http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=55445:bangkit-dari-keterpurukan-mampukah&catid=78:umum&Itemid=131


      Bangkit dari Keterpurukan, Mampukah!?      
      Oleh : Abdul Gaffar



      Hari Kebangkitan Nasional (HKN) ke 102 bertepatan pada 20 Mei 2010 
merupakan tonggak dalam penetapan kelahiran Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908. 

      Karena dalam catatan sejarah, kebangkitan kebangkitan nasional terilhami 
dari dua peristiwa penting. Yaitu, Boedi Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda 1928 
yang kemudian menegaskan ke-Indonesia-an bangsa pada saat dilantangkannya 
Proklamasi Kemerdekaan 1945. 

      Tentu dua peristiwa itu, merupakan salah satu dampak politik etis yang 
mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli dan menimbulkan kesadaran, kebangkitan 
serta mampu menggerakkan perjuangan bangsa hingga ke pintu gerbang negara 
Indonesia merdeka. 

      Oleh karena itu, kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat 
persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan 
kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 
350 tahun. 

      Sudah lebih seabad bangsa ini sadar dan bangkit. Pahit-getirnya 
perjuangan mempertahankan kemerdekaan sudah kita lalui sejak memasuki pintu 
gerbang "kemerdekaan". Kita telah melalui masa-masa revolusi yang penuh 
dahsyat, melalui orde-orde dan pemerintahan bangsa sendiri. 

      Persoalannya adalah apakah kini kita sudah sampai atau masuk ke negara 
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur? Sejauh ini, meski 
sudah sampai pada titik klimaks "Indonesia merdeka", ternyata semakin lama 
kemerdekaan itu kita raih, negara Indonesia terus menampakkan wajah 
keterpurukan. 

      Dahulu kala, cikal bakal-negara Indonesia yang merdeka, bersatu, 
berdaulat, adil, dan makmur-telah menjadi obsesi dan impian para pemimpin dan 
rakyat sehingga mereka bersedia berkorban apa saja demi memperjuangkannya, 
namun kini hal tersebut masih sekedar menjadi obsesi dan impian ideal para 
pemimpin dan rakyat kita yang tak kunjung sampai.

      Dengan menyaksikan hiruk-pikuknya pertikaian antar (pemimpin) tokoh 
politik dan pertikaian antar birokrasi pemerintah baik di livel internal dan 
eksternal, seperti kasus mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji yang 
menduga pejabat tinggi Polri terlibat mafia kasus, semakin mengkerdilkan hati 
kita. 

      Jangan-jangan para pemimpin dan rakyat negeri ini justru masih belum 
kunjung merdeka, bahkan lebih terjajah dari pada zaman dahulu. Karena secara 
psikis, rakyat selalu dipertontonkan oleh berbagai kasus-kasus yang kurang 
sedap, mulai dari persoalan kebangsaan dan kenegaraan. 

      Secara fisik, masih banyak rakyat merasa tertindas, ditindas dan 
menderita akibat lapar dan tidak kunjung mendapatkan pendidikan sebagai mana 
mestinya hingga harus meminta-minta (mengemis) di jalanan menanti belas kasihan 
orang lain. 

      Di sisi lain, meningkatnya pengangguran dari tahun-ke tahun semakin tidak 
terbendung. Sarjana-sarjana tidak ubahnya sebagai operandi penjual Ijazah yang 
kebingungan akibat mencari pekerjaan ideal. 

      Pada dasarnya, kita sudah lama melepaskan dari genggaman penjajahan 
Belanda. Namun, penjajah demi penjajah masih terus menghantui kita. Atau, kita 
sendiri yang belum bisa melepaskan diri dari mental anak jajahan. Bahkan, sejak 
kampanye orde baru yang efektif "atas nama pembangunan ekonomi" untuk mencintai 
materi, sadar atau tidak, kita telah menjadi budak jajahan dunia dan materi.

      Ternyata, kemerdekaan masih memerlukan perjuangan yang panjang, menguras 
tenaga, pikiran, darah, dan air mata. Mempertahankan kemerdekaan ternyata tidak 
kalah berat dari pada merebutnya dari penjajah. Kita mesti malu kepada sang 
pewaris kemerdekaan yang telah dinobatkan sebagai tokoh kebangkitan nasional, 
antara lain: Sutomo, Gunawan, dan Tjipto Mangunkusumo, dr. Tjipto Mangunkusumo, 
Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Douwes Dekker, dan lain-lain.

      Sepertinya, kita memang telah dinobatkan sebagai "bangsa pelupa" yang 
hampir dipastikan tidak pernah belajar pada pengalaman-pengalaman masa silam. 
Yang sering kita ingat, bukan esensinya, melainkan asesorisnya. Kita lupa bahwa 
pada awal-awal pergerakan nasional, para pendiri negeri ini dengan amat sadar 
menyentuh persoalan kebudayaan sebagai basis perubahan. 

      Dengan demikian, setiap tahun momentum Hari Kebangkitan Nasional hanya 
dijadikan sebatas romantisasi sejarah, tidak dijadikan spirit perjuangan bangsa 
ke arah yang lebih baik. Kita hanya bangga ketika menyebut nama-nama tokoh 
nasional dari pada kita menjadi jati diri mereka. 

      Jika terus demikian, agaknya kita akan terus menjadi sebuah negara 
tertinggal, kerdil dan tidak punya pendirian yang kokoh. Karena, tidak 
dibarengi dengan kemauan politik untuk menyentuhnya ke dalam ranah perubahan. 
Dalam dekade reformasi, seharusnya sudah mampu memberikan kemaslahatan publik 
dalam menggapai kehidupan yang lebih baik. 

      Kita sudah sedemikian bosan mendengar bahasa politik dan ekonomi yang tak 
henti-hentinya mengedepankan "siapa yang menang" dan "apa untungnya". Sudah 
saatnya bangkit dari "keterpurukan" yang sedang mengkungkung kita, dan tindakan 
ini harus dibarengi oleh kesadaran kolektif, sehingga kita akan memperoleh 
rumusan dari makna perubahan dengan menyentuh akar-akar kebudayaan yang 
mengedepankan pernyataan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". 
Selamat Hari Kebangkitan Nasional !. ***

      Penulis adalah Kolumnis dan Kepala Riset Sosial pada The banyuanyar 
Institute 
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke