Refleksi : Hidup normal artinya lagi istirahat sambil tunggu komando untuk beraksi?
Jawa Pos [ Rabu, 14 Oktober 2009 ] Banyak Mantan Napi Teroris Hidup Normal SUARA tilawah Alquran yang dilantunkan tiga puluh santri secara bersama-sama terdengar merdu dan padu. Siang itu (10/10), mereka sedang membaca Surat At Taubah, surat urutan ke sembilan Alquran yang banyak membahas tentang pengampunan Allah. Mereka adalah sebagian santri Pondok Pesantren Missi Islam di bilangan Koja, Jakarta Utara. Lokasinya di tengah permukiman padat penduduk. Bangunan pondok tersebut sederhana. Ada sebuah lapangan bulu tangkis di pelatarannya. ''Saat ini ada 246 santri dari seluruh Indonesia yang belajar di sini,'' jelas Ustad Hasyim Abdullah, pengasuh pondok tersebut, kepada Jawa Pos. Sejak 1983, pria asal Malang, Jawa Timur, itu tinggal di wilayah tersebut. Selain menjadi pengasuh pondok, dia aktif sebagai anggota dewan syura Tim Pengacara Muslim (TPM). Karena amanahnya sebagai bagian dari TPM, sejak 2001 Hasyim mendampingi orang-orang yang dituduh terlibat kasus terorisme. ''Kalau Densus sekarang membagi-bagi istilah ada operator, ada kurir, ya saya ini kurir. Tapi, hanya kurir beras dan lauk-pauk untuk ikhwan yang di dalam (di penjara, Red), tak lebih dari itu,'' katanya lantas tersenyum. Hasyim sekarang mendampingi puluhan napi kasus teror yang masih berada dalam penjara. ''Di Nusakambangan ada 15, di Cipinang lima orang, di Polda ada 11 orang,'' ungkapnya. Saat Abu Bakar Ba'asyir tersangkut kasus hukum terkait pelanggaran imigrasi pada 2001 sampai bebas 14 Juni 2006, Hasyim juga setia mendampingi. Saat itu, dia ditugaskan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai asisten pribadi Ba'asyir. Trio kasus bom Bali, Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas, juga difasilitasi Hasyim sampai proses hukumnya selesai dan dieksekusi. ''Densus tentu paham posisi saya. Kalau dicurigai, mungkin saja. Tapi, saya konsisten saja dengan amanah ini,'' tegasnya. Jika ada kebutuhan ikhwan-ikhwan yang mendesak, Hasyim akan mengusahakan. Dananya berasal dari infak umat Islam atau perorangan. ''Kalau dulu, memang beras dan lauk-pauk diusahakan dibawa dari luar. Sebab, di dalam memang di bawah standar. Istilahnya, nggak ada garamnya,'' ujarnya. Bertahun-tahun bergaul dengan para ikhwan, dia tahu banyak cerita tentang mereka. Termasuk, tentang ''pembinaan'' oleh polisi. Istilah Densus 88, program deradikalisasi. ''Memang saya dengar ada. Tapi, jangan salah lho, mereka (para ikhwan, Red) itu berangkat dari pemahaman akidah tentang jihad dan dakwah. Jadi, tidak bisa dihilangkan dengan hipnosis atau yang semacamnya,'' tegasnya. Dia menyatakan, polisi sering melakukan pendekatan personal dengan para ikhwan di penjara. Misalnya, mencukupi kebutuhan finansial mereka, membiayai jika ada keluarga yang sakit, atau membiayai sekolah anaknya. Namun, dia menegaskan, masih banyak ikhwan yang tetap mandiri dan menolak bantuan polisi. Sebagian di antara mereka yang sudah keluar, walau dengan susah payah, akhirnya juga bisa hidup normal dan kembali ke masyarakat dengan baik. ''Verifikasinya memang susah. Tidak bisa hanya dilihat dari penampakan luar,'' katanya. Misalnya, celana di atas mata kaki (isbal), gamis atau jubah, jenggot, serta tanda bekas sujud di dahi tidak bisa dikaitkan dengan kelompok itu. ''Di sini,'' katanya sambil memegang dada untuk menjelaskan akidah sebagai penentu. Bahkan, Hasyim pernah menerima curhat (keluhan) dari seorang terpidana kasus terorisme yang telah bebas. ''Saya ini repot, Pak Hasyim. Di kalangan ikhwan, saya dicurigai. Tapi, oleh Densus, saya diinteli terus,'' ungkapnya menirukan ikhwan tersebut. Keluhan itu disampaikan saat kebetulan bersama-sama membesuk Imam Samudera cs di Nusakambangan. ''Saya bilang, sabar saja, itu ujian,'' katanya. Sebenarnya, jelas Hasyim, tanpa program deradikalisasi pun, napi-napi tersebut sudah ''bersih''. ''Mereka itu dai. Di penjara adalah ladang dakwahnya. Mereka membina napi yang lain,'' tegas Hasyim. (rdl/nw) [Non-text portions of this message have been removed]