09/10/08 19:49

Neoliberalisme Telah Mati


Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi 
bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar 
penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" 
mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah 
pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong 
pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa "The best government is 
the least government". Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia 
Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, 
ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran 
dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat 
bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk 
melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand".

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah 
depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur 
tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih 
dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan 
perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan. 

"Kita harus bertindak," kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis 
keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.


Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para 
ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 
memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada 
Perdagangan Bebas".

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis 
tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi 
AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan 
negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar 
adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni 
Soviet, Barat merayakan kemenangan dan "kebenaran" sistim liberalisme atas 
komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu 
itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku "The End of History" untuk 
menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi 
dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang 
akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan 
kapitalisme. 

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di 
bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan 
demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara 
di dunia menjadi negara demokrasi, karena "sesama negara demokrasi tidak saling 
memerangi".

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea 
Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan 
senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus 
dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.


Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan 
didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas 
terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau 
kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya. 

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan 
alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan 
keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan 
dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. 
Diplomasi "wortel dan pentungan" sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep "American Dream" yang ternyata hanya 
utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang 
dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan 
lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan 
sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang "booming" ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. 
China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, 
ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani 
dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang 
dari sepuluh tahun lagi.

"Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang 
menanjak, terutama China dan India," katanya.


Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary 
Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan 
bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi. 

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 
Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan 
NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah 
Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri 
sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika 
Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan 
batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan 
merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah 
tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah 
saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan 
"Selamat Tinggal Perdagangan Bebas". 

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)

COPYRIGHT © 2008

http://antara.co.id/arc/2008/10/9/neoliberalisme-telah-mati/




      

Kirim email ke