BUBARKAN! BUBARKAN! BUBARKAN G20!
November 14, 2008 ·

Pernyataan Sikap Front Perjuangan Rakyat (FPR) Menentang Special Meeting G20
yang diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat, Sabtu, 15 November
2008

Pada tanggal 15 November 2008 ini, sebuah pertemuan tingkat tinggi yang
diikuti oleh negara-negara anggota G-20 akan diselenggarakan di Washington
DC, Amerika Serikat. Prestise perundingan G20 saat ini justru terletak pada
kondisi tentang semakin panjangnya daftar kegagalan imperialisme AS dalam
memandu penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia. Upaya-upaya AS untuk
menanggulangi krisis ekonomi, baik melalui kebijakan dalam negeri maupun
melalui perundingan-perundingan internasional, seperti perundingan putaran
Doha WTO dan Perundingan G8 di Hokkaido, Toyako, Jepang, Juli 2008 lalu
tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Parahnya, krisis ekonomi dan
keuangan justru kian menajam dan memburuk pasca September 2008.
Perundingan kali ini jelas dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi dan keuangan
dunia yang dipicu oleh kredit macet sector perumahan Amerika Serikat
(subprime mortgage) yang kini telah menelan kerugian lebih dari $1000
triliun, menyebabkan hilangnya lapangan kerja bagi 20 juta penduduk dunia,
serta mengancam kehidupan bagi miliaran penduduk miskin yang memiliki
pendapatan dibawah US$2 perhari. Krisis paling tajam terjadi di Amerika
Serikat yang memaksa negara tersebut mengeluarkan dana tidak kurang dari US$
700 miliar untuk menalangi kerugian dan menyelamatkan
perusahaan-perusahaannya dari kebangkrutan. Langkah yang dilakukan AS juga
diikuti oleh Inggris (US$691 miliar), Jerman (US$680 miliar), Irlandia
(US$544 miliar), Perancis (US$492 miliar), Rusia (US$200 miliar), dan Asia
(US$80 miliar).

KTT G20 kali ini diwarnai dengan gagasan-gagasan untuk kembali menerapkan
sistem Bretton Wood yang diperbarui. Gagasan ini menuai kontroversi,
terlebih ketika secara faktual sistem tersebut—mematok harga dollar AS
berdasarkan ukuran emas—telah dihentikkan Presiden Nixon pada awal dekade
1970-an menyusul inflasi dan defisit anggaran belanja AS akibat Perang
Vietnam (1965-1975). Pada saat ini, imperialisme Amerika Serikat berada
dalam keadaan yang kurang-lebih sama; nilai dollar mengalami fluktuasi,
deficit anggaran belanja melebar, dan defisit perdagangan—khususnya dengan
China—semakin membengkak.

Pertemuan ini secara formal dimaksudkan untuk merumuskan langkah-langkah
penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia yang kian memburuk pada saat
ini. Namun, sedari awal sudah bisa diketahui, bagi rakyat dan bangsa-bangsa
dunia ketiga termasuk Indonesia, pertemuan tersebut tidak akan membuahkan
hasil yang menggembirakan, melainkan sekadar melipatgandakan penindasan dan
penghisapan yang pada akhirnya hanya akan memperburuk kehidupan rakyat dan
bangsa-bangsa dunia ketiga. Tidak ada satupun agenda perundingan yang
membahas upaya-upaya penyelesaian kontradiksi pokok; yakni kontradiksi
antara kerja dengan kepemilikan individual serta monopoli atas alat
produksi–sebagai biang-keladi krisis ekonomi dunia.
Tidak ada satupun rancangan kesepakatan dalam perundingan G20 yang ditujukan
untuk mendongkrak nilai upah bagi kaum buruh untuk meningkatkan daya beli
masyarakat secara global. Tidak ada pula rancangan kesepakatan dalam
perundingan G20 ini yang ditujukan untuk menghentikkan ekspansi dan monopoli
imperialis atas tanah dan sumber-sumber produktif bagi miliaran rakyat dunia
yang hidup di pedesaan. Artinya, tidak ada suatu rencana yang tersusun
secara sistematis untuk menanggulangi overproduksi komoditi, spekulasi
finansial untuk mengejar superprofit, dan pencegahan dan upaya-upaya lain
yang secara efektif untuk mengangkat daya beli rakyat di seluruh dunia.

Terlebih, perundingan G20 kali ini ditujukan untuk menyeragamkan pemahaman
para pemimpin dunia tentang pentingnya penguatan kelembagaan ekonomi global
dengan memperkuat dan memperluas peranan lembaga-lembaga keuangan
internasional, khususnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional
sebagaimana dituangkan dalam resolusi-resolusi KTT ASEM di Beijing, Oktober
2008 lalu. Semuanya ditujukan untuk menghentikan pertikaian-pertikaian yang
tidak berujung diantara negeri-negeri imperialis, sebagaimana yang terjadi
di dalam forum-forum ekonomi dunia lainnya, khususnya dalam forum
perundingan organisasi perdagangan (WTO) yang hingga kini tidak jelas
kelanjutannya.

Perundingan tingkat tinggi G20 saat ini juga melulu ditujukan untuk
mengonsentrasikan berbagai sumberdaya ekonomi guna mendukung rencana-rencana
'chauvinis' negara-negara industry maju untuk melakukan bailout (dana
talangan) bagi kapitalis-kapitalis monopoli dunia yang kini terhuyung
diambang kebangkrutan akibat ulahnya dan keserakahannya sendiri. Singkatnya,
perundingan G20 kali ini justru kian menjauhkan harapan masyarakat dunia
atas perbaikan kesejahteraan dan pemulihan krisis ekonomi yang demokratis
dan berkeadilan sosial.

Front Perjuangan Rakyat (FPR) memandang bahwa hakikatnya G20 adalah
persekongkolan jahat pemimpin-pemimpin negara-negara dari Argentina,
Australia, Brazil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italy,
Jepang, Meksiko, Russia, Saudi Arabia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki,
Inggris, AS, Uni Eropa, untuk mendukung rekayasa imperialisme Amerika
Serikat yang tengah berkeinginan mendistribusikan beban krisis akibat
membludaknya overproduksi teknologi tinggi dan persenjataan militer serta
kian anarkisnya spekulasi finansial dan jatuhnya daya beli akibat
intensifikasi penghisapan pada rakyat dan klas pekerja di negeri-negeri
tersebut.

Khususnya bila kembali melihat sejarahnya: Pembentukkan G20 sesungguhnya
mengikuti garis yang telah dirintis pada saat pembentukkan G6—terdiri dari
AS, Inggris, Jerman Barat, Jepang, Italia, dan Perancis—atau "cikal-bakal
G8" dekade 1975 yang saat itu ditujukan untuk menghadapi kemungkinan resesi
ekonomi akibat gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia. Pembentukkan G20
melalui pertemuan di Berlin tahun 1999 juga tidak lebih dari upaya merespon
semakin goyahnya keseimbangan politik dan ekonomi dari negeri-negeri
imperialis akibat krisis ekonomi dunia saat itu. Dengan garis yang relative
sama untuk mengatasi masalah yang kian memburuk, hanya akan semakin
memperburuk keadaan yang dihadapi. Itulah haridepan dari perundingan G20
kali ini!
KTT G20 dan Krisis Ekonomi Indonesia

Perundingan G20 adalah usaha pelipatgandaan penindasan dan penghisapan bagi
rakyat dan bangsa-bangsa terjajah dan setengah-jajahan di seluruh dunia.
Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan finansial yang melanda AS dan
negara-negara industri maju, pada saat ini telah merembet dan meluas di
negara-negara berkembang dan terbelakang. Dampak krisis di Negara-negara
berkembang dan terbelakang akan semakin berlipat sebagai akibat dari
kombinasi antara pengaruh eksternal dengan kondisi internal krisis–yakni
adanya kontradiksi antara melemahnya produksi nasional dan membanjirnya
dumping komoditi impor dari negeri-negeri imperialis serta tingginya beban
utang luar negeri–yang menyebabkan terjadinya defisit anggaran dan
perdagangan di masing-masing negara-negara tersebut.

Krisis ekonomi yang kian memburuk di negeri-negeri dunia ketiga ini justru
diperburuk oleh munculnya kecenderungan perpindahan kapital (capital flight
atau ekspor kapital) dari negeri-negeri terbelakang dan berkembang ke
negeri-negeri maju. Berdasarkan laporan survey yang tertuang dalam Trade and
Development Report 2008 UNCTAD, pada tahun 2002-2006, dari sekitar 113
negara berkembang, 42 negara diantaranya adalah Negara pengekspor kapital
(net exporters of capital). Masih menurut UNCTAD, kecenderungan mengalami
penguatan justru setelah Negara-negara berkembang mengalami krisis keuangan
tahun 1997-1998.

Tingginya arus capital flight, khususnya pada era liberalisasi sistem
keuangan dunia, menyebabkan negara-negara berkembang kian tidak mampu
mengendalikan laju krisis ekonomi yang dihadapinya. Tidak salah bila bagi
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, gejolak mata uang akibat
transaksi valuta asing yang tidak seimbang, menjadi penyebab utama inflasi
dan naiknya berbagai harga kebutuhan pokok yang pada gilirannya mencekik
jutaan rakyat miskin yang hidup di negara-negara tersebut. Sebagaimana
terjadi di Indonesia, kenyataan ini diperburuk oleh kebijakan dari
rejim-rejim komprador dan kakitangan imperialisme AS yang mengeluarkan
segala cara untuk mengamankan kepentingan dari negeri-negeri induknya; yakni
imperialisme Amerika Serikat.
Lihat saja apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Meski pemerintah SBY-JK
berulangkali meyakinkan publik tentang kecilnya dampak akibat krisis
keuangan dan ekonomi dunia, namun fakta di lapangan justru sebaliknya.
Hantaman krisis ekonomi begitu kuat dirasakan oleh kaum buruh yang
berdasarkan Surat Keputusan Bersama Empat Menteri dipaksa merelakan
perampasan upah yang menjadi haknya. Demikian pula bagi kaum tani yang akan
menghadapi gelombang perampasan tanah dan represifitas politik SBY-JK demi
lancarnya pembangunan infrastruktur besar yang konon ditujukan untuk menarik
investasi asing. Tidak cukup dengan itu, Pemerintah SBY-JK juga berniat
untuk mengeruk sebesar-besarnya pendapatan dari pajak perorangan yang pada
APBN 2009 ditargetkan mencapat sebesar Rp 364,4 triliun atau melebihi
realisasi penerimaan pajak pada tahun 2008 yang mencapai Rp 325,7 triliun
serta melipatgandakan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri
dengan target pengiriman 1 juta orang per-tahun mulai tahun 2009 untuk
menggelembungkan penerimaan devisa dari remitan (uang kiriman) buruh migran
Indonesia yang ditargetkan mencapai Rp 125 triliun atau hampir dua
kali-lipat penerimaan remitan tahun 2008 ini.

Kebijakan yang intinya mengintensifkan penindasan dan penghisapan terhadap
rakyat ini bertolak belakang dengan kebijakan lain yang dikeluarkan
pemerintah terhadap kalangan pengusaha, spekulan valuta asing dan saham,
serta investor-investor Asing. Selain pengurangan pajak dan berbagai
insentif kebijakan yang liberal dan memanjakan, baru-baru ini pemerintah
SBY-JK juga mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dan
kebijakan-kebijakan lain, seperti pembelian kembali saham-saham BUMN dan
pembelian kembali surat utang negara yang semuanya hanya ditujukan
memberikan kompensasi triliunan rupiah dengan cuma-cuma bagi pengusaha besar
komprador, spekulan saham dan valuta asing, serta investor-investor
portofolio di bursa efek Indonesia.
Pemerintah juga tidak bergeming dari tuntutan penghapusan utang yang
membebani anggaran. Padahal, dengan kondisi yang serba sulit, pengamanan
cadangan devisa adalah hal terpenting pada saat cadangan devisa saat ini
yang terus tergerus hingga hanya sebesar US$ 57 miliar. Penghapusan utang
luar negeri menjadi semakin penting ketika pemasukkan devisa negara dari
ekspor mengalami penyusutan akibat menyempitnya pasar dan membesarnya
proteksionisme negara-negara maju serta akibat dari turunnya harga
komoditi-komoditi andalan di pasar internasional. Pengamanan cadangan devisa
dengan menghapuskan utang luar negeri semakin dibutuhkan untuk menjaga
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang hingga kini masih bergantung pada
impor.
Singkatnya, penghapusan utang luar negeri pada saat ini adalah langkah yang
secara logis tidak terhindarkan untuk menyelamatkan perekonomian rakyat.
Terlebih, sebagian besar dari utang tersebut adalah utang najis yang haram
untuk dibayar oleh Rakyat Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia atas Utang
Luar Negeri ini akan mencekik beban rakyat, khususnya ketika pada periode
tahun 2009-2012 yang akan datang, adalah periode puncak pembayaran utang
luar negeri yang jatuh tempo. Menurut data pemerintah SBY-JK , volume utang
luar negeri jatuh tempo yang harus dibayar Indonesia tahun 2009 mencapai 6,4
juta dollar; 2010 mencapai 5,1 juta dollar; tahun 2011 mencapai 4,5 juta
dollar; tahun 2012 sebesar 4,4 juta dollar; tahun 2013 sebesar 4,5 juta
dollar; tahun 2014 sebesar 4,3 juta dollar, dan tahun 2015 sebesar 4,2 juta
dollar.

Kombinasi dari krisis ekonomi dan keuangan dunia dengan bentuk-bentuk krisis
ekonomi di dalam negeri serta mekanisme penyelesaian krisis yang tidak
berpihak pada rakyat akan tidak akan bermuara pada penyelesaian secara
menyeluruh krisis ekonomi yang dilanda rakyat Indonesia. Keadaan-keadaan ini
akan menyebabkan pemerintah Indonesia tidak akan sanggup mencapai target
tujuan pembangunan millennium (MDGs) 2015 yang secara eksplisit menyebutkan
keharusan adanya pengurangan angka kemiskinan menjadi setengahnya dari angka
tahun 2000. Keadaan-keadaan ini juga akan menyebabkan kegagalan pemerintah
dalam merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana
tertuang dalam Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah
diratifikasi Pemerintah RI sejak tahun 2004. Tidak hanya itu,
keadaan-keadaan ini juga akan hanya meningkatkan kekerasan negara terhadap
rakyat, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan politik, sebagai akibat
dari tidak terpecahkannya kontradiksi-kontradiksi di kalangan rakyat.
Kesimpulan dan Sikap

Berdasarkan analisis dan pandangan-pandangan di atas, Front Perjuangan
Rakyat menyimpulkan bahwasanya;


   - 1. Konferensi Tingkat Tinggi Khusus Negara-Negara G20 tidak lebih dari
   persekongkolan jahat antara imperialisme pimpinan Amerika Serikat dengan
   komprador-kompradornya di berbagai negeri untuk mengintensifkan dan
   melipatgandakan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat, khususnya rakyat
   dari negeri-negeri dunia ketiga yang bergantung dan terbelakang.
   - 2. Bahwa kehadiran Presiden SBY dalam KTT G20 di Washington, 15
   November 2008 ini tidak akan membawa manfaat apapun bagi rakyat, bahkan
   sebaliknya, justru kian memperburuk harapan rakyat untuk melepaskan diri
   dari jeratan dan cekikan krisis yang kian sengit.



Atas dasar kesimpulan tersebut, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan
sikap sebagai berikut;

   - 1. Menentang dan menolak penyelenggaraan KTT G20 di Washington dan
   menuntut pembubaran G20 sebagai manifestasi dari pembubaran persekongkolan
   jahat imperialisme pimpinan AS dan komprador-kompradornya.
   - 2. Menuntut Penyelesaian krisis ekonomi dan keuangan dunia dengan
   mengedepankan pemihakan terhadap rakyat khususnya kaum buruh dan kaum tani
   dalam dengan cara; (1) melakukan penaikan upah secara signifikan bagi kaum
   buruh; (2) melaksanakan land-reform sejati bagi kaum tani; (3) lapangan dan
   jaminan kerja yang layak bagi seluruh rakyat.
   - 3. Menuntut penghapusan seluruh utang luar negeri, khususnya
   utang-utang najis dan haram, dan sekaligus menuntut debt-reparation kepada
   negara-negara imperialis guna memulihkan keadaan sosial, ekonomi,,
   kebudayaan, dan kedaulatan rakyat Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun
   dirusak oleh proyek-proyek utang luar negeri.
   - 4. Menuntut penyelesaian segala bentuk pelanggaran HAM; berupa
   penyelesaian sengketa-sengketa perburuhan dengan mengembalikan seluruh
   hak-hak kaum buruh yang dirampas demi membiayai penanganan krisis ekonomi;
   penyelesaian sengketa-sengketa agraria dengan mengembalikan seluruh
   tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh berbagai proyek infrastruktur,
   perkebunan, dan pertambangan; dan menuntut pemenuhan segala hak-hak ekonomi,
   sosial, dan budaya rakyat Indonesia.
   - 5. Menuntut penyelenggaraan pembangunan yang mandiri, berwatak
   nasional-patriotis, dan demokratis untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat
   Indonesia.

Demikian, pernyataan ini kami susun. Terima kasih.
Hidup Rakyat! Hidup Buruh! Hidup Tani!

Bubarkan! Bubarkan! Bubarkan G20!
Jakarta, 15 November 2008
Front Perjuangan Rakyat
Rudi HB Daman
Koordinator


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to