Antara Kemiskinan, Radikalisme, dan Surga 

Maruli Tobing

Apakah kemiskinan terkait erat dengan radikalisme kelompok berbasis 
agama? 

Kalangan intelektual kampus umumnya berpendapat demikian. Maka, 
solusinya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, 
selama kemiskinan masih melekat dalam irama kehidupan rakyat, 
radikalisme akan beranak-pinak. Mereka kemudian menghubungkannya 
dengan aksi kelompok teroris di Indonesia. 

Akan tetapi, Prof Haim Harari, teoretikus fisika dan Ketua Davidson 
Institution of Science Education, meragukan hal tersebut. Bom bunuh 
diri, misalnya, tidak dikenal di negara-negara miskin di Afrika, yang 
mayoritas penduduknya beragama Islam (A View from the Eye of the 
Storm, 2004). 

Jauh sebelum tegaknya Republik Indonesia, kemiskinan sudah menjalar 
di pelosok pedesaan Pulau Jawa. Pemberontakan petani maupun Pangeran 
Diponegoro bukanlah akibat kemiskinan, melainkan bentuk penolakan 
terhadap kebijakan kolonial. 

Ralph Dahrendorf, pelopor sosiologi konflik, menjelaskan radikalisme 
dengan mengacu pada pemikiran Karl Marx. Di setiap pergantian zaman, 
radikalisme selalu dimotori oleh kelompok yang kondisi ekonominya 
relatif lebih baik. 

Kelompok ini merasa dipinggirkan dalam proses perubahan yang sedang 
berlangsung. Muncul kekecewaan bercampur kebencian kepada rezim yang 
berkuasa, yang dianggap memblokir peluang mobilitas sosial mereka. 

Dalam hal ini kesenjangan antara harapan dan kenyataan merupakan 
bahan bakar radikalisme. Dahrendorf berpendapat, kelompok miskin 
cenderung apatis (The Politics of Frustration, Oktober 2005). Lantas, 
apakah memang demikian? 

Hasil penelitian Dr Marc Sageman, psikiater forensik AS, sangat 
membantu menjelaskan hal tersebut. Sageman mengambil sampel biografi 
400 anggota Al Qaeda maupun jaringannya. Hasilnya dituangkan dalam 
buku Understanding Terror Networks (2004). 

Pakistan 

Menariknya, Marc Sagemen adalah mantan anggota CIA yang bertugas di 
Pakistan tahun 1980-an. Pada waktu itu, Pakistan disiapkan sebagai 
pangkalan utama CIA dalam mempersenjatai Mujahidin melawan tentara 
pendudukan Uni Soviet di Afganistan. Dengan sendirinya, Marc Sageman 
tidak asing dengan dunia Mujahidin. 

Biografi yang dikumpulkan Marc Sageman sebagian besar warga asal 
Arab, komunitas imigran di Eropa Barat, dan warga Indonesia di 
Malaysia. Mereka ternyata bukan berasal dari negara termiskin. Lebih 
mengejutkan lagi, tidak satu pun di antara 400 sampel yang berasal 
dari Afganistan, salah satu negara termiskin di dunia. 

Dalam kaitannya dengan latar belakang sosial-ekonomi, tiga perempat 
berasal dari keluarga kelas atas dan menengah. Mereka lahir dan 
dibesarkan dalam keluarga yang rukun, penuh perhatian terhadap anak, 
taat beragama, dan menaruh perhatian terhadap masalah kemasyarakatan. 

Sekitar 60 persen sampel pernah menjadi mahasiswa. Padahal, di negara 
asal imigran tersebut tidak semua orang berkesempatan masuk perguruan 
tinggi. Umumnya mereka bergabung dengan organisasi teroris pada usia 
rata-rata 26 tahun. Tiga perempat sudah menikah dan sangat 
bertanggung jawab kepada keluarga. 

Dari keseluruhan sampel, tidak ditemukan indikasi 
mengalami "pencucian otak" oleh keluarga maupun pendidikan. Sekitar 
50 persen di antara mereka sejak kecil sudah menekuni agama. Hanya 13 
persen dari sampel, yang hampir semua berasal dari Asia Tenggara, 
mengikuti pendidikan di pondok pesantren. 

Hal menarik lainnya, 70 persen di antara mereka bergabung dalam jihad 
global ketika di perantauan. Sekitar 10 persen lagi adalah imigran 
baru Arab Magrib di Eropa. Dengan demikian, lebih kurang 80 persen 
terasing di negeri rantau, terputus dari ikatan sosial budaya asli, 
dan jauh dari sanak keluarga. 

Di tengah suasana demikian, masjid merupakan tempat para imigran 
untuk bertemu sesama perantau. Bertukar pikiran mengenai berbagai 
masalah dan membangun solidaritas. Sekitar 68 persen sampel bergabung 
dengan organisasi teroris melalui hubungan sosial maupun keluarga, 
yang terbentuk jauh sebelumnya. 

Kekecewaan 

Biografi teroris yang bergabung dalam Al Qaeda maupun jaringannya 
tidak menunjukkan hal yang terkait dengan masalah kemiskinan. 
Sembilan belas pelaku pembajakan pesawat udara—15 di antaranya asal 
Arab Saudi—dalam peristiwa serangan 11 September, misalnya, bukan 
dari kalangan melarat. Beberapa orang malah sedang melanjutkan 
pendidikan di Hamburg, Jerman. 

Mereka sama seperti Osama bin Laden, tokoh pemrakarsa jihad global, 
yang lahir dan besar di lingkungan keluarga kaya raya. Ia mendapat 
warisan bernilai ratusan juta dollar AS ketika masih berusia 20 
tahun. 

Sekembalinya dari perang Afganistan, bin Laden hanya menemukan 
kekecewaan di Arab Saudi. Puncaknya ketika penguasa kerajaan 
mengizinkan pangkalan militer AS dibangun di Arab Saudi. 

Bin Laden akhirnya hijrah ke Sudan dan kembali ke Afganistan tahun 
1996. Memilih tinggal di goa-goa di pegunungan Hindu Kush, seperti 
halnya di zaman batu. Dari lokasi inilah ia memimpin perang global 
menghadapi mesin-mesin perang elektronik AS dan sekutunya. 

Bangkitnya kembali agama sebagai ideologi pergerakan bermula di Mesir 
tahun 1970-an dan sama sekali tidak terkait dengan masalah 
kemelaratan. Ia adalah alternatif terhadap ideologi sekuler, 
sosialisme-nasionalis, yang berkuasa. 

Kekalahan dalam perang melawan Israel tahun 1967 merontokkan ideologi 
sekuler, termasuk nasionalisme Pan Arab dengan segala mimpi negara 
modern. Maka, yang tersisa hanyalah kekecewaan dan kebencian kepada 
rezim sekuler. 

Kelompok-kelompok agama kemudian tampil dengan menjanjikan surga bagi 
para pengikutnya. 

Indonesia bukan mustahil akan mengikuti irama yang sama jika ideologi 
sekuler gagal mewujudkan janjinya, yaitu Indonesia adil dan 
makmur. "Surga" akan muncul sebagai ideologi alternatif. 

Wakil Presiden Jusuf Kalla memahami hal ini. Dalam sambutannya pada 
pengukuhan doktor honoris causa Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul 
Ulama KH Dr A Hasyim Muzadi di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sabtu 
(2/12), Kalla meminta tokoh agama di Indonesia tidak "menjual" murah 
surga kepada kaumnya sehingga mereka mudah terhasut dan menyerang ke 
agama lain. 


Kirim email ke