa saja. Di
Mekah, sebelum hijrah, Rasulullah saw dan para sahabat sudah berdialog dengan
kaum musyrik Arab dan pengikut Kristen. Saat hijrah ke Habsyah, Ja’far bin
Abdul Muthalib sudah berdialog keras dengan pengikut Kristen dan juga Raja
Najasyi yang ketika itu masih memeluk agama Kristen. Di Madinah, Rasulullah saw
melayani perdebatan dengan delegasi Kristen Najran. 
Bahkan, jika kita
renungkan, banyak ayat Al-Quran yang senantiasa mengajak kaum Yahudi dan Kristen
untuk berdialog. Tetapi, jika kita baca ayat-ayat Al-Quran, tentang masalah
ini, kita akan menemukan, bahwa posisi Al-Quran senantiasa jelas, yaitu posisi
menyeru kaum Yahudi-Kristen agar kembali kepada kalimah tauhid, kembali kepada
ajaran inti yang dibawa oleh para nabi, yaitu ajaran Tauhid. Misalnya, QS Ali
Imran: 64 menyebutkan:
”Katakanlah, wahai Ahlul
Kitab, marilah kita kembali kepada ’kalimah yang sama’ (kalimatin sawa’) antara
kami dan kalian semua, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak
menserikatkan Allah dengan sesuatu pun dan kita tidak menjadikan sebagian
diantara kita sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka ingkar, maka katakan,
saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim.”
 
Sebagai Muslim, kita
yakin, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir yang menegaskan kembali
ajaran tauhid yang dibawa para nabi sebelumnya. Kita yakin, bahwa semua Nabi,
termasuk Nabi Ibrahim juga membawa ajaran tauhid. Karena itu, ’millah Ibrahim’,
dalam pandangan Islam, adalah agama tauhid. Dan saat ini, satu-satunya agama
Tauhid – dalam pandangan Islam – adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw. Maka, dalam perspektif Islam ini, istilah ”Abrahamic Faiths” (agama-agama
Ibrahim), dalam bentuk jamak yang memasukkan agama Yahudi dan Kristen sebagai
’millah Ibrahim’, adalah aneh dan keliru.. Seolah-olah, ada banyak agama
Ibrahim.
 
Jika kita telusuri lebih
jauh lagi, akan tampak kerancuan penggunaan istilah ”Abrahamic Faiths” ini.
Misalnya, dalam agama Yahudi (Judaism) dan Kristen (Christianity), terdapat
begitu banyak sekte dan bahkan agama-agama yang berbeda-beda. Apakah semuanya
juga ’millah Ibrahim’? Tentu tidak mungkin seperti itu. Sebab, agama
Ibrahim adalah satu, dan yang satu itu adalah agama Tauhid.
 
Dalam hal inilah, kita
biasa melihat, banyaknya cendekiawan yang kurang hati-hati dalam mengadopsi
istilah-istilah tertentu. Dalam perspektif netral agama, secara
historis-fenomenologis, bisa saja Islam, Kristen, dan Yahudi dimasukkan ke
dalam kategori Abrahamic Faiths, karena ketiganya memiliki klaim sebagai
pewaris ajaran Ibrahim. Tetapi, Al-Quran sudah menjelaskan apa yang dimaksud
dengan millah Ibrahim yang hanif. “Dan siapakah yang lebih baik din-nya
daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti millah Ibrahim yang hanif.” (QS 4:125).
“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan
Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).
 
Dengan penegasan Al-Quran
itu, tidaklah tepat jika ada cendekiawan yang mengakui bahwa agama Kristen dan
Yahudi saat ini termasuk ke dalam kategori “millah Ibrahim” yang hanif. Jika
kaum Yahudi dan Kristen mengklaim mereka sebagai pelanjut agama Ibrahim, itu
adalah urusan mereka. Tetapi, sebagai Muslim, seyogyanya pandangan kita
bersandar kepada konsep-konsep yang diajarkan dalam Al-Quran.
 
Dalam konferensi tahun
1979, melalui makalahnya yang berjudul “Islam and Christianity in the
Perspective of Judaism”, Michel Wyschogrod, profesor filsafat di Baruch
College, City University, New York, memaparkan persoalan mendasar dalam
pemahaman keagamaan antara Yahudi, Kristen, dan Islam. Yahudi dan Kristen
bersekutu dalam Bibel (Perjanjian Lama). Tetapi berbeda secara mendasar dalam
soal trinitas. Dengan Islam, Yahudi tidak bermasalah dalam soal pengakuan Tuhan
yang satu (monotheism). Tetapi, Muslim memandang bahwa telah terjadi
penyimpangan (tahrif) yang serius pada Kitab Yahudi (juga Kristen).
 
Gambaran Prof. Michel
Wyschogrod tentang Islam tersebut tidak sepenuhnya benar. Monoteisme memang
mengakui Tuhan yang satu. Tetapi, monoteisme tidak sama dengan Tauhid. Istilah
ini juga sering disalahpahami, seolah-olah monoteisme sama dengan Tauhid. Dalam
konsep Islam, tauhid adalah mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan ada 
unsur
ikhlas, rela diatur oleh Allah SWT. Karena itu, jika orang menyembah Tuhan yang
satu, tetapi yang ‘yang satu’ itu adalah Fir’aun, maka dia tidak bertauhid.
Iblis pun tidak bertauhid, tetapi kafir, karena menolak tunduk kepada Allah,
meskipun dia mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
 
Dalam perspektif Islam
inilah, memasukkan agama Yahudi (Judaism), sebagai ‘millah Ibrahim’ juga
patut dipertanyakan. Kaum Yahudi memang menyembah Tuhan yang satu. Tetapi,
hingga kini, mereka masih berselisih paham tentang siapa Tuhan yang satu itu?
Sebagian menyebut-Nya sebagai ‘Yahweh’. Tetapi, dalam tradisi Yahudi, nama
Tuhan tidak boleh diucapkan. Oxford Concise Dictionary of World Religions
menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been
pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated,
least of all in the Jewish liturgy.” Jadi, hingga kini, belum jelas, siapa nama
Tuhan Yahudi.
 
Karena menolak beriman
kepada kenabian Muhammad saw, maka kaum Yahudi kehilangan jejak kenabian dan
Tauhid, karena kehilangan data-data valid dalam Kitab mereka. Th.C.Vriezen,
dalam buku ”Agama Israel Kuno” (Jakarta: BPK,
2001), menulis, bahwa “Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika 
hendak membahas bahan sejarah
Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses
sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah
kembali oleh penyadur)… Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan
dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga
sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu
yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.”
 
Dalam sejumlah buku studi
Islam di Perguruan Tinggi, masih ada yang menulis bahwa agama
Yahudi adalah agamanya Nabi Musa a.s.. Bahkan, Prof. Harun Nasution,
dalam buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, menyebut agama Yahudi sebagai
agama yang memelihara kemurnian Tauhid. Padahal, agama nabi Musa adalah agama
Tauhid yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad saw. Jika Yahudi memeluk
agama Nabi Musa, pasti mereka akan menerima kenabian Muhammad saw. Al-Quran
banyak menyebutkan tindakan kaum Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka,
sehingga mereka keluar dari jalan kebenaran. (QS 2:59, 75, 79, dll).
 
Senada dengan Yahudi,
Kristen juga menolak kenabian Muhammad saw dan bahkan mengangkat status Nabi
Isa a.s. sebagai Tuhan. Al-Quran memberikan kritik-kritik yang sangat mendasar
terhadap konsep ketuhanan Kristen ini. (QS 19:88-91, 5:72-75, dll.). Secara
tegas, Al-Quran menyebutkan, bahwa Nabi Isa a.s. pernah menyeru Bani Israil
agar mengakuinya sebagai Rasul, utusan Allah, dan mengabarkan kedatangan Nabi
Muhammad saw. Karena itulah, Islam memandang, kaum Kristen telah melakukan 
penyimpangan
aqidah, karena mengangkat Nabi Isa a..s. sebagai Tuhan, bukan sebagai utusan
Allah. Dengan konsep itu, mereka menolak untuk beriman kepada kenabian Muhammad
saw. Segaimana kaum Yahudi, kaum Kristen di Barat tidak mengenal nama Tuhan
mereka. Mereka hanya menyebut Tuhannya sebagai “God” atau “Lord”. Soal nama
Tuhan, masih diperselisihkan, dalam agama Kristen.
 
Karena itu, dalam
pandangan Islam, yang bisa dimasukkan ke dalam kategori sebagai ‘millah
Ibrahim’ saat ini, hanyalah agama Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw. Kaum Muslim begitu dekat dengan nabi Ibrahim a.s.. Setiap shalat, kaum
Muslim membaca doa untuk Nabi Ibrahim. Begitu juga, salah satu hari
raya umat Islam adalah hari raya Idul Adha yang terkait erat dengan kisah
perjuangan dan perjalanan hidup Nabi Ibrahim a.s.. 
Dari sinilah, kita
memahami, bahwa sebaiknya istilah “Abrahamic Faiths” tidak digunakan. Apalagi,
dalam bentuk jamak (plural) yang menunjukkan bahwa ada banyak agama Ibrahim.
Padahal, agama Nabi Ibrahim hanya satu, yaitu agama Tauhid, yang kemudian
dilanjutkan oleh para Nabi sesudahnya, sampai nabi terakhir, Muhammad saw.
Nabiyullah Ibrahim a.s. begitu gigih dalam memperjuangkan Tauhid, sampai harus
berhadapan dengan keluarganya sendiri dan diusir dari tanah kelahirannya.
 
Sebagaimana yang
lalu-lalu, kita berulangkali mengimbau, kiranya para cendekiawan berhati-hati
dalam menggunakan istilah. Tanpa menggunakan istilah-istilah yang aneh-aneh,
kita bisa melakukan dialog dengan kaum Yahudi, Kristen, dan sebagainya. Tidak
perlu menjustifikasi hal-hal yang bertentangan secara tegas dengan
konsep-konsep dasar Islam. Dalam pandangan Islam, perdamaian adalah penting.
Tetapi, Tauhid lebih penting. Karena itulah, Rasulullah saw memilih tidak
berdamai dengan paman-pamannya yang menolak Tauhid dan lebih mengutamakan
syirik. Kita menghormati perbedaan. Kita ingin perdamaian. Kita siap berdialog.
Tetapi, dalam dialog itu, perspektif dan posisi kita sebagai Muslim harusnya
dinyatakan secara tegas. Justru, dialog itu akan terjadi, jika masing-masing
pihak memiliki posisi yang jelas. Jika tidak, maka dapat muncul sikap
kepura-puraan dan kemunafikan. Wallahu a’lam. [Jakarta, 9 November 
2007/www.hidayatullah.com]


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke