http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1810011.htm
Aceh dan Internasionalisasi RI Oleh Indra J Piliang PERDEBATAN tentang internasionalisasi masalah Aceh sehubungan dengan perundingan informal antara delegasi RI dan GAM kian menghangat. Kelompok politisi nasionalis dan neo-konservatif di DPR berencana menekan pemerintah untuk menghentikan proses perjanjian damai yang hendak ditelurkan lewat pertemuan formal, setelah empat kali pertemuan informal di Helsinki. Kelompok itu menilai Republik Indonesia (RI) sedang memamerkan kebodohannya lewat perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul dengan simbol-simbol negara, seperti bendera. Padahal, apakah simbol-simbol itu layak disebut simbol negara? GAM tidak memiliki mata uang, bahasa "nasional", dan pengakuan dunia internasional. Padahal, inisiatif yang ditempuh pemerintah lewat prakarsa Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah bentuk penyelesaian terbaik atas konflik yang sudah merenggut lebih dari 13.000 nyawa rakyat Aceh dan penduduk RI, termasuk prajurit TNI dan Polri. Selain nyawa, anggaran negara terbebani amat signifikan, termasuk potensi penyimpangan dalam berbagai program operasi terpadu. DPR bukannya melakukan proses kontrol atas penggunaan keuangan negara, tetapi lebih terfokus untuk sekadar menolak. Untuk itu, selayaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengukuhkan diri sebagai promotor perdamaian. Apabila konflik ini selesai kelak, bisa jadi Indonesia akan berbangga. Bagaimanapun, selalu banyak halangan untuk menghentikan kekejian perang di provinsi paling barat RI itu. ADANYA kelompok yang menentang jalan damai menunjukkan kebutaan atas sejarah RI. Sikap ahistoris itu mungkin lahir karena lapisan politisi yang tiba-tiba menjadi vokal itu bukan bagian kelompok negarawan yang berpikir lintas zaman dan lintas generasi. Padahal, kita tahu, sejarah pendirian RI juga bagian sejarah diplomasi lintas negara. Negara-negara sahabat, seperti Mesir, India, dan Australia, memainkan peran masing-masing yang kemudian berbuah kemerdekaan. Kita tentu tidak ingin kemerdekaan Aceh muncul dengan dasar diplomasi serupa. Namun, sebagai bangsa yang menghormati hak asasi manusia, perikeadilan dan perikemanusiaan, tentu RI akan lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan, termasuk dengan berunding ketimbang berperang. Tidak perlu lagi sebutir peluru ditembakkan jika pena bisa menyelesaikan segala sengketa. Kalau diperhatikan, politik luar negeri bebas dan aktif telah mengedepankan peran RI dalam kancah internasional. RI pernah menjadi ketua gerakan Non-Blok, juga baru saja menjadi tuan rumah peringatan 50 Tahun Konferensi Asia-Afrika. Prinsip-prinsip Dasasila Bandung menunjukkan betapa penyelesaian konflik menuju perdamaian telah menjadi alat penerang ketimbang perang. Juga usaha bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk meningkatkan kesejahteraannya lewat beragam kerja sama bilateral dan multilateral. Energi antiperang yang dipupuk para pendiri bangsa telah menjadi kekuatan bangsa ini untuk bertahan dalam setiap zaman. Dengan posisi itu, RI pernah menjadi mediator konflik internal dan separatisme di beberapa negara di Asia Tenggara. Kita ingat, ketika begitu sering pasukan Garuda dikirimkan ke luar negeri untuk tujuan-tujuan perdamaian. Presiden SBY sendiri pernah bertugas di Bosnia dan melihat langsung akibat-akibat paling mengerikan dari tragedi perang, entah atas nama agama, negara, bahkan upaya pemisahan diri. Jangan sampai Bosnia hadir di RI, saat politisi justru tak menyediakan jalan keluar dan sepertinya lebih memilih jalan perang. Ironisnya, politisi yang berteriak kencang itu seakan tidak memberi penilaian seimbang, betapa kasus pseudo-nasionalisme dan etno-nasionalisme di Aceh muncul akibat tekanan kuat Pemerintah RI atas rakyat Aceh. Di masa lalu, kekayaan Aceh dikeruk untuk kepentingan segelintir kalangan di Jakarta, mungkin juga digunakan bagi kepentingan pembangunan jengkal demi jengkal alam RI. Semangat sentralisme yang dikembangkan Jakarta telah menimbulkan penderitaan ekonomi dan sosial yang parah di Aceh. Aceh adalah ladang kemiskinan yang luas. Hal inilah yang mestinya disuarakan politisi humanis yang peduli terhadap nasib anak-anak dan kaum perempuan Aceh, karena merekalah yang paling menderita saat konflik terus berkecamuk. Nasib dunia pendidikan hancur, modal sosial habis, jauh sebelum tsunami meluluhlantakkan negeri itu. MASYARAKAT internasional, dengan berbagai cara, telah menyisihkan penghasilan mereka, justru saat keadaan ekonomi dunia tidak mengalami perbaikan berarti. Solidaritas internasional itu tidak mengenal batas-batas bendera. Sepertinya, kita gagal menangkap esensi dari kepedulian itu. Seolah, bantuan demi bantuan yang kita terima sarat kepentingan ideologi, politik, ekonomi, atau lainnya. Proses dekolonisasi kita belum selesai karena perangkat ketatanegaraan dan sistem politik masih mengadopsi cara-cara negara kolonial, termasuk intimidasi, rekayasa, bahkan kekerasan yang dilakukan atas kaum miskin. Perundingan damai dengan GAM, sembari melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh pascatsunami, adalah kegiatan paralel yang bisa dilakukan. RI justru punya kesempatan untuk memainkan peran internasional baru, yakni dengan cara menyelesaikan krisis demi krisis dengan cara beradab. Internasionalisasi RI dengan jalan damai adalah bagian tidak terpisahkan dari proses berbangsa dan bernegara. Dengan perundingan informal yang dilakukan di Hensinki, setidaknya RI tengah melakukan kaderisasi terhadap orang-orang terbaik sebagai juru runding. Amat sedikit orang kita yang mampu memerankan tugas-tugas internasional, termasuk sebagai juru runding. Aspek positif ini saja sudah merupakan nilai tambah tidak ternilai. Apabila proses ini berhasil, kelak, banyak negara yang menghadapi masalah separatisme di negerinya akan belajar dari kita. Jika pendekatan militer dan keamanan terus ditempuh, hal itu semudah membalik telapak tangan. Jalan militer juga sudah lama ditempuh, hasilnya kematian demi kematian, dan tidak mampu menuntaskan masalah sampai ke akar-akarnya. Jalan perang yang ditempuh juga jarang dievaluasi serius, termasuk implikasi sosialnya. Apalagi definisi perang sudah banyak berubah. Perundingan demi perundingan juga bentuk dari peperangan, yakni perang diplomasi. Tidakkah bisa kita sedikit menahan diri dengan cara menuntaskan banyak tenaga, waktu, biaya, dan pikiran yang sudah diberikan lewat jalur perundingan? Salah satu bentuk paling ideal adalah mulai dilibatkannya kalangan politisi sebagai unsur perunding perdamaian. Pemerintah bisa mengundang kalangan DPR sebagai salah satu delegasi RI sehingga proses yang membutuhkan kejelian dan ketelitian itu bisa diikuti dengan baik. Internasionalisasi RI lewat perundingan damai adalah seuntai puisi yang terbaik bagi korban konflik dan perang selama ini. Indra J PiliangPeneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/