CATATAN DARI MEJA NUSA DUA & CAFE BANDAR: [7].
MELIHAT WAKTU DAN SEKITAR DARI CAFE BANDAR Hari itu, di antara bayangan gedung-gedung yang berdiri di pantai Teluk Balikpapan, aku mengayunkan langkah santai sambil mengamat sekeliling menuju Café Bandar. Sejak dari Paris, aku memang sangat ingin ke mari. Apalagi Koperasi Restoran Indonesia, yang turut kubangun di pusat ibukota Perancis, sangat sering menerima pegawai-pegawai Total, perusahaan minyak Perancis yang beroperasi di Kalimantan Timur, dari Balikpapan . Kubayangkan, Café Bandar adalah sebuah café artistik penuh daya pukau, bayangan yang terbentuk oleh café-café pantai di Perancis dan Eropa umumnya. Apalagi ia terletak di pinggir teluk, dan teluk bagian dari laut. Laut yang bagiku adalah lambang hidup itu sendiri. Garang dan menantang. Sedangkan tantangan itu romantis dan penuh romantika. Tadinya aku ingin sendiri datang ke mari. Lebih bebas dan tidak merepotkan orang lain. Aku memang tidak suka merepotkan orang, apalagi menyita waktu mereka. Waktu, dalam benakku seelalu merupakan sesuatu yang bisa ditakar dengan uang sama halnya dengan perhatian. Sikap terhadap waktu bagiku kujadikan salah satu petunjuk dalam mengukur tingkat perkembangan suatu bangsa dan negeri. Etos kerja dan bagaimana seseorang memaknai hidup, juga bisa dilihat dari sikap terhadap waktu. Dengan demikian jika seseorang sukarela meluangkan waktunya untuk orang lain, maka adanya perhatian begini sangat layak diberi penghargaaan tinggi dan orang tersebut sebenarnya telah memberikan tempat khusus kepada yang diberikannya waktu. Gerak-gerik, cara jalan timat-timit barangkali ada kaitannya dengan sikap terhadap waktu dan konsep hidup. Dengan dasar pikiran ini maka aku tidak suka orang lain memberikan waktunya untukku dan aku suka sendiri, karenanya aku sangat menghargai tinggi pemberian waktu yang diberikan orang lain kepadaku. Inti persoalanku di sini adalah bagaimana kita memperlakukan waktu? Apa arti memperlakukan waktu sementara hidup kita sangat singkat? Secara singkat, katakanlah bahwa aku sedang berbicara tentang waktu sebagai suatu filsafat atau ujud dari suatu filsafat. Kalau di berbagai benua, aku bisa mencapai alamat yang kuinginkan tanpa kesulitan, mengapa mencari Café Bandar di sebuah kota sebesar Balikpapan saja, alamat itu tidak bisa kutemui?Demikian pikirku dan tekadku. "Inilah Café Bandar itu," ujar teman yang mengantarku. Terasa ia menahan diri untuk memberi keterangan lebih jauh sehingga kalimatnya terasa menggantung. Barangkali ia membiarkan aku melanjutkan sendiri kalimatnya. Kesibukan membawa temanku itu segera berlalu sehingga tidak bisa menerima ajakku untuk minum bersama walaupun cuma secangkir kopi atau segelas coca atau pun bir. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya yang telah memberikan waktu untukku. Aku mengambil tempat duduk, memesan kopi tubruk panas. Melayangkan pandang ke langit teluk dan gelombang laut yang sedang tohor sehingga memperlihatkan pantai becek, barangkali sama beceknya dengan hidupku sehingga oleh sementara orang dipandang menjijikkan. Tapi coba tanya diri masing-masing agar bisa sedikit berlaku adil dalam menilai orang dan tidak begitu gampang menjijikkan hidup orang lain. Hidup mana dan hidup siapa gerangan yang mulus selalu bagai pasir kencana? Hidup mana dan hidup siapa yang tidak mengenal kebecekan? Kebecekan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan. Masalahnya bagaimana kita keluar dari kebecekan dan membuatnya sebagai sangu menatah hidup. Tapi tentu saja bagi kepongahan, sikap ini barangkali sangat asing. Di pantai becek di bawah tiang-tiang Café Bandar, aku pun melihat kehidupanku yang kadang pasang dan kadang tohor. Juga kehidupan siapa pun. Tak terkecuali kehidupanmu, Dik. Pasang dan surut, keduanya membawa hikmah dan menanya. Menanyai, karena pasang dan surat sekaligus membawa corak petaka yang menagih tanggapan. Pasang surut adalah bagian dari waktu, sementara ajal berkeliaran bebas di dalam ruang dan waktu pandak kita. Memandang ombak dan cakrawala, keduanya membangkitkan hasrat padaku untuk memberi wangi pada ruang dan waktu pandakku dengan cinta yang tangguh. Pandang kualih dari laut dan cakrawala yang di mana pun selalu mengasikkan dan mengundang rindu karena seperti hutan, gunung dan sungai, laut pun dahulu pernah turut mengasuh masa bocahku. Laut selain seperti hidup, kian hari kian kurasakan seperti cinta. Adakah cinta yang tenang tanpa gelombang dan prahara? Tapi tidakkah kadar cinta itu ditanyai oleh gelombang dan prahara? Merenungi laut, aku sampai pada hipotesa bahwa cinta itu memang soal perasaan tapi kemudian usia membawaku untuk mengatakan bahwa dalam cinta, perasaan itu patut ditingkatkan kadarnya dengan makna. Makna inilah kemudian yang membuat cinta sanggup tangguh menanggap gelombang prahara. Dengan pemahaman inilah maka aku mengertikan ungkapan Tiongkok klasik bahwa: "with the one you love, even to live in a slum is like in the heaven". Pemahaman ini kembali kulihat dipertanyakan oleh Celia, anakku, melalui tatapan diamnya ketika melepaskan keberangkatanku ke Barat yang jauh. Diam memang adalah suatu bahasa. Terkadang sangat padat makna. Memandang Café Bandar, mengamati penampilan para pekerjanya, aku tidak temukan pada mereka ciri-ciri lokal yang tangap zaman. Pada Balikpapan tidak kutemukan hal ini. Balikpapan terkesan padaku sebagai sebuah kota tanpa tanda Kalimantan apalagi yang bersifat Dayak. Berbeda dengan kota kecil Palangka Raya yang menjadi ibukota Kalimantan Tengah. Balikpapan jika menjuruskan diri ke arah perkembangan sekarang maka ia akan sulit membedakan diri dari Rio de Janeiro, Sydney, Jakarta,Tokyo, New York yang mengejawantahkan pola tunggal model globalisasi kapitalisme. Syarat Balikpapan berkembang ke jurusan ini memang tersedia apalagi jika pemikiran serius ke pembangunan kota merupakan bidang kosong dan dibiarkan kosong. Dengan kekosongan konsep bisakah kita membangun sesuatu apalagi yang bermakna untuk memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat? Aku mengkhawatirkan Balikpapan akan menjadi rimba tapi dinamai "kota modern". Apakah Balikpapan? pertanyaan yang muncul di kepalaku ketika memandang merenungkannya dari meja-meja Café Bandar, saat sendiri di antara asin teluk, diusap angin yang selalu gelisah. Di kesendirian ini kembali aku melihat jelas tatapan mata Celia, anakku ketika melepaskan aku berangkat ke Barat. Terngiang suara bocahnya mengingatkan aku:"Ayahku gembel, jangan kalah!angan kalah!". Tapi, nak, kekalahan dan kematian itu campurbaur dan bersekutu. Ia meliar siap menyergap di saban tikungan. Untuk cintaku, aku mau hidup, nak!.*** JJ.Kusni -------- Perjalanan, September 2005. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving. http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/