http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009062606552973

      Jum'at, 26 Juni 2009 
     
      OPINI 
     
     
     
Agama Bukan Komoditas Politik 

      Muhammadun A.S.

      Analis Politik, Peneliti Cepdes Jakarta.

      Teater politik Indonesia selalu diwarnai sensasi. Terlebih teater politik 
yang berkelindan ayat-ayat agama. Lihat fakta terbaru dalam kampanye sekarang. 
Atas nama jilbab, para kandidat saling serang-menyerang. Mencari titik 
kelemahan satu dengan lain. Di samping itu, para kandidat juga berduyun-duyun 
mendatangi para agamawan dan kiai. Para politisi sekarang sibuk dan "khusyu" 
mendatangi jemaah dengan membagi parsel beralamatkan identitas diri, visi-misi, 
dan janji "kosong" yang digembar-gemborkan penuh sensasi.

      Dalam teater politik di Indonesia, jejak ritual agama yang disajikan 
dalam pentas gelanggang politik telah lama tergoreskan di bumi pertiwi. Jauh 
sebelum kemerdekaan, ketika Wali Songo menyebarkan Islam di Jawa, ritual agama 
telah masuk dalam ritual politik kerajaan.

      Bahkan, karena kuatnya pengaruh agama dalam gelanggang politik, para wali 
menjadi penasihat raja dalam menentukan kebijakan politiknya. Lihatlah secara 
kritis yang dilakukan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus 
dalam perjalanan Kerajaan Demak. Mereka semua menjadi tokoh kunci tertancapnya 
kuasa raja kepada rakyat.

      Para Wali Songo memperagakan ritual agama dalam berbagai selebrasi raja 
dan kerajaan. Untuk mengesahkan (pembaiatan) seorang raja, para wali menjadi 
tokoh utama. Dalam mengukuhkan jalinan agama dan budaya, Sunan Kalijaga 
memberikan media berupa sekaten, di mana raja bisa memfatwakan ajaran agama dan 
kekuasaan dalam forum kebudayaan. Di Solo, diadakan ritual Ya Hayya, Ya 
Qoyyumu, di mana masyarakat berebut sesajen untuk mendapatkan berkah dari 
ritual kerajaan.

      Berbagai ekspresi keagamaan tersebut hadir sebagai upaya menancapkan 
nilai-nilai agama dalam ruang kekuasaan. Sehingga raja dalam memerintah rakyat 
tidak terjebak dalam totalitarianisme dan otoritarianisme. Pemimpin diharapkan 
mampu mentransformasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat, sehingga 
kebijakan-kebijakan kerajaan bisa sampai langsung membawa kemaslahatan rakyat 
(maslahah al-ra'iyyah). Pemimpin (al-ra'i) jangan sampai menerbarkan kerusakan 
(madharat) dalam ihwal kebijakannya. Sebab, itu akan meruntuhkan otoritas 
kepemimpinannya.

      Bagaimana dengan ritual mujahadah/istigasah yang diselenggarakan di era 
reformasi? Ketika reformasi bergulir, kaum bersarung sering menggelar acara 
mujahadah/istigasah dalam menselebrasikan kekuatan (show force) di tengah 
publik. Ritual tersebut dimaknai sebagai salah satu upaya menjaring suara 
publik untuk mendulang simpati dan suara dalam pemilihan. Inilah tafsir politik 
(politic interpretation) yang sekarang dijadikan legitimasi partai politik 
berbasis agama (Islam) dalam menjaring suara konstituen.

      Tafsir Religiusitas

      Pergulatan tafsir politik ritual agama (pengajian, mujahadah, istigasah) 
dalam bingkai kekuasaan di pentas politik Indonesia harus dicermati secara 
serius. Kalau kita maknai secara etimologis, makna pengajian dengan minta 
ampunan (istigfar) kepada Allah agar manusia mendapatkan rahmat dan hidayah-Nya 
di dunia dan akhirat.

      Pengajian umum rutinan menjadi ritual kolosal yang dijalankan tokoh agama 
mengajak umatnya meminta ampunan (istigfar) kepada Allah dalam jangka waktu 
yang disepakati bersama. Biasanya ada yang seminggu sekali, sebulan dua kali, 
atau juga sebulan sekali. Istigasah dijalankan dengan lumayan kolosal untuk 
berbagai kesusahan dan krisis nasional yang dihadapi negara. Istigasah menjadi 
sebuah partisipasi kaum bersarung dalam mengentaskan berbagai problem 
kebangsaan.

      Karena melibatkan ribuan bahkan jutaan figuran dalam setiap pergeralaran, 
maka ritual pengajian dilirik dunia politik untuk menyosialisasikan program 
politiknya. Hal ini sah-sah saja, karena ritual pengajian sudah menjadi 
kekayaan budaya nusatara. Dari simpul kekayaan budaya itulah politik bisa 
memberikan kemanfaatan kepada warga. Inilah yang harus dicatat.

      Dalam kaidah fiqh, kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus membawa 
kemaslahatan (tashorrufu al-imam ala al-ra'iyyah manuthun bi al-maslahah). 
Kemaslahatan inilah yang selama dijadikan jargon dalam membawa agenda politik 
di tengah jutaan figuran kaum bersarung ketika acara istigasah.

      Kalau dasar yang digunakan adalah kemaslahatan publik (al-maslahah 
al-'ammah), ritual pengajian sebagai sarana politik merupakan keniscayaan. 
Tetapi kalau ternyata hanya alat "mempolitiki", hanya untuk menarik simpati, 
hanya mendulang suara, dan rakyat dibiarkan sengsara, maka itu sebuah 
"pengkhiatan" dan pelecahan agama dalam dunia kuasa. Ini jelas akan mengulangi 
tragedi-tragedi buruk yang mengatasnamakan agama dalam berbagai pentas politik 
kolosal. Inilah yang kemudian almarhum Cak Nur menanggalkan status agama dalam 
dunia politik. Islam Yes, Politik Islam No, itulah slogan Cak Nur yang sering 
didengungkan.

      Salah tafsir atas ritual agama adalah kegagalan atas tafsir religiusitas 
politik. Dalam arti, para politisi salah tafsir ketika memaknai ritual 
pengajian sebagai jalan menuju politik yang religius. Ritual pengajian adalah 
urusan keagamaan dan politik adalah urusan kenegaraan.

      Abu Hasan al-Mawardi (wafat 450 H) dalam Adab al-Duna wa al-Din 
menjelaskan perkara dunia adalah perkara kenegaraan, sedangkan perkara agama 
adalah perkara syariat Tuhan. Pemetaan al-Mawardi ini mewaspadai agar tidak 
tercampur antara urusan dunia dan urusan agama. Jangan sampai ritual pengajian 
yang merupakan ritual agama menjadi ritual politik penuh kepentingan. Jelas, 
yang terjadi adalah politisasi agama. Dan dalam sejarah politik dunia Islam, 
politisasi agama hanya menghasilkan kaum hipokrit (munafik) yang merusak 
tatanan masyarakat
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to