Bush, Israel, dan Hezbollah Oleh Ulil Abshar-Abdalla <http://islamlib.com/id/index.php?page=archives&mode=author&id=1>
Editorial | 31/07/2006 Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak untuk mempertahankan diri dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan kritis untuk pernyataan Presiden Bush ini. Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak untuk mempertahankan diri dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan kritis untuk pernyataan Presiden Bush ini. Pertama, statemen itu seolah-olah mengandaikan bahwa Israel adalah negeri lemah yang terancam oleh negeri-negeri kuat di sekitarnya. Kita semua tahu, kekuatan militer Israel, plus dengan arsenal nuklir yang dimilikinya sekarang (dan tak pernah dipersoalkan oleh Amerika atau negeri-negeri Barat yang lain), tidak mungkin dikalahkan oleh seluruh negara Arab saat ini. Seluruh perang Arab-Israel selama ini selalu dimenangkan oleh Israel. Seluruh diplomasi tentang konflik Palestina-Israel, entah dalam forum PBB atau forum-forum lain, selalu menguntungkan Israel. Pihak pecundang selalu adalah bangsa Palestina dan Arab. And with all this in mind, how could the President say that Israel has a right to defend itself as if Israel is at the losing end in the race? Kedua, kalau Israel sebagai "super power" di Timur Tengah mempunyai hak untuk membela diri, bagaimana dengan bangsa Palestina yang lemah? Statemen Presiden Bush itu seolah-olah hendak mengatakan bahwa kita harus memahami tindakan "brutal" Israel, sebab negara ini sedang dalam posisi diserang. Jika logika ini dipakai, maka mestinya logika serupa harus dipakai untuk memahami tindakan bangsa Palestina yang selama ini secara tidak adil disebut sebagai "terorisme". Kalau negeri Anda dicuri dan diduduki bangsa lain, dan anda tidak punya kekuatan untuk melawan, apakah Anda harus diam? Jika Israel yang mempunyai kekuatan militer luar biasa boleh melakukan serangan brutal ke sebuah negaara (baca: Lebanon) hanya karena dua tentaranya diculik oleh kekuatan kecil seperti Hezbollah, kenapa bangsa Palestina yang tanahnya dirampas oleh Israel tidak mempunyai hak serupa? Apakah keadilan hanya milik Israel? Bukankah metode yang disebut "terorisme" yang dipakai oleh bangsa Palestina dalam dua intifadah juga pernah dipakai oleh orang-orang Yahudi menjelang berdirinya negara Israel di 1948? Ketiga, jika Hezbollah selama ini dituduh sebagai "proxy" Suriah dan Iran untuk berperang melawan Israel, bukankah Israel juga semacam "proxy" dari AS untuk mempertahankan kepentingannya di Timur Tengah? Kenapa yang boleh punya "proxy" hanya Amerika? Kenapa keududukan Israel sebagai "proxy" tidak pernah disebut-sebut? Kalaulah Hezbollah dituduh menerima pasokan senjata dari Iran, bukankah Israel selama ini menerima pasokan senjata yang nyaris tanpa batas dari Amerika? Baru-baru ini, setelah konflik Lebanon pecah, "tiba-tiba" Israel memperoleh pasokan "misil dengan presisi tinggi" dari Amerika, dengan alasan bahwa itu adalah realisasi dari perjanjian penjualan senjata antara AS dan Israel yang sudah diteken sebelumnya. Tetapi, kenapa "delivery"-nya persis pada saat Israel terlibat dalam konflik sekarang ini? Bukankah ini menunjukkan bahwa AS memberikan bahan bakar buat konflik di kawasan ini? Keempat, jika Hezbollah dikritik karena menculik dua pasukan Israel, kenapa tindakan Hezbollah ini tidak dikaitkan dengan "retaliasi" atas tindakan Israel yang menawan sejumlah politisi Lebanon selama bertahun-tahun tanpa "due legal process"? Samir Qunthar, salah satu politisi Lebanon itu, ditawan oleh Israel selama 27 tahun tanpa proses peradilan. Memang kita boleh tidak setuju dengan cara yang dipakai oleh Hezbollah, tetapi siapapun tahu, Israel selalu tidak mau tunduk pada bahasa diplomasi. Dia hanya tahu bahasa senjata. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Saya mengagumi Amerika sebagai bangsa dan peradaban, sebagai negeri yang men-champion nilai-nilai kebebasan. Tetapi saya tak tahan melihat hipokrisi yang dipraktekkan oleh pemerintah AS dalam menyelesaikan masalah di Timur Tengah saat ini. [] Dimuat di Indo Pos Minggu 30 Juli 2006 Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1094 ================================================ Kompas Rabu 02 Agustus 2006 Matinya Akal Sehat Amerika LUTHFI ASSYAUKANIE Di tengah gencarnya serangan brutal Israel ke Lebanon belakangan ini, akal sehat setiap orang bertanya, mengapa Amerika Serikat mendiamkan saja, dan bahkan mendukung perilaku barbar itu? Apakah negeri adidaya itu telah kehilangan akal sehatnya sehingga memberikan dukungan tanpa reserve kepada Israel? Sejak lama, para akademisi dan pengamat politik memberikan analisis beragam tentang sebab mengapa Amerika begitu all-out mendukung Israel. Di antara berbagai analisis, ada dua alasan yang mendominasi perdebatan itu. Pertama, Amerika memberikan dukungan kepada Israel lebih besar daripada negara-negara lain karena alasan strategis. Kedua, Amerika memberikan dukungan itu karena alasan moral. Sejak perang Arab-Israel pada 1967, Amerika menjadi sekutu dan pendukung penuh negeri zionis itu. Sampai kini, bantuan yang telah diberikan AS kepada Israel tak kurang dari 140 miliar dollar AS. Setiap tahunnya negeri berpenduduk tujuh juta itu menerima sekitar 3 miliar dollar AS. Jumlah ini sama dengan seperlima bantuan luar negeri Amerika. Dalam hitungan per kapita, Pemerintah AS memberikan setiap warga Israel sebesar 500 dollar AS setiap tahunnya. Alasan rapuh Sejak beberapa tahun terakhir, alasan strategis dan moral mulai dipertanyakan oleh para pengamat dan akademisi di Amerika. Kritik paling anyar datang dari dua profesor, John Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Stephen Walt dari Harvard University, dalam tulisan mereka yang diterbitkan London Review of Books pada Maret silam. Sedianya, tulisan ini akan diterbitkan di Atlantic Monthly, tapi karena dianggap berbau "anti-semit" tulisan itu ditolak. Di Amerika, anti-semitisme memang merupakan isu yang sangat sensitif, dan membicarakan "Lobi Yahudi" kerap dianggap sebagai bagian dari anti-semitisme. Tulisan Mearsheimer dan Walt memang berbicara tentang peran Lobi Yahudi di AS. Mereka ingin menegaskan bahwa pendekatan luar negeri Amerika terhadap Timur Tengah yang sangat kuat dipengaruhi Lobi Yahudi sudah seharusnya ditinjau ulang. Mearsheimer dan Walt menganggap bahwa alasan strategis AS dalam mendukung Israel tidak bisa lagi dipertahankan karena beberapa alasan. Pertama, setelah Perang Dingin usai, peran Israel sebagai proxy AS untuk membendung pengaruh Soviet ke dunia Arab praktis sudah berakhir. Setelah Perang Dingin usai, Israel sesungguhnya lebih banyak menjadi beban bagi AS ketimbang menjadi pembantu. Kedua, sebagai basis militer AS, Israel terbukti tidak efektif karena Amerika masih tetap memerlukan negara-negara lain, seperti Turki dan Arab Saudi, untuk menggelar angkatan perangnya. Ini terjadi secara nyata dalam Perang Teluk 1991. Ketiga, dukungan AS terhadap Israel bukannya mengurangi terorisme, tapi justru mengembangbiakkan teroris di kawasan Timur Tengah. Setiap kali Israel melakukan kekerasan dan AS membantunya, maka kebencian warga Arab-Muslim kepada Israel merembet kepada AS. Begitu juga, alasan moral yang kerap digembar-gemborkan para pendukung kepentingan Israel di Amerika, menurut Mearsheimer dan Walt, tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan karena beberapa alasan. Pertama, Israel bukanlah negara lemah seperti selama ini diteriakkan para pelobi Yahudi di AS. Benar bahwa negeri ini dikepung banyak "musuh" di sekitarnya, tapi Israel cukup kuat dalam menghadapi mereka. Pada Perang 1948, sebelum bantuan militer AS datang secara besar-besaran, Israel cukup mudah mengalahkan koalisi militer negara-negara Arab. Kini, setelah dukungan berlimpah dari AS, Israel adalah negara terkuat di kawasan itu. Kedua, alasan bahwa Israel adalah negara demokratis adalah alasan yang dibuat-buat. Lagi pula, demokrasi Israel sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi AS karena demokrasi itu bersifat "rasis" yang lebih mengutamakan ras Yahudi. Di Israel ada lebih dari satu juta warga Arab yang diperlakukan sebagai warga "kelas dua" semata-mata karena mereka Arab. Ketiga, kenyataan bahwa Yahudi adalah bangsa yang pernah mengalami penderitaan di masa silam tidak bisa dijadikan alasan untuk menolong mereka melakukan penderitaan kepada bangsa lain. Adalah bertentangan jika rakyat AS menolong penindasan terhadap bangsa Yahudi, tapi pada saat yang sama menciptakan penindasan kepada orang-orang Palestina. Keempat, tidak benar bahwa warga Israel pencinta damai dan lebih baik secara moral ketimbang orang-orang Arab. Bukti-bukti sejarah, khususnya sejak berdirinya negara Israel, menunjukkan fakta sebaliknya. Sejak zionisme datang ke Palestina, teror demi teror dilakukan bangsa Israel kepada bangsa Arab. Serial kekerasan penguasa Israel yang terjadi sekarang ini merupakan kelanjutan dari perilaku barbar kaum zionis. Berlagak tuli Dengan analisis seperti itu, Mearsheimer dan Walt mengajak pemerintah dan para pengambil kebijakan di AS untuk kembali kepada prinsip-prinsip politik yang realistis, yakni prinsip yang berorientasi pada kepentingan negara, dan bukan kepentingan negara lain. Pemerintah AS sudah semestinya meninjau ulang kebijakan luar negeri mereka di Timur Tengah, jika mereka ingin tetap menjadi negara besar yang dihormati. Sayangnya, Amerika seperti sudah kehilangan akal sehat. Kritik-kritik terhadap tindakan AS selalu menghadapi tembok karena Pemerintah AS seperti tak pernah peduli dengan semua itu. Di lingkungan Washington sendiri, tulisan Mearsheimer dan Walt dianggap "sampah" yang hanya menyulut sentimen kebencian terhadap ras Yahudi. Tuduhan ini jelas sangat keterlaluan, mengingat kedua penulis ini adalah akademisi dengan reputasi tinggi dan penganut realisme politik sejati. Jika kepada warganya sendiri Pemerintah Amerika berlagak tuli, kepada siapa lagi negeri adikuasa itu mau mendengar. Perilaku dan kebijakan politik luar negeri Amerika, khususnya menyangkut Timur Tengah, sungguh sangat mengkhawatirkan dan menjadi ancaman serius, bukan hanya bagi keamanan Amerika sendiri (karena ini akan terus menjadi bahan bakar ampuh untuk menyulut kebencian), tapi juga bagi wacana demokrasi, HAM, dan model kemajuan di masa depan. Luthfi Assyaukanie Peneliti Freedom Institute Jakarta http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/02/opini/2854826.htm Kompas Rabu 26 Juli 2006 Nasib Demokrasi di Timur Tengah Ulil Abshar-Abdalla Proyek pendemokrasian Timur Tengah yang secara ambisius dilontarkan Presiden George W Bush dengan menggulingkan Saddam Hussein dan menduduki Irak saat ini jelas gagal. Keadaan di Irak kian tidak terkontrol. Alih-alih menjadi model untuk demokrasi seperti dikehendaki Amerika Serikat, kini Irak justru menjadi bumi semai yang subur untuk lahirnya "teroris". Polarisasi antara Syiah dan Sunni jauh lebih rumit dari yang diperkirakan Washington. Para pengambil kebijakan di Washington berbicara tentang remapping the Middle East, persis seperti kolonial Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 saat mereka melihat dunia seperti lembar peta yang bisa digaris-garis dan dibagi-bagi seenaknya. Kenyataannya, "pendemokrasian" dan remapping itu melibatkan ribuan nyawa tak berdosa melayang sia-sia. Bagi pengambil kebijakan di Washington, ribuan korban sipil itu dengan santai disebut collateral damage, korban tak disengaja, suatu eufimisme dalam kosakata militer AS sejak Perang Vietnam. Serangan Israel atas Lebanon yang membabi buta (menurut pejabat militer Israel, serangan itu amat well-calibrated, terukur tepat), kiranya membuat sebagian besar warga Arab kian skeptis pada proyek pendemokrasian Timur Tengah. Yang dikehendaki AS tampaknya bukan sekadar pemerintahan yang "demokratis" di Timur Tengah. Mereka menginginkan nice guy seperti Kerajaan Saudi dan negeri-negeri teluk lain, "anak manis" yang mau tunduk pada kemauan AS dan Israel. Pemboikotan Israel dan AS atas pemerintahan Hamas yang memenangkan (saya tak suka istilah "memenangi") pemilu yang demokratis di Palestina jelas menunjukkan Pemerintah AS dan Israel tidak sekadar ingin demokrasi. Saya ragu apakah bagi Presiden Bush atau pejabat PM Ehud Olmert demokrasi di Timur Tengah adalah prinsip yang benar-benar mereka bela. Sebagaimana demokrasi bisa melahirkan pemerintahan yang mendukung gagasan-gagasan yang illiberal (sebagaimana dibahas Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom, 2004), begitu juga, ia tidak mesti melahirkan pemerintah yang mau "tunduk manis" pada AS. Hamas adalah contoh yang amat baik. Pemerintah AS tampaknya tidak menghendaki hal ini terjadi. Karena itu, demokrasi bagi mereka bukan suatu "kebajikan politik" yang harus dibela tanpa syarat, tetapi hanya alat instrumental yang hanya punya nilai secara sekunder. Dua syarat Demokrasi di Timur Tengah tidak bisa ditegakkan tanpa dua syarat. Pertama, dukungan populer atau masyarakat bawah. Di sini peran ajaran Islam yang menjadi faktor penting dalam membentuk pandangan publik di sana amatlah vital. Demokrasi sebagai sistem politik harus mempunyai jangkar kultural dalam tradisi agama yang mengakar di masyarakat Timur Tengah. Dengan demikian, demokrasi tidak bisa "ditanamkan" secara paksa dari luar atau "diimpor" dari Barat dan dipajang kepada publik di sana. Demokrasi harus berproses dari "dalam" meski faktor-faktor eksternal dan lingkungan internasional tetap berpengaruh. Home-grown democracy, demokrasi yang tumbuh di kebun sendiri, amatlah penting. Impian Pemerintah AS untuk "mendemokrasikan" Timur Tengah agaknya sejak awal akan gagal karena dua alasan. Alasan pertama, demokrasi bukan "kebajikan politik" yang penting bagi Pemerintah AS. Ia hanya alat instrumental. Alasan kedua, demokrasi dipaksakan dari luar melalui perang, seperti di Irak. Retorika demokrasi juga datang belakangan setelah publik mulai mengetahui kebohongan argumen "senjata pemusnah massal" (weapon of mass destruction/WMD) yang diteriakkan Presiden Bush guna membenarkan invasi atas Irak. Jika ditelaah secara mendalam, tak ada kontradiksi yang antitetikal antara Islam dan demokrasi, meski ada sedikit umat Islam yang menganggap demokrasi sebagai sistem yang "kafir". Sebagian besar umat Islam memandang demokrasi sebagai nilai yang selaras dengan ajaran Islam. Karena itu, kurang pada tempatnya Pemerintah AS sibuk berkampanye untuk "menjual" demokrasi ke dunia Islam. Yang menjadi soal adalah sementara Pemerintah AS sibuk memasarkan demokrasi ke Timur Tengah, tindakan mereka selama ini justru tidak mendukung hal itu. Dukungan Pemerintah AS selama ini yang nyaris un-conditional terhadap rezim-rezim despotik di Timur Tengah adalah contoh yang baik. Sikap Pemerintah AS yang tak mau "berhubungan" dengan Hamas sebagai pemenang pemilu yang demokratis di Palestina adalah contoh lain. Sekali lagi, tindakan AS, terutama di bawah Presiden Bush saat ini, jelas menunjukkan, yang mereka kehendaki bukan demokrasi, tetapi sesuatu yang lain. Konflik Israel-Palestina Masalah kedua yang amat penting adalah konflik Israel-Palestina. Kampanye untuk memasarkan demokrasi di Timur Tengah akan terganjal terus jika Pemerintah AS tidak menunjukkan sikap yang "adil" terhadap bangsa Palestina. Masalah Palestina akan terus menjadi duri dalam daging dalam hubungan Pemerintah AS dengan dunia Islam. Selama ini, dunia Islam menyaksikan Pemerintah AS selalu memberi dukungan yang seolah tanpa syarat kepada Pemerintah Israel, seraya terus menekan Pemerintah Palestina agar mengikuti kehendaknya. Kemenangan Hamas dalam pemilu terakhir adalah "hukuman politik", bukan saja bagi PLO dan faksi-faksi sekuler lain di Palestina, tetapi juga terhadap AS dan Israel yang tidak pernah memprediksi sedikit pun kemenangan ini akan terjadi. Dunia Islam melihat ketidakadilan dipertontonkan setiap saat di Palestina. Sementara warga Yahudi dengan bebas, bahkan dianjurkan, untuk kembali dan tinggal di Israel, jutaan warga Palestina yang mengalami "eksodus" dan "diaspora" di mancanegara sama sekali tak diberi hak untuk kembali. Sementara Pemerintah Palestina terus diserimpung untuk membangun negara yang benar-benar berdaulat, Pemerintah AS memberi sokongan tanpa syarat kepada Israel. Sementara Israel tidak pernah diganggu gugat untuk memiliki arsenal nuklir, Pemerintah AS tanpa lelah memojokkan Iran karena ingin memiliki senjata yang sama (meski dengan demikian, saya tidak dengan sendirinya setuju dengan proyek nuklir di Iran). Dalam kasus serangan Israel yang terakhir ke Lebanon, Presiden Bush menyatakan di sela-sela pertemuan negara-negara G-8 di Rusia, Israel mempunyai hak untuk mempertahankan diri atas serangan Hezbollah. Pernyataan itu dilihat dari rentang waktu yang panjang jelas amat aneh. Apakah yang mempunyai hak untuk mempertahankan diri hanya Israel, sementara warga Palestina yang terlempar dari tanah airnya tak mempunyai hak untuk mempertahankan diri. Masalah serius bagi AS adalah adanya asumsi, Palestina seolah selalu di pihak yang salah dan Israel akan selalu berbuat benar. Dalam konstelasi semacam ini, saya kian skeptis, proyek pendemokrasian yang dilancarkan Pemerintah AS di Timur Tengah akan berhasil. Yang kini terlihat adalah kombinasi dua hal yang amat menjengkelkan, despotisme pemerintahan Arab yang terus didukung Washington, dan "pemaksaan" proyek demokrasi dari luar yang membuat warga di Timur Tengah kian mencurigai proyek itu sendiri. Sekali lagi, tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Yang menjadi masalah adalah perasaan diperlakukan secara tidak adil oleh Pemerintah AS yang merata di dunia Islam saat ini. Gap yang lebar antara "dunia Islam" dan "Amerika" tidak bisa ditutup tanpa ada overhaul dan perubahan radikal dalam pola kebijakan luar negeri AS sendiri. Ulil Abshar-Abdalla Mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL); Peneliti Freedom Institute, Jakarta http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/26/opini/2829848.htm <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/26/opini/2829848.htm> ================================= Ahmad Sahal: Kita Perlu Lobi Tandingan Israel Wawancara | 31/07/2006 Kota-kota Palestina sudah luluh-lantak oleh tank-tank dan senjata Isreal. Lebanon juga dibuat neraka oleh serangan darat, laut, dan udara Israel yang bertubi-tubi. Tapi PBB tak berkutik. Alih-alih menitahkan Israel untuk berhenti, Amerika sebagai superpower dunia, justru tampak membenarkan tindakan biadab Israel itu. Ada apa? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis (20/7) lalu, dengan Ahmad Sahal. Kota-kota Palestina sudah luluh-lantak oleh tank-tank dan senjata Isreal. Lebanon juga dibuat neraka oleh serangan darat, laut, dan udara Israel yang bertubi-tubi. Tapi PBB tak berkutik. Alih-alih menitahkan Israel untuk berhenti, Amerika sebagai superpower dunia, justru tampak membenarkan tindakan biadab Israel itu. Ada apa? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis (20/7) lalu, dengan Ahmad Sahal, mahasiswa doktoral ilmu politik di Universitas Pensylvenia, Amerika Serikat. NOVRIANTONI (JIL): Mas Sahal, mengapa Amerika bungkam atas agresi Israel terhadap Palestina dan Lebanon yang membabi-buta belakangan ini? AHMAD SAHAL: Saya kita memang mengherankan ketika Amerika bungkam ketika Israel membombardir Bandara Internasional Rafiq Hariri dan beberapa infrasturktur penting di Lebanon. Sementara itu, Presiden Amerika, George W. Bush dengan enteng mengatakan bahwa Israel punya hak untuk membela diri. Karena itu, penjelasan lapisan pertamanya adalah karena mereka terjebak oleh ulahnya sendiri di Irak yang sampai kini masih kacau. Amerika juga terjebak dalam kasus pengayaan uranium Iran dan isu Suriah. Tapi pada lapisan yang lebih dalam, pertanyaan yang lebih layak kita gali adalah mengapa Amerika selalu mendukung Israel tanpa syarat. Nah, beberapa bulan lalu, ada satu tulisan menarik berjudul The Israel Lobby and US Foreign Policy. Makalah itu ditulis dua profesor hubungan internasional dari University of Cichago dan Harvard University, masing-masing bernama John Mearseimer dan Stephen Walt. Yang menarik dari tulisan itu adalah pendapat yang menyatakan bahwa dukungan Amerika yang tanpa syarat terhadap Israel, justru akan merugikan kepentingan Amerika sendiri dan juga merugikan orang Yahudi. Dan memang, selama ini Amerika terlalu royal membantu Israel, seperti dalam bantuan ekonominya. Paling tidak, dalam setahun Isreal mendapat bantuan ekonomi senilai 3 milyar dolar. Selain itu, ada juga bantuan militer dan sistem persenjataan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bantuan diplomatik Amerika yang sudah 32 kali memveto resolusi PBB menyangkut Isreal. Saya kira, kita semua sudah sering kali mendiskusikan itu. Tapi yang menarik dari tulisan dua profesor tadi, adalah penekanan bahwa sebenarnya dukungan Amerika yang luar biasa dan tidak kritis terhadap Israel itu dikarenakan adanya peran lobi Israel yang kuat sekali di Amerika. Jadi saya kira, kata kunci penjelas bungkamnya Amerika di sini adalah soal lobi Isreal yang sangat digdaya di Amerika. Di sana orang menyebut lobi, tapi di dunia Islam lebih banyak bicara soal konspirasi Yahudi. Bagaimana membedakan antara lobi dan konspirasi? Saya kira memang itu yang perlu digarisbawahi. Lobi itu berbeda sekali dengan konspirasi. Sebab, konspirasi biasanya dihubungkan dengan kekuatan yang tak tampak yang sedang bermain dalam suatu perkara. Sementara, lobi adalah hal yang biasa berlaku dalam perpolitikan domestik Amerika. Nah, yang dimaksud lobi Israel di Amerika itu kira-kira adalah kualisi longggar dari sejumlah individu dan organisasi yang secara aktif bekerja agar kebijakan luar negeri Amerika selalu pro terhadap Israel. Jadi, yang namanya lobi itu bukan gerakan bawah tanah yang kemudian dikendalikan oleh suatu kekuatan gaib dengan kepemimpinan yang tunggal. Lobi juga sesuatu yang dikerjakan oleh banyak kelompok kepentingan lain, selain orang-orang Yahudi pro-Israel seperti AIPAC (American Israeli Public Affair Council). Kita mengenal banyak sekali kelompok kepentingan yang juga aktif melakukan lobi di Amerika selain AIPAC. Misalnya kelompok pengusaha tembakau, kelompok pemilik senjata api, dan koalisi para pensiunan. Di Amerika, semuanya aktif melakukan lobi-lobi untuk mememangkan kepentingan mereka. Bedanya, lobi Israel memang begitu efektif. Dengan kekuatannya yang mereka punya, mereka mampu mempengaruhi satu Washington, seperti mayoritas anggota Konggres dan kalangan Ekskutif. Mereka juga efektif mempengaruhi opini publik di media massa. Jadi, lobi Isreal begitu efektif melakukan kampanye supaya orang tidak bisa bersikap kritis terhadap Israel di dalam banyak diskusi publik. Suasana seperti itu berbeda sekali dengan, misalnya, di Eropa. Poin kedua profesor tadi tentang lobi Israel adalah: semua itu sesuatu yang wajar dalam politik domestik Amerika dan memang dilakukan oleh kelompok kepentingan mana pun. Bedanya, lobi Israel sangat efektif. Yang jadi pertanyaan, mengapa lobi Israel itu begitu efektif dan seakan-akan mampu mempengaruhi hampir semua kebijakan luar negri Amerika di Timur Tengah? Saya kira, salah satu penjelasannya adalah karena tidak adanya lobi tandingannya. Saya belum pernah mendengar adanya lobi Arab atau Palestina yang betul-betul kuat di dalam kancah politik domestik Amerika. Kalau boleh berandai-andai, sekiranya kelompok Arab atau Palestina dari dulu secara aktif membangun lobi di kancah politik domestik Amerika, ceritanya mungkin berbeda. Faktanya mereka justru melakukan langkah-langkah yang kadang-kadang justru kontraproduktif untuk memenangkan kepentingan mereka, seperti mempertontonkan cara-cara kekerasan. Israel juga melakukan kekerasan yang lebih brutal, tapi di Amerika, suasananya memang agak aneh. Karena itu, dari sisi isu, sebenarnya tulisan dua profesor tadi sudah sering kita dengar. Tapi yang unik, kedua profesor dari universitas kenamaan Amerika itu betul-betul sedang mendobrak tabu, dan dalam publik Amerika, hal itu jarang terjadi. Padahal, seperti yang saya bilang tadi, kritik yang lebih pedas terhadap Israel di publik Eropa sudah sangat biasa. Karena itu, salah satu media di Israel menganggap tulisan ini penting sekali, karena banyak orang yang sudah mencemaskan dukungan tanpa syarat Amerika terhadap Israel. Anda mungkin punya penjelasan historis juga mengapa Amerika begitu simpati, tidak kritis, bahkan suportif habis terhadap segala tindakan Israel? Beberapa waktu lalu, setelah tulisan dua profesor tadi dimuat di London Review of Books, muncul tulisan Tony Judd, seorang profesor sejarah Eropa dari New York University di New York Times. Di situ Judd bilang bahwa ketakutan terhadap stigma anti-Semit juga sangat menakutkan bagi publik Amerika. Menurut dia, ketakutan dituduh anti-Semit kalau mengkritik hubungan tidak sehat antara Amerika dengan Israel itu begitu kuatnya di Amerika, dan itu tidak terjadi di Eropa. Padahal, dalam banyak hal, itu justru akan merugikan kepentingan Amerika sendiri, Israel dan seluruh orang Yahudi. Karena itu, bagi dia ketakutan akan stigma anti-Semit ini harus dilawan, dan karena itu tulisan dua profesor tadi dia sebut sebuah terobosan yang menarik sekali di Amerika. Mungkin penjelasan itu berbeda dengan apa yang terjadi di banyak negeri muslim dan Arab. Kalau di publik Amerika ketakutan stigma anti-Semit melumpuhkan sikap kritis terhadap hubungan Amerika dan Israel, di dunia muslim, kita gampang sekali terjebak pada skenario teori konspirasi. Jadi kita gampang terjebak dalam penjelasan dengan menggunakan teori konspirasi. Sekali sedikit-sedikit ada kejadian, kita menghubungkannya dengan konspirasi Yahudi yang mengandaikan adanya kekuatan tunggal terorganisir yang dilakukan olehYahudi, mungkin dari Amerika atau dunia Barat, untuk melumpuhkan dunia dan umat Islam. Menurut saya, kecenderungan berpikir konspiratif ini juga sesuatu yang sudah saatnya dihentikan. Lebih baik kita berpikir realistis. Artinya, kalau Amerika habis-habisan mendukung Israel karena peranan lobi Israel yang begitu hebat melalui proses politik yang wajar di Amerika, mengapa umat Islam di Amerika atau mungkin bangsa Arab di Timur Tengah yang juga tidak miskin-miskin amat, tidak membangaun lobi yang sama. Mulai sekarang, untuk kepentingan jangka panjang, membangun lobi Palestina, Timur Tengah, atau Arab untuk menandingi lobi Yahudi itu sangat perlu. Jadi kita sedang bicara soal kenyataan politik Amerika yang mensyaratkan demikian. Ini yang harus mulai kita pikirkan sebagai strategi jangka panjang umat Islam dalam menghadapi kekuatan Israel. Sayangnya, dunia Arab selalu tidak bisa bersatu, dan bukan hanya itu, mereka juga kurang berpikir stategis dalam kancah politik riilnya. Kalau mereka sudah tahu bahwa Amerika selalu mendukung Israel karena ada kekuatan lobi Israel yang begitu kuat di Amerika, mengapa mereka selalu menuntut Amerika untuk menjadi wasit yang adil tanpa pernah berpikir membangun kekuatan dalam perpolitikan domestik Amerika? Karena itu, lobi itu penting untuk menghadapi kekuatan yang nyaris tak terkalahkan. Karena itu, menurut saya, untuk strategi jangka panjang, cara-cara kekerasan seperti yang sudah sering kita tempuh dan selalu gagal, sudah sebaiknya ditinggalkan. Kini sudah saatnya kita memikirkan supaya ada kelompok yang memikirkan kepentingan Palestina di dalam kancah perpolitikan domestik Amerika. Mereka harus rajin, giat dan aktif mempengaruhi Amerika supaya kebijakan politik luar negerinya berpihak kepada Palestina dan dunia Islam. Jadi ini betul-betul pertarungan politik yang harus dilakukan. Kalau Amerika ingin mendapatkan informasi tentang situasi Timur Tengah, selama ini mereka otomatis mencari dari organ-organ atau badan-badan pro-Israel seperti AIPAC itu, ya? Sebetulnya tidak semonolitik itu, karena Amerika juga negara demokratis. Salah satu kekuatan negara yang demokratis adalah kebebasan berekspresi. Karena itu, tulisan dua profesor yang saya sebutkan tadi beredar luas juga di dalam dunia akademis Amerika. Hanya saja, kritik-kriitik itu, dari segi intensitas dan frekuensinya, tidak sepopuler di Eropa; di mana ketakutan terhadap tuduhan anti-Semit tidak terlalu kuat. Karena itu, kita tidak perlu lagi bicara tentang hak Israel berada di Timur Tengah seperti yang sering dikemukakan Presiden Iran, Ahmadinejad. Pada tahap sekarang ini, sebenarnya pembicaraan sudah ada pada gagasan bagaimana Israel dan Palestina itu bisa hidup berdampingan. Dan karena itu, tindakan sembrono seperti menculik kopral Israel seperti yang dilakukan Hamas atau Hizbullah, dari segi stategi politik, menurut saya ngawur. Tapi yang jauh lebih ngawur, tentulah pembalasan Isreal yang membabi-buta. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan untuk menghadapi Israel dan sekutunya, Amerika? Apa cukup dengan menggembar-gemborkan kalimat al-Islam ya'lu wala yu'la alaih (Islam itu jaya, dan tidak ada yang mampu menandinginya, Red?) Bagi saya, kita tidak seharusnya berhenti pada retorika, tetapi perlu mewujudkannya secara kongkret dengan cara membangun kekuatan di dalam dunia politik yang riil. Kita gampang sekali tersulut emosi kemarahan karena diperlakukan secara tidak adil, tetapi kemarahan itu tidak mampu kita tranformasikan menjadi energi besar untuk membangun kekuatan. Ini adalah soal serius: bagaimana staretegi yang dibutuhkan untuk merealisir jargon itu tadi. Ada banyak juga komunitas muslim dan Arab di Amerika. Apakah mereka sudah berpikir untuk membangun lobi yang bisa diperhitungkan? Sebenarnya sudah ada beberapa komunitas di Amerika yang berpikir begitu, tetapi masih terlalu lemah. Komunitas muslim di Amerika, dari segi mobilitas vertikal dan tingkat kesejahteraan ekonominya, relatif lebih cepat dibandingkan mereka yang ada di Eropa. Dengan begitu, mereka mestinya lebih mapan secara ekonomi. Hanya saja, secara politik, mereka memang masih lemah. Saya kira, proyek membangun lobi Timur Tengah atau Palestina dalam perpolitikan Amerika ini memang proyek jangka panjang. Untuk itu, berhentilah berpikir konspiratif, karena itu merefleksikan teorinya orang yang malas, karena tidak berpijak pada kenyataan. Kalau mau belajar dari lobi Israel, apa yang perlu dilakukan untuk membangun lobi tandingannya? Wah, ini pertanyaan yang sangat pelik dan saya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Tapi yang saya tahu dari pengalaman belajar di Amerika adalah fakta bahwa komunitas Yahudi itu kuat, justru karena mereka tidak seragam. Maksudnya, mereka begitu majemuk dalam segala hal. Contohnya, baik di sayap politik konservatif maupun liberal Amerika, banyak sekali orang Yahudi yang hebat-hebat. Padahal, mereka saling bertentangan dalam dua kecenderungan tersebut. Jadi Yahudi di Amerika sendiri tidak tidak bersifat monolitik. Tapi secara kualitas individu-individu, mereka begitu mumpuni dalam banyak bidang. Jadi, lagi-lagi ini soal kualitas SDM-nya. Kalau begitu, masa depan lobi tandingan Israel sangat suram, dong? Itu soal persepsi, ya. Kalau dilihat dari sekarang, kekuatan ekonomi kelompok Yahudi Amerika itu memang begitu digdaya. Dan itu berdampak ke dunia politik karena mereka bisa membiayai calon anggota Kongres supaya terpilih dalam pemilu dan membela kepentingan mereka. Namun, tidak tepat juga kalau dikatakan bahwa ekonomi Amerika akan ambruk tanpa Yahudi. Tetapi kalau dibilang kalangan Arab atau Timur Tengah miskin, tentu tidak juga. Sebab kebutuhan Amerika terhadap minyak, sangat bergantung pada pasokan Timur Tengah. Jadi kalau bicara soal lobi untuk jangka panjang, saya kira itu tidak mustahil. Banyak yang bisa dikerjakan dalam dunia politik yang riil oleh kalangan Islam Timur Tengah. Saya optimis, karena itu bisa dilakukan. [] Dimuat di Indo Pos Minggu 30 Juli 2006 Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1092 =========================== Perang Tanpa Pemenang Oleh M. Guntur Romli <http://islamlib.com/id/index.php?page=archives&mode=author&id=65> Kliping | 01/08/2006 Menghadapi situasi terjepit ini, hanya rakyat sipil dan pemerintah Lebanon yang butuh sokongan. Kelompok Hezbollah tidak perlu dibela ataupun aksi Israel ini hanya untuk dimaklumi. Peran Amerika tidak bisa dinafikan untuk menekan pemerintah Israel agar menghentikan serangan. Segala bentuk dalih dukungan pada Israelmisalnya dengan mengatakan bahwa Israel hanya membela diriakan semakin mendorong Israel untuk terus melakukan serangan. Rabu pagi (12/7), Pemimpin Hezbollah, Syekh Hasan Nasrullah belum selesai menyantap ka'ak; jajan yang dihidangkan untuk perayaan. Baru saja ia memaklumatkan kesuksesan pasukan Hezbollah menyandera dua orang serdadu Israel. Sebuah misi heroik yang disambut pesta oleh seluruh pendukung Hezbollah dan dianggap sebagai peristiwa al-karamah al-musta'adah "kehormatan yang telah direbut kembali". Tiba-tiba perayaan itu terhenti oleh aksi pembalasan dari pihak militer Israel. Sebelumnya Panglima Militer Israel, Jenderal Dan Halutz telah mengirim pesan teror "misi Hezbollah itu hanya akan memutar jarum jam 20 tahun ke belakang." Dan benar, setelah pembalasan Israel digelar, Lebanon seperti kembali ke dua dekade silam. Lebanon Selatan dan kota Beirut hancur lebur. Lebanon yang dikenal sebagai "sorga pariwisata" berubah menjadi "neraka malapetaka". Sialnya hanya gara-gara penyanderaan dua serdadu Israel. Siapa yang mendulang keuntungan dan menjadi pemenang dari perang ini? Israel mungkin unggul dalam segala-galanya. Terutama kecanggihan senjata dan kekuatan lobbi. Jangankan melawan Hezbollah, ketika Israel dikeroyok oleh gabungan pasukan negara-negara Arab pada perang Arab-Israel tahun 1967, Israel tidak terkalahkan. Semenanjung Sinai milik Mesir jatuh ke tangan Israel, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah diduduki. Pun Lebanon Selatan, dan seluruh wilayah Palestina berhasil dikuasai. Sementara saat ini, Israel "hanya" menghadapi sebuah milisi militer. Bisa dikatakan perlawanan bersenjata Hizbulah adalah misi yang mustahil. Hingga hari ini (18/7), harian Israel Haaretz memberitakan, militer Israel "sukses" menyerang lebih dari 1000 titik sasaran di Lebonon, khususnya markas-markas Hezbollah. Kota demi kota di Lebanon menunggu giliran untuk dihancurkan. Dan Hezbollah hanya membalas dengan serangan roket. Perdana menteri Israel yang baru terpilih, Ehud Olmert merasa menang dan bisa meraih keuntungan. Popularitasnya pun melambung tinggi. Ia tak lagi dibayang-bayangi kebesaran seniornya, Ariel Sharon. Dengan serangan balasan itu pula, sekaligus bantahan terhadap tudingan bahwa dirinya terlalu lunak pada musuh-musuh Israel. Pun nantinya mayoritas dunia internasional menganggap, Israel hanya membela diri. Hemat saya, serangan militer Israel yang membabi-buta ini tidak akan berhasil melenyapkan kekuatan Hezbollah, malah akan semakin menambah kekuatan dan dukungan. Olmert mengulangi kesalahan Ariel Sharon pada tahun 1982, ketika menyerbu Beirut dan membumihanguskan kamp pengungsian Palestina di Shabra-Shatila. Penyerbuan Israel itu malah melahirkan Hezbollah sebagai kelompok perlawanan bersenjata yang didukung penuh oleh Iran. Dan karena penyerbuan itu pula, kesadaran nasional rakyat Lebanon terwujud, yang sebelumnya tercabik-cabik oleh perang saudara. Mereka bersatu-padu melawan agresi militer Israel. Sharon sendiri terpojok saat itu, dan harus kehilangan jabatannya sebagai menteri pertahanan. Ia sempat menghilang, sebelum kembali lagi, menjadi pemimpin yang paling keras dalam sejarah Israel. Dalam ranah ini, Israel meski sebuah musibah namun juga anugrah bagi persatuan bangsa Arab. Sharon sendiri yang melahirkan Hezbollah, malangnya ia harus perangi sepanjang hayatnya. Hezbollah juga merasa di ambang "kemenangan", karena berhasil memprovokasi Israel untuk berperang. Tanpa konflik senjata, Hezbollah bak singa tanpa rimba, tidak memiliki peran dan agenda. Selama ini bagi Hezbollah, penarikan mundur tentara Israel dari Lebanon Selatan pada tahun 2000 menjadi bukti keberhasilan perlawanan militer kelompok penganut paham syiah itu. Melalui konflik ini pula, popularitas Hezbollah akan membumbung tinggi. Menghadapi kekuatan Israel, Hezbollah juga tidak merasa kecut, karena ada dua kekuatan negara di belakangnya yang siap menggelar "perang puputan": Suriah dan Iran. Pesan yang juga disampaikan oleh Nasrullah Rabu pagi itu, menegaskan bahwa Lebanon masuk lingkaran poros Iran-Suriah untuk melawan Israel dan Amerika. Namun atas tindakan radikalnya itu, bagi saya, Hezbollahsebagaimana Hamasakan semakin dikucilkan dari Liga Arab. Sejak dini, Saudi mengecam tindakan Hezbollah sebagai perlawanan illegal di luar pemerintah resmi. Hezbollah membangun negara dalam negara. Dalam pertemuan darurat para menteri luar negeri dunia Arab Sabtu lalu, Hezbollah gagal meraih simpati dan solidaritas Liga Arab. Mesir dan Jordania menegaskan kembali sikap pemerintah Saudi yang menganggap bahwa tindakan Hezbollah itu membahayakan keamanan negeri-negeri jirannya dan telah membunuh proses perdamaian di Timur Tengah. Lantas siapa yang beruntung? Dua "orang tua asuh" Hezbollah: Suriah dan Iran? Presiden Suriah Bashar al-Asad untuk sementara bisa menarik nafas lega. Sebelum ini ia terpojok gara-gara laporan komisi investigasi independen PBB, yang mengarahkan jari telunjuk pada dirinya bahwa ia terlibat pembunuhan Perdana Menteri Lebanon; almarhum Rafik al-Hariri. Dan atas serangan Israel itu pula, rakyat Lebanon bisa sadar atas kesalahannya karena telah mengusir pasukan Suriah dari Lebanon pada tahun 2004. Tanpa serdadu Suriah di Lebanon berarti keamanan negeri itu terus terancam. Dan serangan Israel saat ini menjadi bukti nyata. Iran bisa menangguk keuntungan sementara. Setelah babak belur di dunia internasional akibat program nuklirnya, perang Israel-Hezbollah saat ini adalah pengalihan isu yang paling jitu. Kampanye Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad untuk menghapus negara Israel dari peta dunia telah dimulai. Seperti teriakan pemimpin-pemimpin negara Arab pada Perang Arab-Israel dulu, bahwa mereka "akan mencemplungkan negara Israel ke laut." Melalui krisis Lebanon ini, kita menyaksikan bahwa Iran dan sekutunya telah mendorong kawasan di Timur Tengah untuk memasuki gelanggang perang terbuka. Sehari sebelum drama penyanderaan itu, Iran menolak mentah-mentah seluruh pembicaraan mengenai program nuklir, dan sekonyong-konyong Hezbollah sebagai agen militer Iran di Lebanon melansir berita penyanderaan dua serdadu Israel. Dalam sekejap, mata dunia pun beralih pada Lebanon. Sementara Lebanon sendiri adalah sandera dari konflik senjata ini. Pemerintah Lebanon tidak memiliki kekuatan untuk menekan Hezbollah. Meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1559 tahun 2004 yang mengamatkan untuk melucuti persenjataan milisi Hezbollah dan milisi-milisi lain. Lebanon adalah korban dari kekerasan ini. Rakyat Lebanon tidak memiliki secuil niat untuk berperang. Lebanon adalah negeri yang dibangun bersusah-payah setelah dihancurkan oleh konflik yang berkepanjangan: perang saudara dan agresi militer Israel dengan mengandalkan dunia pariwisata, dan perdagangan. Sebuah negeri yang telah menutup rapat-rapat pintu perang. Pahitnya perang justeru dikobarkan lagi di negeri ini. Menghadapi situasi terjepit ini, hanya rakyat sipil dan pemerintah Lebanon yang butuh sokongan. Kelompok Hezbollah tidak perlu dibela ataupun aksi Israel ini hanya untuk dimaklumi. Peran Amerika tidak bisa dinafikan untuk menekan pemerintah Israel agar menghentikan serangan. Segala bentuk dalih dukungan pada Israelmisalnya dengan mengatakan bahwa Israel hanya membela diriakan semakin mendorong Israel untuk terus melakukan serangan. Padahal seperti yang disampaikan Presiden Rusia Vlademir Putin, melalui serangan membabi-buta ini, Israel telah memiliki agenda lain, tidak hanya berusaha membebaskan dua serdadunya yang disandera. Pemerintah Lebanon perlu dukungan untuk menjalankan otoritasnya. Sementara Hezbollah jika masih mengakui sebagai bagian dari negeri Lebanon sewajibnya mematuhi kebijakan pemerintah Lebanon. Liga Arab dan OKI berfungsi untuk menuntut Suriah dan Iran agar mengendalikan Hezbollah. Di sinilah hemat saya, pemerintah Indonesia bisa berperan aktif dalam dunia internasional, dengan catatan dalam konflik ini bukan untuk membela salah satu pihak yang berperang, kecuali rakyat sipil dan pemerintah Lebanon. Kekerasan dan perang selalu ditamatkan dua nasib yang sama-sama kalah: mati berkalang tanah, atau hidup tersiksa selamanya. Karena itu, dalam perang, tidak ada yang didaulat sebagai pemenang. Mohamad Guntur Romli, Analis Politik Timur Tengah dari Jaringan Islam Liberal Dimuat di Media Indonesia Kamis 27 Juli 2006 Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1095 ====================== Ajakan Putri Lebanon Oleh M. Guntur Romli <http://islamlib.com/id/index.php?page=archives&mode=author&id=65> Editorial | 24/07/2006 Saat ini, saya kira, tak hanya kita yang bingung menanggapi ajakan Putri Lebanon itu; ia sendiri merasa pilu akan nasib buruk yang menimpa negerinya dalam beberapa pekan terakhir. Nanti, sepulang dari kontes ratu sejagad, ia mungkin akan meratapi kehilangan. Ia mungkin tik akan menjumpai keindahan negerinya lagi. Saat ini, Lebanon bukan lagi wajah jelita putri dunia, namun dipenuhi bopeng di mana-mana, porak-poranda, dan luluh lantak akibat senjata. Bagaimana saya harus menanggapi ajakan Putri Lebanon, Gabrielle Bou Rached? Putri jelita dari negeri Cedar itu, kini sedang mengikuti kontes ratu sejagad di Amerika. Sebenarnya ia tak hanya mengajak saya, tapi juga kita, untuk menikmati keindahan negerinya, Lebanon. Dalam wawancara yang dilansir situs www.missuniverse.com <http://www.missuniverse.com/> , ia tak sanggup melukiskan negerinya. "Sungguh, Anda harus datang sendiri!" ajaknya. Keindahan negerinya bak taman surgawi. Magda Roumi, diva Lebanon yang terkenal itu, memuja Beirut, ibu kota Lebanon, dengan julukan Sittud Dunya (Dewinya Dunia). Saat ini, saya kira, tak hanya kita yang bingung menanggapi ajakan Putri Lebanon itu; ia sendiri merasa pilu akan nasib buruk yang menimpa negerinya dalam beberapa pekan terakhir. Nanti, sepulang dari kontes ratu sejagad, ia mungkin akan meratapi kehilangan. Ia mungkin tik akan menjumpai keindahan negerinya lagi. Saat ini, Lebanon bukan lagi wajah jelita putri dunia, namun dipenuhi bopeng di mana-mana, porak-poranda, dan luluh lantak akibat senjata. Sejak Rabu (12/7) lalu, lebih dari 1000 titik di Lebanon telah dihantam senjata-senjata berat Israel. Serangan para serdadu Yahudi yang membabi-buta itu, telah mampu mengubah surga menjadi neraka. Pohon-pohon cedar hangus terbakar, gedung-gedung tinggi jatuh terkapar, anak-anak manusia berhamburan mencari jalan keluar. Kecantikan tak selalu mendatangkan keberuntungan, tapi bisa juga mengundang kemalangan. Inilah garis nasib yang dialami Lebanon sejak dulu. Kecantikannya selalu tercabik. Kedamaiannya selalu terusik. Kekerasan senjata senantiasa merusak segala-galanya. Nasib tragis itulah yang pernah dikisahkan oleh bait-bait syair Nizar Kabbani, penyair termasyhur Lebanon, kelahiran Suriah. Ia menyebut Lebanon "vas bunga yang dipenuhi senjata". Inilah sebait sajaknya: Kami bersaksi di hadapan Tuhan Yang Satu/kami selalu menyakitimu, Lebanon/kecantikanmu membawa petaka/sebab kami tak mampu memahamimu/kau adalah vas indah/tidak kami isi bunga, tapi senjata. Sajak ini ditulisnya sebagai respon terhadap perang saudara yang pernah terjadi puluhan tahun di Lebanon. Nizar seolah merekam ratapan rakyat Lebanon yang tak mampu memelihara kecantikan dan kedamaian negerinya. Setelah dibangun, ia kembali dihancurkan, baik oleh perang saudara maupun gempuran negeri jirannya. Setelah bebas dari penjajahan Perancis (1943), Lebanon kembali membangun dan mempercantik diri. Namun perang saudara (1975-1990) kembali mengubur semuanya. Di jalan-jalan Beirut, sesama Muslim saling tikam, sesama Syiah saling bunuh, sesama Kristen saling hantam, sesama Arab saling serang, sesama manusia saling membinasakan lainnya. Lepas dari perang saudara, Lebanon kembali menjadi sandera. Lebanon memang bukan gadis molek yang punya kebebasan, kemandirian, dan kekuatan. Ia selalu menjadi sarang preman-preman pemanggul senjata. Banyak pihak yang iri dengan kecantikan dan kedamaiannya. Namun begitu, mereka selalu berhasrat menjerumuskannya ke jurang kehancuran. Menghadapi serangan Israel kini, kita jelas-jelas mengutuknya sampai mati. Namun pihak yang memancing peperangan dari dalam negeri Lebanon sendiri, pantas juga menuai kecaman. Hizbulah sebagai agen Iran dan Suriah, jelas-jelas telah menjerumuskan Lebanon ke dalam kancah kekerasan. Lebanon perlu dibebaskan dari kekerasan dan peperangan. Ia perlu dibela dari tikaman dari luar dan dalam. [] Dimuat di Jawa Pos Jumat 21 Juli 2006 dan Indo Pos Minggu 24 Juli 2006 Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1089 [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/