Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/08/opi01.html



Oleh
Sulistiono Kertawacana 

Pertengahan Maret 2007, Pengadilan Cayman Islands memutus Pertamina bersalah 
dalam kasus gugatan pelanggaran Joint Operation Contract (JOC) terhadap Karaha 
Bodas Company (KBC), kontraktor Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 
Karaha. Maka sebagai implementasi putusan arbitrase internasional Geneva, 
Swiss, 18 Desember 2000, Pertamina harus membayar ganti rugi kepada KBC. 
Abitrase menyatakan Pertamina dan PLN melanggar Energy Sales Contract (ESC) dan 
JOC. Keduanya secara bersama dan masing-masing dihukum membayar ganti rugi KBC 
sejumlah US$ 261,100,000 (US$ 111,100,000 untuk biaya yang diderita KBC dan 
US$150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC ), termasuk bunga 4% per 
tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001. 
Pada 28 November 1994 telah disepakati dua kontrak untuk proyek PLTP Karaha, 
yaitu JOC dan ESC. JOC (Pertamina dan KBC) menetapkan Pertamina bertanggung 
jawab mengelola pengoperasian geothermal dan KBC sebagai kontraktor. 
KBC wajib mengembangkan energi geothermal dan membangun, memiliki, dan 
mengoperasikan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan dalam ESC (KBC, Pertamina, 
dan PLN), KBC (sebagai Kontraktor Pertamina dan berdasarkan JOC) akan memasok 
dan menjual tenaga listrik kepada PLN. Baik JOC maupun ESC memilih hukum 
Indonesia.
Meskipun demikian, ada klausul janggal yang luput dari pengamatan Pertamina dan 
PLN. Pasal 15.2 (e) JOC (isi senada termaktub Pasal 9.2 (e) ESC) bahwa "events 
of Force Majeure shall include, but not limited to:.(e) with respect Contractor 
only, any Government Related event" (kejadian-kejadian yang disebabkan oleh 
Keadaan Kahar termasuk tetapi tidak terbatas pada: .(e) hanya berlaku bagi 
Kontraktor (KBC-pen), setiap tindakan yang berhubungan dengan Pemerintah). 
Semestinya, para pihak yang terlibat dalam JOC dan ESC (Pertamina, PLN, dan 
KBC) dilarang melakukan tindakan yang melanggar hukum Indonesia, termasuk 
tindakan pemerintah menerbitkan ketentuan terkait dengan proyek yang mengikat 
semua pihak. Di KUHPerdata kita terdapat pasal yang mengatur syarat sahnya 
perjanjian, sebab yang halal dan yang terlarang. Menurut hukum Indonesia, Pasal 
15.2(e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang merugikan Pertamina dan PLN tidak sah.

Tiga Hikmah
Setidaknya, ada tiga hikmah yang dipetik dari peristiwa ini. Pertama, perlu 
dipertimbangkan kajian hukum yang mendalam sebelum pemerintah menangguhkan atau 
membatalkan proyek-proyek BUMN. Berbagai putusan arbitrase telah merugikan 
Indonesia akibat pembatalannya, seperti kasus PLTP Patuha dan PLTP Dieng.
Karenanya, jika inti klausul force majeure sama dengan JOC dan ESC, pembatalan 
sebaiknya diajukan oleh BUMN tersebut melalui pengadilan, meski sudah 
diterbitkan keputusan presiden atas penangguhan proyek tersebut. Ini sekaligus 
menguji keberlakuan klausul force majeure model ini menurut hukum Indonesia.. 
Cara ini lebih aman. Alasan yang lebih kuat bagi BUMN jika dibatalkannya 
kontrak, diperkarakan investor asing. Dari kaca mata hukum, pembatalan kontrak 
melalui putusan pengadilan lebih netral ketimbang kepres. 
Kedua, Menteri BUMN perlu menerbitkan surat edaran (dengan disertai ulasan 
hukum) kepada semua BUMN bahwa BUMN wajib menolak usulan klausul force majeure 
dengan konstruksi hukum seperti JOC dan ESC. Tujuannya, mempermudah BUMN dalam 
bernegosiasi dengan rekanannya agar terhindar dari pembayaran ganti rugi di 
kemudian hari. 
Ketiga, tidak cukup hanya menangguhkan/membatalkan proyek yang terindikasi KKN 
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tapi sebaiknya, didahului dengan pengusutan 
perbuatan korupsinya. Proyek terindikasi biaya tinggi sehingga membebani 
keuangan negara. Jika di tengah pengusutan KKN, proyek ditangguhkan, persepsi 
positif internasional bahwa Indonesia membatalkannya dalam rangka pemberantasan 
korupsi.
Presiden Habibie pernah membentuk Tim 7 Menteri (terdiri dari Menko Pengawasan 
Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (ketua), Menkeu, Menperindag, 
Mentamnben, Menneg Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, Meneg/Kepala Bapenas, dan 
Menneg Pendayagunaan BUMN. Tim diberi tugas meninjau berbagai kontrak listrik 
swasta (sekitar 27 kasus) yang dianggap merugikan Indonesia.

Di Bawah Tekanan
Dengan menunjuk advokat Adnan Buyung Nasution (mendapat kuasa dari Pertamina 
dan PLN), pemerintah berniat membatalkan berbagai kontrak listrik swasta 
melalui pengadilan di Indonesia. Alasannya, eksistensi kelahiran dan 
pembuatannya tidak halal karena terlaksana melalui KKN. 
Strateginya, sebelum dibatalkan melalui pengadilan, kasus KKN dan permainan 
kotornya dibongkar dulu. Namun, upaya ini gagal karena Jaksa Agung (Andi M 
Ghalib) tidak kooperatif untuk mewujudkan upaya ini. 
Banyak kontrak listrik swasta dibuat di bawah tekanan. Sesuai hukum Indonesia, 
pihak yang merasa ditekan dapat membatalkan perjanjian. Kasus Paiton dijadikan 
contoh awal untuk ini. 
Gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 9 Oktober 1999. Tim 
hukum siap memberikan bukti bahwa kontrak sarat tipu muslihat dan KKN. Mantan 
Direktur Utama PLN (Zuhal) siap bersaksi untuk menyatakan bagaimana dia 
dipanggil ke Cendana, tapi hanya disuruh menunggu di luar. Yang masuk menemui 
Soeharto adalah Menkeu Mar'ie Muhammad dan Menko Saleh Affif. Setelah mereka 
keluar, sudah ada keputusan bahwa harganya sekian, dan Zuhal dipaksa harus 
menandatangani (Adnan Buyung Nasution:174; 2004).
Di masa Presiden Abdurrahman Wahid berbagai tekanan datang dari pihak Amerika 
Serikat, mulai dari duta besarnya di Indonesia, mendatangkan pejabat dan 
tokohnya (Wakil Presiden, Menlu AS, dan Henry Kissinger), sampai ketika Gus Dur 
berkunjung ke AS. 
Dubes Indonesia di AS, Dorodjatun Kuntjorojakti juga ditekan supaya memberi 
nasihat kepada pemerintahnya untuk mencabut kasus Paiton. Tak luput pula 
Menteri Pertambangan (ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono). Tekanan pun 
dilancarkan melalui IMF, World Bank, dan UNDP.
Pemerintah Indonesia tak kuasa melawannya dan memerintahkan Direktur Utama PLN, 
ketika itu Adhi Satriya, mencabut gugatan pembatalan kontrak dengan Paiton. 
Adhi Satriya menolak, tetap berniat melanjutkan gugatan. Sayangnya, ia memilih 
mengundurkan diri sebagai Dirut PLN ketimbang menunggu "dipecat" dan melakukan 
perlawanan di pengadilan. Padahal langkah ini penting guna menguji absoluditas 
kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap 
merugikan dan demi kepentingan umum.
Kita dapat memetik pelajaran yurisprudensi di Belanda yang dikenal dengan Forum 
Bank Arrest, Arrest HR 21 Januari 1955. Pengadilan menerima gugatan direksi dan 
membatalkan keputusan RUPS. 
Alasannya, keputusan RUPS bertentangan dengan kepantasan dan itikad baik. Dua 
kesempatan emas yang penting bagi perkembangan hukum Indonesia telah hilang. 

Penulis adalah advokat, Koordinator Competition &Welfare Institute (Co-Welfare).


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke