Nasionalisasi Migas ala Bolivia
M Amien Rais

Evo Morales (46) memenangi pemilihan presiden atau pilpres Bolivia 
pada
Desember 2005 dan dilantik Januari 2006.
Ia adalah penduduk asli Bolivia dari suku Indian Aymara, yang dalam
kampanyenya menekankan perlunya pemilikan kembali rakyat Bolivia atas
sumber daya alam, khususnya hydrocarbon (migas) yang selama itu 
dikuasai
korporasi asing.
Cadangan gas alam Bolivia ditaksir lebih dari 50 triliun kaki kubik 
dengan
nilai lebih dari 70 miliar dollar AS, sementara penduduknya sekitar
sembilan juta. Belum lagi kekayaan alam seperti minyak, barang-barang
mineral, dan kekayaan hutan. Morales menyatakan dirinya tidak gila 
jika
bercita-cita memakmurkan rakyat Bolivia sejajar rakyat Swedia.
Selama berkampanye, Morales berjanji sumber daya alam tidak dapat
diprivatisasi, tidak boleh dikuasai korporasi asing, dan harus 
dilakukan
renegosiasi (negosiasi ulang) atas seluruh kontrak karya 
pertambangan. Evo
juga setuju bila perlu melakukan nasionalisasi tanpa konfiskasi,
nasionalisasi tanpa ekspropriasi, alias negosiasi tanpa perampokan. 
Dengan
kata lain, akan ada kompensasi (ganti rugi) terhadap korporasi asing 
bila
Bolivia terpaksa melakukan nasionalisasi.
Di Bolivia ada 20-an korporasi asing bergerak di pertambangan migas, 
antara
lain Repsol YPF (Spanyol), Petrobras (Brasil), Total (Perancis), 
Exxon
(Amerika), British Gas (Inggris), dan Royal Dutch Shell (Belanda).
Mereka mencoba menakut-nakuti Morales dengan gertak sambal. Katanya,
Bolivia dapat dibawa ke arbitrase internasional dan rugi miliaran 
dollar AS
karena berani mengotak-atik, bahkan menuntut negosiasi ulang berbagai
kontrak karya dan bagi hasil yang telah ditandatangani.
Akan tetapi, Morales bukan Si Peragu seperti dua presiden sebelumnya,
Gonzalo Sanches de Lozada dan Carlos Mesa yang diusir rakyatnya 
karena
menempatkan diri sebagai pembela kepentingan korporasi asing, bukan
kepentingan rakyat Bolivia.
Morales membangun axis of good atau poros kebaikan terdiri dari 
Bolivia,
Venezuela, dan Kuba, untuk menyindir axis of evil atau poros 
kejahatan yang
kata George Bush terdiri dari Korea Utara, Iran, dan Irak. Dalam 
wawancara
dengan Der Spiegel, Morales mengatakan, reserve moral yang ia miliki
terdiri dari trilogi sederhana: jangan mencuri, jangan bohong, dan 
jangan
malas (do not steal, do not lie, and do not be idle).

Korporasi asing tunduk
Setelah lima bulan menjadi Presiden Bolivia, Morales melaksanakan 
janjinya.
Tanggal 1 Mei 2006 tentara Bolivia menduduki 56 ladang gas dan 
minyak serta
instalasi penyulingan di seluruh negeri. Dekrit Presiden Nomor 28701
tentang nasionalisasi industri migas diterbitkan. Rakyat Bolivia 
lega,
Presiden memenuhi janji.
Dalam dekrit itu, antara lain ditegaskan, cadangan minyak dan gas 
Bolivia
dinasionalisasi; 51 persen saham pemerintah yang pernah 
diprivatisasi di
lima perusahaan migas pada tahun 1990 diambil kembali; seluruh 
perusahaan
migas asing harus menyetujui kontrak baru yang ditentukan Yaciementos
Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB), perusahaan negara milik 
Bolivia
dalam tempo 180 hari; gabungan pajak dan royalti yang diserahkan 
perusahaan
gas asing yang memproduksi lebih dari 100 juta kaki kubik dinaikkan 
menjadi
82 persen dari sebelumnya yang hanya 50 persen dan mula- mula hanya 
30
persen; Pemerintah Bolivia melakukan audit investasi dan keuntungan 
semua
perusahaan migas asing di Bolivia untuk menentukan pajak, jumlah 
royalti
dan ketentuan operasi di masa depan; dan tak kalah penting, migas 
hanya
boleh diekspor setelah kebutuhan domestik Bolivia dipenuhi. Jika 
tidak
setuju isi dekrit, perusahaan asing itu dipersilakan meninggalkan 
Bolivia.
Apa yang terjadi? Sehari sebelum tenggat, 29 Oktober 2006, semua 
korporasi
besar yang beroperasi di Bolivia memilih tetap di Bolivia, tunduk 
kepada
kemauan pemerintah, yang hakikatnya kemauan rakyat Bolivia.
Evo Morales, seperti Hugo Chavez, Presiden Venezuela sebelumnya,
membuktikan kekeliruan brain washing, menuntut renegosiasi kontrak 
karya
yang merugikan rakyat mustahil dilakukan bila sudah ditandatangani.

Keuntungan Bolivia
Chavez dan Morales mampu menerobos kendala mental, moral, politik, 
dan
ekonomi yang sengaja dipasang berbagai korporasi asing. Menurut 
Morales,
berkat negosiasi ulang, Bolivia meraup satu miliar dollar AS, dan 
empat
miliar dollar AS per tahun pada tahun-tahun berikutnya. Belum lagi 
jika
renegosiasi kontrak nonmigas dan sumber-sumber non- renewable lain 
juga
berhasil.
Mengingat jumlah rakyat Bolivia hanya seperduapuluhdua rakyat 
Indonesia,
perolehan Bolivia seperti jika Indonesia mendapat 88 miliar dollar 
AS per
tahun. Rakyat Bolivia tentu lebih bahagia dibanding rakyat Banglades 
yang
salah satu putra terbaiknya meraih Nobel Perdamaian. Dan tentu lebih
berbahagia dibanding rakyat Indonesia yang diberi tahu para 
pemimpinnya
bahwa kontrak karya migas dan nonmigas dengan korporasi asing tidak 
bisa
diubah.
Mengapa? Katanya, jika menuntut negosiasi ulang, apalagi 
nasionalisasi
industri migas dan pertambangan, Indonesia bisa dikucilkan masyarakat
internasional. Katanya, investasi asing emoh masuk Indonesia. Selain 
itu,
ada adagium pacta sunt servanda, sekali kontrak ditandatangani, perlu
dihormati "kesuciannya", meski menempatkan Indonesia for sale, 
dijual untuk
umum.
Kita tidak perlu galak dan terlalu keras seperti Bolivia dan 
Venezuela
menghadapi korporasi asing. Cukup dengan ketegasan, kemandirian, dan
komitmen kebangsaan. Kita dapat melindungi dan menomorsatukan 
kepentingan
bangsa di atas kepentingan korporasi asing. Mereka adalah mitra, 
bukan
majikan kita. Namun, kepemimpinan nasional yang ada harus lebih 
visioner,
lebih tegas, dan lebih berani. Kita sudah terlalu lama jadi bangsa 
miskin
di tengah sumber daya alam melimpah.
Andaikata pemerintah, DPR, dan berbagai kekuatan masyarakat bersatu
menjadikan korporasi pertambangan asing sebagai mitra, negeri ini 
tidak
perlu menjadi bangsa musafir yang tiap tahun bingung mencari utang 
luar
negeri baru. Sementara itu kekayaan sendiri disodorkan untuk 
penjarahan asing.
Jika direnungkan, Exxon dan Freeport McMoran, misalnya, keduanya 
bukan
seperti a state with in a state, tetapi sudah a state above a state. 
Ingat,
di Indonesia ada lusinan korporasi asing yang terus menyedot 
kekayaan migas
dan nonmigas bangsa Indonesia. Sampai sekarang!

M Amien Rais Guru Besar Fisipol UGM, Yogyakarta




Kirim email ke