Bagimu Surgamu, Bagiku Surgaku  
Oleh Komarrudin Hidayat

INI bukan kolom agama, melainkan catatan kecil kekaguman seorang 
nenek kepada cucunya yang sekolah di Barat, yang mayoritas temannya 
beragama Kristen,sementara dia muslim. 

Jadi lebih tepat kolom ini diposisikan sebagai refleksi psikologi 
beragama, bukan pembahasan doktrin agama. Dalam perjalanan pulang 
dari Yogyakarta ke Jakarta dengan pesawat Garuda,saya duduk 
bersebelahan dengan salah seorang ibu anggota legislatif yang anak 
dan cucunya tinggal di Kanada. Dia menceritakan bagaimana rasanya 
sebagai warga minoritas, baik dari segi bangsa maupun agama 
(Islam).Rasa tertekan dan malu itu sangat dirasakan setelah gencarnya 
pemberitaan sekian banyak gerakan kekerasan dan terorisme yang 
dilakukan umat Islam. 

Perasaan ini dirasakan terutama oleh cucunya yang masih sekolah di 
tingkat sekolah dasar di negara yang mayoritas beragama 
Kristen,sementara dia seorang muslim. Ada semacam beban bagi seorang 
muslim saat ini yang tinggal di Barat.Lawan politik Barack Obama pun 
berusaha membangun citra bahwa Obama merupakan keturunan 
keluargamuslimagarperjuangannya ke GedungPutihterganjal. Jadi, tidak 
hanya bagi imigran muslim yang berkulit cokelat atau hitam, problem 
serupa dirasakan oleh keluarga kulit putih yang memeluk Islam, 
terutama oleh anakanaknya. 

Di lingkungan sekolah, teman-temannya ada yang bertanya bercampur 
sinis, mengapa kamu memeluk agama Islam, agama para teroris itu? Bagi 
umat Islam di Indonesia, mungkin tidak pernah merasakan problem itu 
karena merasa mayoritas. Tetapi bagi keluarga muslim di Barat,sungguh 
jadi persoalan tersendiri ketika hendak mengirimkan anak-anaknya yang 
masih kecil ke sekolah lantaran khawatir persoalan agama jadi bahan 
cemoohan. 

Tertawa dan Terperanjat 

Ibu tadi,sebut saja Bu Tuti, suatu saat berkunjung ke Kanada. Di 
antara obrolan dengan cucunya yang membuat Bu Tuti tertawa bercampur 
kaget adalah ketika teman sekelas cucunya mengatakan bahwa sang cucu 
nanti akan masuk neraka karena tidak memeluk Kristen, mengikuti 
ajaran Yesus.Islam adalah agama teroris yang suka membunuh orang dan 
nanti akan masuk neraka. 

Menerima ejekan dan tuduhan itu sang cucu menjawab, Islam tidak 
mengajarkan terorisme dan kekerasan. "Saya tidak akan masuk surgamu, 
kami punya surga sendiri. Masing-masing agama punya surga dan 
neraka.Nanti kamu akan masuk surgamu, dan aku akan masuk surgaku," 
cerita Bu Tuti mengulangi apa yang dikatakan sang cucu kepada teman 
sekolahnya. 

Dia tertawa sekaligus kaget,dari mana gagasan jawaban itu bisa 
muncul. Cerita tadi kelihatannya sepele, hanya berkisar soal kasih 
sayang dan kekaguman nenek kepada cucunya. Namun sesungguhnya guyonan 
serupa kerap muncul dalam berbagai forum seminar dan dialog 
agama,baik ditingkat nasional maupun internasional. Memang terdapat 
ayat Alquran yang menyatakan "Bagimu agamamu, bagiku agamaku."Ayat 
ini berkaitan dengan etika dan relasi sosial antarpemeluk keyakinan 
agama yang berbeda. 

Jika memang tidak seiman, tidak ada paksaan dalam memeluk suatu 
agama,namun mari kita jaga perdamaian dan ciptakan tatanan sosial 
yang baik. Urusan akhirat biarlah Allah yang menyelesaikan nanti. 
Sekali lagi, ini adalah refleksi psikologis.Adapun apakah masing-
masing agama di akhirat nanti memiliki surga dan neraka yang berbeda, 
realitanya di luar jangkauan manusia yang masih samasama hidup di 
dunia ini. Kita semua belum mati.

Sebagai sebuah doktrin dan keyakinan agama,tampaknya setiap agama 
memiliki doktrin adanya surga dan neraka.Tetapi apakah nantinya hanya 
ada satu surga dan neraka,pertanyaan ini sering dilemparkan sambil 
lalu dalam berbagai forum dialog lintas agama. Ada sekelompok teman 
yang yakin sekali bahwa orang yang berbeda agama pasti akan masuk 
neraka, dengan keyakinan surga dan neraka hanya ada satu bagi seluruh 
manusia. 

Ada yang berpandangan, jika di dunia saja terdapat beragam agama, apa 
susahnya Tuhan menciptakan beragam surga dan neraka di akhirat nanti. 
Bukankah alam akhirat jauh lebih luas dan sanggup menampung seluruh 
manusia andaikan mereka semua dibangkitkan dengan jasadnya sekalipun? 
Ada lagi yang berkomentar, yang paling penting kita semua yakin dan 
konsekuen dengan agama kita masing-masing, lalu memperbanyak amal 
kebajikan. 

Urusan surga-neraka itu hak prerogatif Allah. Lalu seorang teman lain 
nyeletuk, janganlah berandai-andai dan bercanda dengan doktrin dan 
keyakinan agama.Itu bisa merusak iman. Kita jadi ragu akan keyakinan 
agama kita. Demikianlah, ketika penduduk bumi semakin banyak, 
perjumpaan lintas bangsa dan kelompok umat beragama yang berbeda 
semakin intens, maka perdebatan,tukar menukar gagasan serta guyonan 
seputar pengalaman dan pemahaman agama tidak terhindarkan. 

Apa yang semula dianggap peka dan tabu,dalam forum-forum tertentu 
menjadi cair dan ringan untuk dikemukakan. Oleh sebagian, perjumpaan 
antarpemeluk agama dirasakan sebagai sumber keresahan beragama. 
Berbagai hujatan terhadap mereka yang berbeda tak jarang kita 
temukan. Soal guyonan paham keagamaan, mungkin Gus Dur merupakan 
salah satu tokoh yang paling cerdas mencairkan dialog dan produktif 
menciptakan bermacam anekdot seputar kehidupan beragama. 

Belum lama berselang saya sendiri memperoleh pengalaman baru. Dalam 
sebuah seminar antar-iman tingkat internasional,di mata saya wakil 
dari Protestan gaya bicaranya lebih asertif dan bersemangat layaknya 
seorang ahli pemasaran. Sementara wakil dari Katolik bicaranya datar 
dan dingin. Soal isi,keduanya sama-sama berbobot.Lalu saya bertanya 
kepada teman Protestan tadi, mengapa Anda tampak lebih bersemangat 
layaknya seorang penginjil di depan ribuan massa? Teman tadi menjawab 
sambil bercanda. 

"Kalau seorang pastur (Katolik) pindah tugas ke kota lain, bekalnya 
sangat sederhana. Cukup membawa tas tangan. Tapi kalau pendeta 
Protestan, dia mesti membawa semua keluarganya, anak dan istri. 
Mungkin itu yang membuat berbeda dalam penampilan kami." Tentu itu 
sebuah guyonan. 

Dan guyonan seputar keberagamaan kalau disampaikan pada tempat dan 
waktu yang tidak tepat, bisa mendatangkan persoalan serius karena 
dianggap melecehkan martabat agama. Padahal tidak 
selaludemikian.Bisajadisuatu yang dianggap tabu oleh sebagian malah 
jadi pencair suasana bagi yang lain,mengingat yang beragama adalah 
manusia dengan beragam emosiyangselaluberubah- ubah.(*) 

*)Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

 http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/bagimu-
surgamu-bagiku-surgaku.html -- friday, 05 September 2008  

Reply via email to