Bush, Israel, dan Hezbollah

Oleh Ulil Abshar-Abdalla
<http://islamlib.com/id/index.php?page=archives&mode=author&id=1>

Editorial | 31/07/2006

Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak
untuk mempertahankan diri dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan
kritis untuk pernyataan Presiden Bush ini.

Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak
untuk mempertahankan diri dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan
kritis untuk pernyataan Presiden Bush ini.

Pertama, statemen itu seolah-olah mengandaikan bahwa Israel adalah
negeri lemah yang terancam oleh negeri-negeri kuat di sekitarnya. Kita
semua tahu, kekuatan militer Israel, plus dengan arsenal nuklir yang
dimilikinya sekarang (dan tak pernah dipersoalkan oleh Amerika atau
negeri-negeri Barat yang lain), tidak mungkin dikalahkan oleh seluruh
negara Arab saat ini. Seluruh perang Arab-Israel selama ini selalu
dimenangkan oleh Israel. Seluruh diplomasi tentang konflik
Palestina-Israel, entah dalam forum PBB atau forum-forum lain, selalu
menguntungkan Israel. Pihak pecundang selalu adalah bangsa Palestina dan
Arab. And with all this in mind, how could the President say that Israel
has a right to defend itself as if Israel is at the losing end in the
race?

Kedua, kalau Israel sebagai "super power" di Timur Tengah mempunyai hak
untuk membela diri, bagaimana dengan bangsa Palestina yang lemah?
Statemen Presiden Bush itu seolah-olah hendak mengatakan bahwa kita
harus memahami tindakan "brutal" Israel, sebab negara ini sedang dalam
posisi diserang. Jika logika ini dipakai, maka mestinya logika serupa
harus dipakai untuk memahami tindakan bangsa Palestina yang selama ini
secara tidak adil disebut sebagai "terorisme". Kalau negeri Anda dicuri
dan diduduki bangsa lain, dan anda tidak punya kekuatan untuk melawan,
apakah Anda harus diam? Jika Israel yang mempunyai kekuatan militer luar
biasa boleh melakukan serangan brutal ke sebuah negaara (baca: Lebanon)
hanya karena dua tentaranya diculik oleh kekuatan kecil seperti
Hezbollah, kenapa bangsa Palestina yang tanahnya dirampas oleh Israel
tidak mempunyai hak serupa? Apakah keadilan hanya milik Israel? Bukankah
metode yang disebut "terorisme" yang dipakai oleh bangsa Palestina dalam
dua intifadah juga pernah dipakai oleh orang-orang Yahudi menjelang
berdirinya negara Israel di 1948?

Ketiga, jika Hezbollah selama ini dituduh sebagai "proxy" Suriah dan
Iran untuk berperang melawan Israel, bukankah Israel juga semacam
"proxy" dari AS untuk mempertahankan kepentingannya di Timur Tengah?
Kenapa yang boleh punya "proxy" hanya Amerika? Kenapa keududukan Israel
sebagai "proxy" tidak pernah disebut-sebut? Kalaulah Hezbollah dituduh
menerima pasokan senjata dari Iran, bukankah Israel selama ini menerima
pasokan senjata yang nyaris tanpa batas dari Amerika? Baru-baru ini,
setelah konflik Lebanon pecah, "tiba-tiba" Israel memperoleh pasokan
"misil dengan presisi tinggi" dari Amerika, dengan alasan bahwa itu
adalah realisasi dari perjanjian penjualan senjata antara AS dan Israel
yang sudah diteken sebelumnya. Tetapi, kenapa "delivery"-nya persis pada
saat Israel terlibat dalam konflik sekarang ini? Bukankah ini
menunjukkan bahwa AS memberikan bahan bakar buat konflik di kawasan ini?

Keempat, jika Hezbollah dikritik karena menculik dua pasukan Israel,
kenapa tindakan Hezbollah ini tidak dikaitkan dengan "retaliasi" atas
tindakan Israel yang menawan sejumlah politisi Lebanon selama
bertahun-tahun tanpa "due legal process"? Samir Qunthar, salah satu
politisi Lebanon itu, ditawan oleh Israel selama 27 tahun tanpa proses
peradilan. Memang kita boleh tidak setuju dengan cara yang dipakai oleh
Hezbollah, tetapi siapapun tahu, Israel selalu tidak mau tunduk pada
bahasa diplomasi. Dia hanya tahu bahasa senjata. Siapa yang harus
disalahkan dalam hal ini?

Saya mengagumi Amerika sebagai bangsa dan peradaban, sebagai negeri yang
men-champion nilai-nilai kebebasan. Tetapi saya tak tahan melihat
hipokrisi yang dipraktekkan oleh pemerintah AS dalam menyelesaikan
masalah di Timur Tengah saat ini. []

  Dimuat di Indo Pos Minggu 30 Juli 2006

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1094

================================================

Kompas Rabu 02 Agustus 2006

Matinya Akal Sehat Amerika

LUTHFI ASSYAUKANIE

Di tengah gencarnya serangan brutal Israel ke Lebanon belakangan ini,
akal sehat setiap orang bertanya, mengapa Amerika Serikat mendiamkan
saja, dan bahkan mendukung perilaku barbar itu? Apakah negeri adidaya
itu telah kehilangan akal sehatnya sehingga memberikan dukungan tanpa
reserve kepada Israel?

Sejak lama, para akademisi dan pengamat politik memberikan analisis
beragam tentang sebab mengapa Amerika begitu all-out mendukung Israel.
Di antara berbagai analisis, ada dua alasan yang mendominasi perdebatan
itu. Pertama, Amerika memberikan dukungan kepada Israel lebih besar
daripada negara-negara lain karena alasan strategis. Kedua, Amerika
memberikan dukungan itu karena alasan moral.

Sejak perang Arab-Israel pada 1967, Amerika menjadi sekutu dan pendukung
penuh negeri zionis itu. Sampai kini, bantuan yang telah diberikan AS
kepada Israel tak kurang dari 140 miliar dollar AS. Setiap tahunnya
negeri berpenduduk tujuh juta itu menerima sekitar 3 miliar dollar AS.
Jumlah ini sama dengan seperlima bantuan luar negeri Amerika. Dalam
hitungan per kapita, Pemerintah AS memberikan setiap warga Israel
sebesar 500 dollar AS setiap tahunnya.

Alasan rapuh

Sejak beberapa tahun terakhir, alasan strategis dan moral mulai
dipertanyakan oleh para pengamat dan akademisi di Amerika. Kritik paling
anyar datang dari dua profesor, John Mearsheimer dari Universitas
Chicago dan Stephen Walt dari Harvard University, dalam tulisan mereka
yang diterbitkan London Review of Books pada Maret silam. Sedianya,
tulisan ini akan diterbitkan di Atlantic Monthly, tapi karena dianggap
berbau "anti-semit" tulisan itu ditolak.

Di Amerika, anti-semitisme memang merupakan isu yang sangat sensitif,
dan membicarakan "Lobi Yahudi" kerap dianggap sebagai bagian dari
anti-semitisme. Tulisan Mearsheimer dan Walt memang berbicara tentang
peran Lobi Yahudi di AS. Mereka ingin menegaskan bahwa pendekatan luar
negeri Amerika terhadap Timur Tengah yang sangat kuat dipengaruhi Lobi
Yahudi sudah seharusnya ditinjau ulang.

Mearsheimer dan Walt menganggap bahwa alasan strategis AS dalam
mendukung Israel tidak bisa lagi dipertahankan karena beberapa alasan.

Pertama, setelah Perang Dingin usai, peran Israel sebagai proxy AS untuk
membendung pengaruh Soviet ke dunia Arab praktis sudah berakhir. Setelah
Perang Dingin usai, Israel sesungguhnya lebih banyak menjadi beban bagi
AS ketimbang menjadi pembantu.

Kedua, sebagai basis militer AS, Israel terbukti tidak efektif karena
Amerika masih tetap memerlukan negara-negara lain, seperti Turki dan
Arab Saudi, untuk menggelar angkatan perangnya. Ini terjadi secara nyata
dalam Perang Teluk 1991.

Ketiga, dukungan AS terhadap Israel bukannya mengurangi terorisme, tapi
justru mengembangbiakkan teroris di kawasan Timur Tengah. Setiap kali
Israel melakukan kekerasan dan AS membantunya, maka kebencian warga
Arab-Muslim kepada Israel merembet kepada AS.

Begitu juga, alasan moral yang kerap digembar-gemborkan para pendukung
kepentingan Israel di Amerika, menurut Mearsheimer dan Walt, tidak bisa
lagi dipertanggungjawabkan karena beberapa alasan.

Pertama, Israel bukanlah negara lemah seperti selama ini diteriakkan
para pelobi Yahudi di AS. Benar bahwa negeri ini dikepung banyak "musuh"
di sekitarnya, tapi Israel cukup kuat dalam menghadapi mereka. Pada
Perang 1948, sebelum bantuan militer AS datang secara besar-besaran,
Israel cukup mudah mengalahkan koalisi militer negara-negara Arab. Kini,
setelah dukungan berlimpah dari AS, Israel adalah negara terkuat di
kawasan itu.

Kedua, alasan bahwa Israel adalah negara demokratis adalah alasan yang
dibuat-buat. Lagi pula, demokrasi Israel sama sekali bertentangan dengan
nilai-nilai demokrasi AS karena demokrasi itu bersifat "rasis" yang
lebih mengutamakan ras Yahudi. Di Israel ada lebih dari satu juta warga
Arab yang diperlakukan sebagai warga "kelas dua" semata-mata karena
mereka Arab.

Ketiga, kenyataan bahwa Yahudi adalah bangsa yang pernah mengalami
penderitaan di masa silam tidak bisa dijadikan alasan untuk menolong
mereka melakukan penderitaan kepada bangsa lain. Adalah bertentangan
jika rakyat AS menolong penindasan terhadap bangsa Yahudi, tapi pada
saat yang sama menciptakan penindasan kepada orang-orang Palestina.

Keempat, tidak benar bahwa warga Israel pencinta damai dan lebih baik
secara moral ketimbang orang-orang Arab. Bukti-bukti sejarah, khususnya
sejak berdirinya negara Israel, menunjukkan fakta sebaliknya. Sejak
zionisme datang ke Palestina, teror demi teror dilakukan bangsa Israel
kepada bangsa Arab. Serial kekerasan penguasa Israel yang terjadi
sekarang ini merupakan kelanjutan dari perilaku barbar kaum zionis.

Berlagak tuli

Dengan analisis seperti itu, Mearsheimer dan Walt mengajak pemerintah
dan para pengambil kebijakan di AS untuk kembali kepada prinsip-prinsip
politik yang realistis, yakni prinsip yang berorientasi pada kepentingan
negara, dan bukan kepentingan negara lain. Pemerintah AS sudah
semestinya meninjau ulang kebijakan luar negeri mereka di Timur Tengah,
jika mereka ingin tetap menjadi negara besar yang dihormati.

Sayangnya, Amerika seperti sudah kehilangan akal sehat. Kritik-kritik
terhadap tindakan AS selalu menghadapi tembok karena Pemerintah AS
seperti tak pernah peduli dengan semua itu. Di lingkungan Washington
sendiri, tulisan Mearsheimer dan Walt dianggap "sampah" yang hanya
menyulut sentimen kebencian terhadap ras Yahudi. Tuduhan ini jelas
sangat keterlaluan, mengingat kedua penulis ini adalah akademisi dengan
reputasi tinggi dan penganut realisme politik sejati.

Jika kepada warganya sendiri Pemerintah Amerika berlagak tuli, kepada
siapa lagi negeri adikuasa itu mau mendengar. Perilaku dan kebijakan
politik luar negeri Amerika, khususnya menyangkut Timur Tengah, sungguh
sangat mengkhawatirkan dan menjadi ancaman serius, bukan hanya bagi
keamanan Amerika sendiri (karena ini akan terus menjadi bahan bakar
ampuh untuk menyulut kebencian), tapi juga bagi wacana demokrasi, HAM,
dan model kemajuan di masa depan.

Luthfi Assyaukanie Peneliti Freedom Institute Jakarta

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/02/opini/2854826.htm





Kompas Rabu 26 Juli 2006

Nasib Demokrasi di Timur Tengah

Ulil Abshar-Abdalla

Proyek pendemokrasian Timur Tengah yang secara ambisius dilontarkan
Presiden George W Bush dengan menggulingkan Saddam Hussein dan menduduki
Irak saat ini jelas gagal. Keadaan di Irak kian tidak terkontrol.

Alih-alih menjadi model untuk demokrasi seperti dikehendaki Amerika
Serikat, kini Irak justru menjadi bumi semai yang subur untuk lahirnya
"teroris". Polarisasi antara Syiah dan Sunni jauh lebih rumit dari yang
diperkirakan Washington.

Para pengambil kebijakan di Washington berbicara tentang remapping the
Middle East, persis seperti kolonial Inggris dan Perancis pada abad
ke-19 dan awal abad ke-20 saat mereka melihat dunia seperti lembar peta
yang bisa digaris-garis dan dibagi-bagi seenaknya.

Kenyataannya, "pendemokrasian" dan remapping itu melibatkan ribuan nyawa
tak berdosa melayang sia-sia. Bagi pengambil kebijakan di Washington,
ribuan korban sipil itu dengan santai disebut collateral damage, korban
tak disengaja, suatu eufimisme dalam kosakata militer AS sejak Perang
Vietnam.

Serangan Israel atas Lebanon yang membabi buta (menurut pejabat militer
Israel, serangan itu amat well-calibrated, terukur tepat), kiranya
membuat sebagian besar warga Arab kian skeptis pada proyek
pendemokrasian Timur Tengah. Yang dikehendaki AS tampaknya bukan sekadar
pemerintahan yang "demokratis" di Timur Tengah. Mereka menginginkan nice
guy seperti Kerajaan Saudi dan negeri-negeri teluk lain, "anak manis"
yang mau tunduk pada kemauan AS dan Israel.

Pemboikotan Israel dan AS atas pemerintahan Hamas yang memenangkan (saya
tak suka istilah "memenangi") pemilu yang demokratis di Palestina jelas
menunjukkan Pemerintah AS dan Israel tidak sekadar ingin demokrasi.

Saya ragu apakah bagi Presiden Bush atau pejabat PM Ehud Olmert
demokrasi di Timur Tengah adalah prinsip yang benar-benar mereka bela.
Sebagaimana demokrasi bisa melahirkan pemerintahan yang mendukung
gagasan-gagasan yang illiberal (sebagaimana dibahas Fareed Zakaria dalam
The Future of Freedom, 2004), begitu juga, ia tidak mesti melahirkan
pemerintah yang mau "tunduk manis" pada AS. Hamas adalah contoh yang
amat baik. Pemerintah AS tampaknya tidak menghendaki hal ini terjadi.
Karena itu, demokrasi bagi mereka bukan suatu "kebajikan politik" yang
harus dibela tanpa syarat, tetapi hanya alat instrumental yang hanya
punya nilai secara sekunder.

Dua syarat

Demokrasi di Timur Tengah tidak bisa ditegakkan tanpa dua syarat.
Pertama, dukungan populer atau masyarakat bawah. Di sini peran ajaran
Islam yang menjadi faktor penting dalam membentuk pandangan publik di
sana amatlah vital. Demokrasi sebagai sistem politik harus mempunyai
jangkar kultural dalam tradisi agama yang mengakar di masyarakat Timur
Tengah. Dengan demikian, demokrasi tidak bisa "ditanamkan" secara paksa
dari luar atau "diimpor" dari Barat dan dipajang kepada publik di sana.
Demokrasi harus berproses dari "dalam" meski faktor-faktor eksternal dan
lingkungan internasional tetap berpengaruh. Home-grown democracy,
demokrasi yang tumbuh di kebun sendiri, amatlah penting.

Impian Pemerintah AS untuk "mendemokrasikan" Timur Tengah agaknya sejak
awal akan gagal karena dua alasan. Alasan pertama, demokrasi bukan
"kebajikan politik" yang penting bagi Pemerintah AS. Ia hanya alat
instrumental. Alasan kedua, demokrasi dipaksakan dari luar melalui
perang, seperti di Irak. Retorika demokrasi juga datang belakangan
setelah publik mulai mengetahui kebohongan argumen "senjata pemusnah
massal" (weapon of mass destruction/WMD) yang diteriakkan Presiden Bush
guna membenarkan invasi atas Irak.

Jika ditelaah secara mendalam, tak ada kontradiksi yang antitetikal
antara Islam dan demokrasi, meski ada sedikit umat Islam yang menganggap
demokrasi sebagai sistem yang "kafir". Sebagian besar umat Islam
memandang demokrasi sebagai nilai yang selaras dengan ajaran Islam.
Karena itu, kurang pada tempatnya Pemerintah AS sibuk berkampanye untuk
"menjual" demokrasi ke dunia Islam. Yang menjadi soal adalah sementara
Pemerintah AS sibuk memasarkan demokrasi ke Timur Tengah, tindakan
mereka selama ini justru tidak mendukung hal itu. Dukungan Pemerintah AS
selama ini yang nyaris un-conditional terhadap rezim-rezim despotik di
Timur Tengah adalah contoh yang baik. Sikap Pemerintah AS yang tak mau
"berhubungan" dengan Hamas sebagai pemenang pemilu yang demokratis di
Palestina adalah contoh lain. Sekali lagi, tindakan AS, terutama di
bawah Presiden Bush saat ini, jelas menunjukkan, yang mereka kehendaki
bukan demokrasi, tetapi sesuatu yang lain.

Konflik Israel-Palestina

Masalah kedua yang amat penting adalah konflik Israel-Palestina.
Kampanye untuk memasarkan demokrasi di Timur Tengah akan terganjal terus
jika Pemerintah AS tidak menunjukkan sikap yang "adil" terhadap bangsa
Palestina. Masalah Palestina akan terus menjadi duri dalam daging dalam
hubungan Pemerintah AS dengan dunia Islam. Selama ini, dunia Islam
menyaksikan Pemerintah AS selalu memberi dukungan yang seolah tanpa
syarat kepada Pemerintah Israel, seraya terus menekan Pemerintah
Palestina agar mengikuti kehendaknya. Kemenangan Hamas dalam pemilu
terakhir adalah "hukuman politik", bukan saja bagi PLO dan faksi-faksi
sekuler lain di Palestina, tetapi juga terhadap AS dan Israel yang tidak
pernah memprediksi sedikit pun kemenangan ini akan terjadi.

Dunia Islam melihat ketidakadilan dipertontonkan setiap saat di
Palestina. Sementara warga Yahudi dengan bebas, bahkan dianjurkan, untuk
kembali dan tinggal di Israel, jutaan warga Palestina yang mengalami
"eksodus" dan "diaspora" di mancanegara sama sekali tak diberi hak untuk
kembali. Sementara Pemerintah Palestina terus diserimpung untuk
membangun negara yang benar-benar berdaulat, Pemerintah AS memberi
sokongan tanpa syarat kepada Israel. Sementara Israel tidak pernah
diganggu gugat untuk memiliki arsenal nuklir, Pemerintah AS tanpa lelah
memojokkan Iran karena ingin memiliki senjata yang sama (meski dengan
demikian, saya tidak dengan sendirinya setuju dengan proyek nuklir di
Iran).

Dalam kasus serangan Israel yang terakhir ke Lebanon, Presiden Bush
menyatakan di sela-sela pertemuan negara-negara G-8 di Rusia, Israel
mempunyai hak untuk mempertahankan diri atas serangan Hezbollah.
Pernyataan itu dilihat dari rentang waktu yang panjang jelas amat aneh.
Apakah yang mempunyai hak untuk mempertahankan diri hanya Israel,
sementara warga Palestina yang terlempar dari tanah airnya tak mempunyai
hak untuk mempertahankan diri. Masalah serius bagi AS adalah adanya
asumsi, Palestina seolah selalu di pihak yang salah dan Israel akan
selalu berbuat benar.

Dalam konstelasi semacam ini, saya kian skeptis, proyek pendemokrasian
yang dilancarkan Pemerintah AS di Timur Tengah akan berhasil. Yang kini
terlihat adalah kombinasi dua hal yang amat menjengkelkan, despotisme
pemerintahan Arab yang terus didukung Washington, dan "pemaksaan" proyek
demokrasi dari luar yang membuat warga di Timur Tengah kian mencurigai
proyek itu sendiri.

Sekali lagi, tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Yang
menjadi masalah adalah perasaan diperlakukan secara tidak adil oleh
Pemerintah AS yang merata di dunia Islam saat ini. Gap yang lebar antara
"dunia Islam" dan "Amerika" tidak bisa ditutup tanpa ada overhaul
dan perubahan radikal dalam pola kebijakan luar negeri AS sendiri.

Ulil Abshar-Abdalla Mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL);
Peneliti Freedom Institute, Jakarta

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/26/opini/2829848.htm
<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/26/opini/2829848.htm>

=================================

Ahmad Sahal:

Kita Perlu Lobi Tandingan Israel

Wawancara | 31/07/2006

Kota-kota Palestina sudah luluh-lantak oleh tank-tank dan senjata
Isreal. Lebanon juga dibuat neraka oleh serangan darat, laut, dan udara
Israel yang bertubi-tubi. Tapi PBB tak berkutik. Alih-alih menitahkan
Israel untuk berhenti, Amerika sebagai superpower dunia, justru tampak
membenarkan tindakan biadab Israel itu. Ada apa? Berikut perbincangan
Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis (20/7) lalu, dengan
Ahmad Sahal.

Kota-kota Palestina sudah luluh-lantak oleh tank-tank dan senjata
Isreal. Lebanon juga dibuat neraka oleh serangan darat, laut, dan udara
Israel yang bertubi-tubi. Tapi PBB tak berkutik. Alih-alih menitahkan
Israel untuk berhenti, Amerika sebagai superpower dunia, justru tampak
membenarkan tindakan biadab Israel itu. Ada apa? Berikut perbincangan
Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis (20/7) lalu, dengan
Ahmad Sahal, mahasiswa doktoral ilmu politik di Universitas Pensylvenia,
Amerika Serikat.

NOVRIANTONI (JIL): Mas Sahal, mengapa Amerika bungkam atas agresi Israel
terhadap Palestina dan Lebanon yang membabi-buta belakangan ini?

AHMAD SAHAL: Saya kita memang mengherankan ketika Amerika bungkam ketika
Israel membombardir Bandara Internasional Rafiq Hariri dan beberapa
infrasturktur penting di Lebanon. Sementara itu, Presiden Amerika,
George W. Bush dengan enteng mengatakan bahwa Israel punya hak untuk
membela diri. Karena itu, penjelasan lapisan pertamanya adalah karena
mereka terjebak oleh ulahnya sendiri di Irak yang sampai kini masih
kacau. Amerika juga terjebak dalam kasus pengayaan uranium Iran dan isu
Suriah.

Tapi pada lapisan yang lebih dalam, pertanyaan yang lebih layak kita
gali adalah mengapa Amerika selalu mendukung Israel tanpa syarat. Nah,
beberapa bulan lalu, ada satu tulisan menarik berjudul The Israel Lobby
and US Foreign Policy. Makalah itu ditulis dua profesor hubungan
internasional dari University of Cichago dan Harvard University,
masing-masing bernama John Mearseimer dan Stephen Walt. Yang menarik
dari tulisan itu adalah pendapat yang menyatakan bahwa dukungan Amerika
yang tanpa syarat terhadap Israel, justru akan merugikan kepentingan
Amerika sendiri dan juga merugikan orang Yahudi.

Dan memang, selama ini Amerika terlalu royal membantu Israel, seperti
dalam bantuan ekonominya. Paling tidak, dalam setahun Isreal mendapat
bantuan ekonomi senilai 3 milyar dolar. Selain itu, ada juga bantuan
militer dan sistem persenjataan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
bantuan diplomatik Amerika yang sudah 32 kali memveto resolusi PBB
menyangkut Isreal. Saya kira, kita semua sudah sering kali mendiskusikan
itu.

Tapi yang menarik dari tulisan dua profesor tadi, adalah penekanan bahwa
sebenarnya dukungan Amerika yang luar biasa dan tidak kritis terhadap
Israel itu dikarenakan adanya peran lobi Israel yang kuat sekali di
Amerika. Jadi saya kira, kata kunci penjelas bungkamnya Amerika di sini
adalah soal lobi Isreal yang sangat digdaya di Amerika.

Di sana orang menyebut lobi, tapi di dunia Islam lebih banyak bicara
soal konspirasi Yahudi. Bagaimana membedakan antara lobi dan konspirasi?

Saya kira memang itu yang perlu digarisbawahi. Lobi itu berbeda sekali
dengan konspirasi. Sebab, konspirasi biasanya dihubungkan dengan
kekuatan yang tak tampak yang sedang bermain dalam suatu perkara.
Sementara, lobi adalah hal yang biasa berlaku dalam perpolitikan
domestik Amerika. Nah, yang dimaksud lobi Israel di Amerika itu
kira-kira adalah kualisi longggar dari sejumlah individu dan organisasi
yang secara aktif bekerja agar kebijakan luar negeri Amerika selalu pro
terhadap Israel. Jadi, yang namanya lobi itu bukan gerakan bawah tanah
yang kemudian dikendalikan oleh suatu kekuatan gaib dengan kepemimpinan
yang tunggal.

Lobi juga sesuatu yang dikerjakan oleh banyak kelompok kepentingan lain,
selain orang-orang Yahudi pro-Israel seperti AIPAC (American Israeli
Public Affair Council). Kita mengenal banyak sekali kelompok kepentingan
yang juga aktif melakukan lobi di Amerika selain AIPAC. Misalnya
kelompok pengusaha tembakau, kelompok pemilik senjata api, dan koalisi
para pensiunan. Di Amerika, semuanya aktif melakukan lobi-lobi untuk
mememangkan kepentingan mereka.

Bedanya, lobi Israel memang begitu efektif. Dengan kekuatannya yang
mereka punya, mereka mampu mempengaruhi satu Washington, seperti
mayoritas anggota Konggres dan kalangan Ekskutif. Mereka juga efektif
mempengaruhi opini publik di media massa.

Jadi, lobi Isreal begitu efektif melakukan kampanye supaya orang tidak
bisa bersikap kritis terhadap Israel di dalam banyak diskusi publik.
Suasana seperti itu berbeda sekali dengan, misalnya, di Eropa. Poin
kedua profesor tadi tentang lobi Israel adalah: semua itu sesuatu yang
wajar dalam politik domestik Amerika dan memang dilakukan oleh kelompok
kepentingan mana pun. Bedanya, lobi Israel sangat efektif.

Yang jadi pertanyaan, mengapa lobi Israel itu begitu efektif dan
seakan-akan mampu mempengaruhi hampir semua kebijakan luar negri Amerika
di Timur Tengah?

Saya kira, salah satu penjelasannya adalah karena tidak adanya lobi
tandingannya. Saya belum pernah mendengar adanya lobi Arab atau
Palestina yang betul-betul kuat di dalam kancah politik domestik
Amerika. Kalau boleh berandai-andai, sekiranya kelompok Arab atau
Palestina dari dulu secara aktif membangun lobi di kancah politik
domestik Amerika, ceritanya mungkin berbeda. Faktanya mereka justru
melakukan langkah-langkah yang kadang-kadang justru kontraproduktif
untuk memenangkan kepentingan mereka, seperti mempertontonkan cara-cara
kekerasan. Israel juga melakukan kekerasan yang lebih brutal, tapi di
Amerika, suasananya memang agak aneh.

Karena itu, dari sisi isu, sebenarnya tulisan dua profesor tadi sudah
sering kita dengar. Tapi yang unik, kedua profesor dari universitas
kenamaan Amerika itu betul-betul sedang mendobrak tabu, dan dalam publik
Amerika, hal itu jarang terjadi. Padahal, seperti yang saya bilang tadi,
kritik yang lebih pedas terhadap Israel di publik Eropa sudah sangat
biasa. Karena itu, salah satu media di Israel menganggap tulisan ini
penting sekali, karena banyak orang yang sudah mencemaskan dukungan
tanpa syarat Amerika terhadap Israel.

Anda mungkin punya penjelasan historis juga mengapa Amerika begitu
simpati, tidak kritis, bahkan suportif habis terhadap segala tindakan
Israel?

Beberapa waktu lalu, setelah tulisan dua profesor tadi dimuat di London
Review of Books, muncul tulisan Tony Judd, seorang profesor sejarah
Eropa dari New York University di New York Times. Di situ Judd bilang
bahwa ketakutan terhadap stigma anti-Semit juga sangat menakutkan bagi
publik Amerika. Menurut dia, ketakutan dituduh anti-Semit kalau
mengkritik hubungan tidak sehat antara Amerika dengan Israel itu begitu
kuatnya di Amerika, dan itu tidak terjadi di Eropa. Padahal, dalam
banyak hal, itu justru akan merugikan kepentingan Amerika sendiri,
Israel dan seluruh orang Yahudi. Karena itu, bagi dia ketakutan akan
stigma anti-Semit ini harus dilawan, dan karena itu tulisan dua profesor
tadi dia sebut sebuah terobosan yang menarik sekali di Amerika.

Mungkin penjelasan itu berbeda dengan apa yang terjadi di banyak negeri
muslim dan Arab. Kalau di publik Amerika ketakutan stigma anti-Semit
melumpuhkan sikap kritis terhadap hubungan Amerika dan Israel, di dunia
muslim, kita gampang sekali terjebak pada skenario teori konspirasi.
Jadi kita gampang terjebak dalam penjelasan dengan menggunakan teori
konspirasi. Sekali sedikit-sedikit ada kejadian, kita menghubungkannya
dengan konspirasi Yahudi yang mengandaikan adanya kekuatan tunggal
terorganisir yang dilakukan olehYahudi, mungkin dari Amerika atau dunia
Barat, untuk melumpuhkan dunia dan umat Islam.

Menurut saya, kecenderungan berpikir konspiratif ini juga sesuatu yang
sudah saatnya dihentikan. Lebih baik kita berpikir realistis. Artinya,
kalau Amerika habis-habisan mendukung Israel karena peranan lobi Israel
yang begitu hebat melalui proses politik yang wajar di Amerika, mengapa
umat Islam di Amerika atau mungkin bangsa Arab di Timur Tengah yang juga
tidak miskin-miskin amat, tidak membangaun lobi yang sama. Mulai
sekarang, untuk kepentingan jangka panjang, membangun lobi Palestina,
Timur Tengah, atau Arab untuk menandingi lobi Yahudi itu sangat perlu.
Jadi kita sedang bicara soal kenyataan politik Amerika yang mensyaratkan
demikian. Ini yang harus mulai kita pikirkan sebagai strategi jangka
panjang umat Islam dalam menghadapi kekuatan Israel.

Sayangnya, dunia Arab selalu tidak bisa bersatu, dan bukan hanya itu,
mereka juga kurang berpikir stategis dalam kancah politik riilnya. Kalau
mereka sudah tahu bahwa Amerika selalu mendukung Israel karena ada
kekuatan lobi Israel yang begitu kuat di Amerika, mengapa mereka selalu
menuntut Amerika untuk menjadi wasit yang adil tanpa pernah berpikir
membangun kekuatan dalam perpolitikan domestik Amerika? Karena itu, lobi
itu penting untuk menghadapi kekuatan yang nyaris tak terkalahkan.

Karena itu, menurut saya, untuk strategi jangka panjang, cara-cara
kekerasan seperti yang sudah sering kita tempuh dan selalu gagal, sudah
sebaiknya ditinggalkan. Kini sudah saatnya kita memikirkan supaya ada
kelompok yang memikirkan kepentingan Palestina di dalam kancah
perpolitikan domestik Amerika. Mereka harus rajin, giat dan aktif
mempengaruhi Amerika supaya kebijakan politik luar negerinya berpihak
kepada Palestina dan dunia Islam. Jadi ini betul-betul pertarungan
politik yang harus dilakukan.

Kalau Amerika ingin mendapatkan informasi tentang situasi Timur Tengah,
selama ini mereka otomatis mencari dari organ-organ atau badan-badan
pro-Israel seperti AIPAC itu, ya?

Sebetulnya tidak semonolitik itu, karena Amerika juga negara demokratis.
Salah satu kekuatan negara yang demokratis adalah kebebasan berekspresi.
Karena itu, tulisan dua profesor yang saya sebutkan tadi beredar luas
juga di dalam dunia akademis Amerika. Hanya saja, kritik-kriitik itu,
dari segi intensitas dan frekuensinya, tidak sepopuler di Eropa; di mana
ketakutan terhadap tuduhan anti-Semit tidak terlalu kuat.

Karena itu, kita tidak perlu lagi bicara tentang hak Israel berada di
Timur Tengah seperti yang sering dikemukakan Presiden Iran, Ahmadinejad.
Pada tahap sekarang ini, sebenarnya pembicaraan sudah ada pada gagasan
bagaimana Israel dan Palestina itu bisa hidup berdampingan. Dan karena
itu, tindakan sembrono seperti menculik kopral Israel seperti yang
dilakukan Hamas atau Hizbullah, dari segi stategi politik, menurut saya
ngawur. Tapi yang jauh lebih ngawur, tentulah pembalasan Isreal yang
membabi-buta.

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan untuk menghadapi Israel dan
sekutunya, Amerika? Apa cukup dengan menggembar-gemborkan kalimat
al-Islam ya'lu wala yu'la alaih (Islam itu jaya, dan tidak ada
yang mampu menandinginya, Red?) Bagi saya, kita tidak seharusnya
berhenti pada retorika, tetapi perlu mewujudkannya secara kongkret
dengan cara membangun kekuatan di dalam dunia politik yang riil. Kita
gampang sekali tersulut emosi kemarahan karena diperlakukan secara tidak
adil, tetapi kemarahan itu tidak mampu kita tranformasikan menjadi
energi besar untuk membangun kekuatan. Ini adalah soal serius: bagaimana
staretegi yang dibutuhkan untuk merealisir jargon itu tadi.

Ada banyak juga komunitas muslim dan Arab di Amerika. Apakah mereka
sudah berpikir untuk membangun lobi yang bisa diperhitungkan?

Sebenarnya sudah ada beberapa komunitas di Amerika yang berpikir begitu,
tetapi masih terlalu lemah. Komunitas muslim di Amerika, dari segi
mobilitas vertikal dan tingkat kesejahteraan ekonominya, relatif lebih
cepat dibandingkan mereka yang ada di Eropa. Dengan begitu, mereka
mestinya lebih mapan secara ekonomi. Hanya saja, secara politik, mereka
memang masih lemah. Saya kira, proyek membangun lobi Timur Tengah atau
Palestina dalam perpolitikan Amerika ini memang proyek jangka panjang.
Untuk itu, berhentilah berpikir konspiratif, karena itu merefleksikan
teorinya orang yang malas, karena tidak berpijak pada kenyataan.

Kalau mau belajar dari lobi Israel, apa yang perlu dilakukan untuk
membangun lobi tandingannya?

Wah, ini pertanyaan yang sangat pelik dan saya tidak tahu bagaimana
menjawabnya. Tapi yang saya tahu dari pengalaman belajar di Amerika
adalah fakta bahwa komunitas Yahudi itu kuat, justru karena mereka tidak
seragam. Maksudnya, mereka begitu majemuk dalam segala hal. Contohnya,
baik di sayap politik konservatif maupun liberal Amerika, banyak sekali
orang Yahudi yang hebat-hebat. Padahal, mereka saling bertentangan dalam
dua kecenderungan tersebut. Jadi Yahudi di Amerika sendiri tidak tidak
bersifat monolitik. Tapi secara kualitas individu-individu, mereka
begitu mumpuni dalam banyak bidang. Jadi, lagi-lagi ini soal kualitas
SDM-nya.

Kalau begitu, masa depan lobi tandingan Israel sangat suram, dong?

Itu soal persepsi, ya. Kalau dilihat dari sekarang, kekuatan ekonomi
kelompok Yahudi Amerika itu memang begitu digdaya. Dan itu berdampak ke
dunia politik karena mereka bisa membiayai calon anggota Kongres supaya
terpilih dalam pemilu dan membela kepentingan mereka. Namun, tidak tepat
juga kalau dikatakan bahwa ekonomi Amerika akan ambruk tanpa Yahudi.
Tetapi kalau dibilang kalangan Arab atau Timur Tengah miskin, tentu
tidak juga. Sebab kebutuhan Amerika terhadap minyak, sangat bergantung
pada pasokan Timur Tengah. Jadi kalau bicara soal lobi untuk jangka
panjang, saya kira itu tidak mustahil. Banyak yang bisa dikerjakan dalam
dunia politik yang riil oleh kalangan Islam Timur Tengah. Saya optimis,
karena itu bisa dilakukan. []

Dimuat di Indo Pos Minggu 30 Juli 2006

  Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1092

===========================



Perang Tanpa Pemenang

Oleh M. Guntur Romli
<http://islamlib.com/id/index.php?page=archives&mode=author&id=65>

Kliping | 01/08/2006

Menghadapi situasi terjepit ini, hanya rakyat sipil dan pemerintah
Lebanon yang butuh sokongan. Kelompok Hezbollah tidak perlu dibela
ataupun aksi Israel ini hanya untuk dimaklumi. Peran Amerika tidak bisa
dinafikan untuk menekan pemerintah Israel agar menghentikan serangan.
Segala bentuk dalih dukungan pada Israel—misalnya dengan mengatakan
bahwa Israel hanya membela diri—akan semakin mendorong Israel untuk
terus melakukan serangan.

Rabu pagi (12/7), Pemimpin Hezbollah, Syekh Hasan Nasrullah belum
selesai menyantap ka'ak; jajan yang dihidangkan untuk perayaan. Baru
saja ia memaklumatkan kesuksesan pasukan Hezbollah menyandera dua orang
serdadu Israel. Sebuah misi heroik yang disambut pesta oleh seluruh
pendukung Hezbollah dan dianggap sebagai peristiwa al-karamah
al-musta'adah "kehormatan yang telah direbut kembali".
Tiba-tiba perayaan itu terhenti oleh aksi pembalasan dari pihak militer
Israel. Sebelumnya Panglima Militer Israel, Jenderal Dan Halutz telah
mengirim pesan teror "misi Hezbollah itu hanya akan memutar jarum
jam 20 tahun ke belakang." Dan benar, setelah pembalasan Israel
digelar, Lebanon seperti kembali ke dua dekade silam. Lebanon Selatan
dan kota Beirut hancur lebur. Lebanon yang dikenal sebagai "sorga
pariwisata" berubah menjadi "neraka malapetaka". Sialnya
hanya gara-gara penyanderaan dua serdadu Israel. Siapa yang mendulang
keuntungan dan menjadi pemenang dari perang ini?

Israel mungkin unggul dalam segala-galanya. Terutama kecanggihan senjata
dan kekuatan lobbi. Jangankan melawan Hezbollah, ketika Israel dikeroyok
oleh gabungan pasukan negara-negara Arab pada perang Arab-Israel tahun
1967, Israel tidak terkalahkan. Semenanjung Sinai milik Mesir jatuh ke
tangan Israel, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah diduduki. Pun
Lebanon Selatan, dan seluruh wilayah Palestina berhasil dikuasai.
Sementara saat ini, Israel "hanya" menghadapi sebuah milisi
militer. Bisa dikatakan perlawanan bersenjata Hizbulah adalah misi yang
mustahil. Hingga hari ini (18/7), harian Israel Haaretz memberitakan,
militer Israel "sukses" menyerang lebih dari 1000 titik sasaran
di Lebonon, khususnya markas-markas Hezbollah. Kota demi kota di Lebanon
menunggu giliran untuk dihancurkan. Dan Hezbollah hanya membalas dengan
serangan roket.

Perdana menteri Israel yang baru terpilih, Ehud Olmert merasa menang dan
bisa meraih keuntungan. Popularitasnya pun melambung tinggi. Ia tak lagi
dibayang-bayangi kebesaran seniornya, Ariel Sharon. Dengan serangan
balasan itu pula, sekaligus bantahan terhadap tudingan bahwa dirinya
terlalu lunak pada musuh-musuh Israel. Pun nantinya mayoritas dunia
internasional menganggap, Israel hanya membela diri.

Hemat saya, serangan militer Israel yang membabi-buta ini tidak akan
berhasil melenyapkan kekuatan Hezbollah, malah akan semakin menambah
kekuatan dan dukungan. Olmert mengulangi kesalahan Ariel Sharon pada
tahun 1982, ketika menyerbu Beirut dan membumihanguskan kamp pengungsian
Palestina di Shabra-Shatila. Penyerbuan Israel itu malah melahirkan
Hezbollah sebagai kelompok perlawanan bersenjata yang didukung penuh
oleh Iran. Dan karena penyerbuan itu pula, kesadaran nasional rakyat
Lebanon terwujud, yang sebelumnya tercabik-cabik oleh perang saudara.
Mereka bersatu-padu melawan agresi militer Israel. Sharon sendiri
terpojok saat itu, dan harus kehilangan jabatannya sebagai menteri
pertahanan. Ia sempat menghilang, sebelum kembali lagi, menjadi pemimpin
yang paling keras dalam sejarah Israel. Dalam ranah ini, Israel meski
sebuah musibah namun juga anugrah bagi persatuan bangsa Arab. Sharon
sendiri yang melahirkan Hezbollah, malangnya ia harus perangi sepanjang
hayatnya.

Hezbollah juga merasa di ambang "kemenangan", karena berhasil
memprovokasi Israel untuk berperang. Tanpa konflik senjata, Hezbollah
bak singa tanpa rimba, tidak memiliki peran dan agenda. Selama ini bagi
Hezbollah, penarikan mundur tentara Israel dari Lebanon Selatan pada
tahun 2000 menjadi bukti keberhasilan perlawanan militer kelompok
penganut paham syiah itu. Melalui konflik ini pula, popularitas
Hezbollah akan membumbung tinggi. Menghadapi kekuatan Israel, Hezbollah
juga tidak merasa kecut, karena ada dua kekuatan negara di belakangnya
yang siap menggelar "perang puputan": Suriah dan Iran. Pesan
yang juga disampaikan oleh Nasrullah Rabu pagi itu, menegaskan bahwa
Lebanon masuk lingkaran poros Iran-Suriah untuk melawan Israel dan
Amerika.

Namun atas tindakan radikalnya itu, bagi saya, Hezbollah—sebagaimana
Hamas—akan semakin dikucilkan dari Liga Arab. Sejak dini, Saudi
mengecam tindakan Hezbollah sebagai perlawanan illegal di luar
pemerintah resmi. Hezbollah membangun negara dalam negara. Dalam
pertemuan darurat para menteri luar negeri dunia Arab Sabtu lalu,
Hezbollah gagal meraih simpati dan solidaritas Liga Arab. Mesir dan
Jordania menegaskan kembali sikap pemerintah Saudi yang menganggap bahwa
tindakan Hezbollah itu membahayakan keamanan negeri-negeri jirannya dan
telah membunuh proses perdamaian di Timur Tengah.

Lantas siapa yang beruntung? Dua "orang tua asuh" Hezbollah:
Suriah dan Iran? Presiden Suriah Bashar al-Asad untuk sementara bisa
menarik nafas lega. Sebelum ini ia terpojok gara-gara laporan komisi
investigasi independen PBB, yang mengarahkan jari telunjuk pada dirinya
bahwa ia terlibat pembunuhan Perdana Menteri Lebanon; almarhum Rafik
al-Hariri. Dan atas serangan Israel itu pula, rakyat Lebanon bisa sadar
atas kesalahannya karena telah mengusir pasukan Suriah dari Lebanon pada
tahun 2004. Tanpa serdadu Suriah di Lebanon berarti keamanan negeri itu
terus terancam. Dan serangan Israel saat ini menjadi bukti nyata.

Iran bisa menangguk keuntungan sementara. Setelah babak belur di dunia
internasional akibat program nuklirnya, perang Israel-Hezbollah saat ini
adalah pengalihan isu yang paling jitu. Kampanye Presiden Iran Mahmoud
Ahmadinejad untuk menghapus negara Israel dari peta dunia telah dimulai.
Seperti teriakan pemimpin-pemimpin negara Arab pada Perang Arab-Israel
dulu, bahwa mereka "akan mencemplungkan negara Israel ke laut."

Melalui krisis Lebanon ini, kita menyaksikan bahwa Iran dan sekutunya
telah mendorong kawasan di Timur Tengah untuk memasuki gelanggang perang
terbuka. Sehari sebelum drama penyanderaan itu, Iran menolak
mentah-mentah seluruh pembicaraan mengenai program nuklir, dan
sekonyong-konyong Hezbollah sebagai agen militer Iran di Lebanon
melansir berita penyanderaan dua serdadu Israel. Dalam sekejap, mata
dunia pun beralih pada Lebanon.

Sementara Lebanon sendiri adalah sandera dari konflik senjata ini.
Pemerintah Lebanon tidak memiliki kekuatan untuk menekan Hezbollah.
Meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1559 tahun 2004 yang
mengamatkan untuk melucuti persenjataan milisi Hezbollah dan
milisi-milisi lain. Lebanon adalah korban dari kekerasan ini. Rakyat
Lebanon tidak memiliki secuil niat untuk berperang. Lebanon adalah
negeri yang dibangun bersusah-payah setelah dihancurkan oleh konflik
yang berkepanjangan: perang saudara dan agresi militer Israel dengan
mengandalkan dunia pariwisata, dan perdagangan. Sebuah negeri yang telah
menutup rapat-rapat pintu perang. Pahitnya perang justeru dikobarkan
lagi di negeri ini.

Menghadapi situasi terjepit ini, hanya rakyat sipil dan pemerintah
Lebanon yang butuh sokongan. Kelompok Hezbollah tidak perlu dibela
ataupun aksi Israel ini hanya untuk dimaklumi. Peran Amerika tidak bisa
dinafikan untuk menekan pemerintah Israel agar menghentikan serangan.
Segala bentuk dalih dukungan pada Israel—misalnya dengan mengatakan
bahwa Israel hanya membela diri—akan semakin mendorong Israel untuk
terus melakukan serangan. Padahal seperti yang disampaikan Presiden
Rusia Vlademir Putin, melalui serangan membabi-buta ini, Israel telah
memiliki agenda lain, tidak hanya berusaha membebaskan dua serdadunya
yang disandera.

Pemerintah Lebanon perlu dukungan untuk menjalankan otoritasnya.
Sementara Hezbollah jika masih mengakui sebagai bagian dari negeri
Lebanon sewajibnya mematuhi kebijakan pemerintah Lebanon. Liga Arab dan
OKI berfungsi untuk menuntut Suriah dan Iran agar mengendalikan
Hezbollah. Di sinilah hemat saya, pemerintah Indonesia bisa berperan
aktif dalam dunia internasional, dengan catatan dalam konflik ini bukan
untuk membela salah satu pihak yang berperang, kecuali rakyat sipil dan
pemerintah Lebanon. Kekerasan dan perang selalu ditamatkan dua nasib
yang sama-sama kalah: mati berkalang tanah, atau hidup tersiksa
selamanya. Karena itu, dalam perang, tidak ada yang didaulat sebagai
pemenang.

Mohamad Guntur Romli, Analis Politik Timur Tengah dari Jaringan Islam
Liberal

Dimuat di Media Indonesia Kamis 27 Juli 2006

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1095

======================



Ajakan Putri Lebanon

Oleh M. Guntur Romli
<http://islamlib.com/id/index.php?page=archives&mode=author&id=65>

Editorial | 24/07/2006

Saat ini, saya kira, tak hanya kita yang bingung menanggapi ajakan Putri
Lebanon itu; ia sendiri merasa pilu akan nasib buruk yang menimpa
negerinya dalam beberapa pekan terakhir. Nanti, sepulang dari kontes
ratu sejagad, ia mungkin akan meratapi kehilangan. Ia mungkin tik akan
menjumpai keindahan negerinya lagi. Saat ini, Lebanon bukan lagi wajah
jelita putri dunia, namun dipenuhi bopeng di mana-mana, porak-poranda,
dan luluh lantak akibat senjata.

Bagaimana saya harus menanggapi ajakan Putri Lebanon, Gabrielle Bou
Rached? Putri jelita dari negeri Cedar itu, kini sedang mengikuti kontes
ratu sejagad di Amerika. Sebenarnya ia tak hanya mengajak saya, tapi
juga kita, untuk menikmati keindahan negerinya, Lebanon. Dalam wawancara
yang dilansir situs www.missuniverse.com <http://www.missuniverse.com/>
, ia tak sanggup melukiskan negerinya. "Sungguh, Anda harus datang
sendiri!" ajaknya. Keindahan negerinya bak taman surgawi. Magda
Roumi, diva Lebanon yang terkenal itu, memuja Beirut, ibu kota Lebanon,
dengan julukan Sittud Dunya (Dewinya Dunia).

Saat ini, saya kira, tak hanya kita yang bingung menanggapi ajakan Putri
Lebanon itu; ia sendiri merasa pilu akan nasib buruk yang menimpa
negerinya dalam beberapa pekan terakhir. Nanti, sepulang dari kontes
ratu sejagad, ia mungkin akan meratapi kehilangan. Ia mungkin tik akan
menjumpai keindahan negerinya lagi. Saat ini, Lebanon bukan lagi wajah
jelita putri dunia, namun dipenuhi bopeng di mana-mana, porak-poranda,
dan luluh lantak akibat senjata.

Sejak Rabu (12/7) lalu, lebih dari 1000 titik di Lebanon telah dihantam
senjata-senjata berat Israel. Serangan para serdadu Yahudi yang
membabi-buta itu, telah mampu mengubah surga menjadi neraka. Pohon-pohon
cedar hangus terbakar, gedung-gedung tinggi jatuh terkapar, anak-anak
manusia berhamburan mencari jalan keluar.

Kecantikan tak selalu mendatangkan keberuntungan, tapi bisa juga
mengundang kemalangan. Inilah garis nasib yang dialami Lebanon sejak
dulu. Kecantikannya selalu tercabik. Kedamaiannya selalu terusik.
Kekerasan senjata senantiasa merusak segala-galanya.

Nasib tragis itulah yang pernah dikisahkan oleh bait-bait syair Nizar
Kabbani, penyair termasyhur Lebanon, kelahiran Suriah. Ia menyebut
Lebanon "vas bunga yang dipenuhi senjata". Inilah sebait
sajaknya: Kami bersaksi di hadapan Tuhan Yang Satu/kami selalu
menyakitimu, Lebanon/kecantikanmu membawa petaka/sebab kami tak mampu
memahamimu/kau adalah vas indah/tidak kami isi bunga, tapi senjata.
Sajak ini ditulisnya sebagai respon terhadap perang saudara yang pernah
terjadi puluhan tahun di Lebanon.

Nizar seolah merekam ratapan rakyat Lebanon yang tak mampu memelihara
kecantikan dan kedamaian negerinya. Setelah dibangun, ia kembali 
dihancurkan, baik oleh perang saudara maupun gempuran negeri jirannya.
Setelah bebas dari penjajahan Perancis (1943), Lebanon kembali membangun
dan mempercantik diri. Namun perang saudara (1975-1990) kembali mengubur
semuanya. Di jalan-jalan Beirut, sesama Muslim saling tikam, sesama
Syiah saling bunuh, sesama Kristen saling hantam, sesama Arab saling
serang, sesama manusia saling membinasakan lainnya.

Lepas dari perang saudara, Lebanon kembali menjadi sandera. Lebanon
memang bukan gadis molek yang punya kebebasan, kemandirian, dan
kekuatan. Ia selalu menjadi sarang preman-preman pemanggul senjata.
Banyak pihak yang iri dengan kecantikan dan kedamaiannya. Namun begitu,
mereka selalu berhasrat menjerumuskannya ke jurang kehancuran.

Menghadapi serangan Israel kini, kita jelas-jelas mengutuknya sampai
mati. Namun pihak yang memancing peperangan dari dalam negeri Lebanon
sendiri, pantas juga menuai kecaman. Hizbulah sebagai agen Iran dan
Suriah, jelas-jelas telah menjerumuskan Lebanon ke dalam kancah
kekerasan. Lebanon perlu dibebaskan dari kekerasan dan peperangan. Ia
perlu dibela dari tikaman dari luar dan dalam. []

Dimuat di Jawa Pos Jumat 21 Juli 2006 dan Indo Pos Minggu 24 Juli 2006

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1089





[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke