alien-alien emang lucu-lucu..


Debat (Lagi) Dengan Ahmadiyah
oleh: Akmal



assalaamu’alaikum wr. wb.
 
Kemarin sore, sebuah pesan singkat dari Mas Satriyo masuk ke ponsel saya.  
Katanya, ust. Adian Husaini akan tampil dalam acara Debat-Debat di TV One.  
Sebelumnya
saya sudah sempat mendengar akan ada debat lagi di TV One tentang
Ahmadiyah, tapi saya tidak tahu siapa yang akan hadir.  Bahkan awalnya saya 
menyangka bahwa debat pekan lalu akan diulang kembali saking serunya.  Ternyata 
memang episode baru, namun dengan topik yang kurang lebih sama.
 
Kepada rekan-rekan di Multiply, mohon maaf jika saya tidak sempat memberi 
pengumuman, karena memang hampir seharian tidak online.  Tapi saya akan 
berusaha menjelaskan kesan-kesan yang saya dapat dari acara semalam (Rabu 
malam, 18/06/08).
 
Ahmadiyah yang Sebenarnya
Ada sebuah langkah maju dari pihak Ahmadiyah yang semestinya sudah mereka 
lakukan sejak dahulu kala.  Sudah lama saya bertanya-tanya : apakah Ahmadiyah 
memang mampu membela dirinya sendiri?  Mengapa
ketika bicara soal Ahmadiyah, kita harus berhadapan dengan Gus Dur,
Syafii Maarif, Abdul Moqsith Ghozali, JIL, dan AKKBB?  Ke manakah para penganut 
Ahmadiyah ini sebenarnya?  Mengapa mereka harus selalu berlindung di balik 
tokoh-tokoh non-Ahmadiyah?
 
Nah, dalam acara debat kali ini, Ahmadiyah diwakili oleh jubirnya, yaitu 
Zafrullah Pontoh.  Ini sudah sebuah langkah maju, karena kini kita tidak lagi 
bertanya-tanya tentang sikap Ahmadiyah yang sebenarnya.  Paling tidak, mereka 
sudah memajukan seorang wakil resmi dari pihak mereka.  He may not be the best 
to represent them, but at least he’s legitimate.  Ke
depannya, saya berharap tidak hanya satu dari dua pendebat dari
kalangan Ahmadiyah, apalagi jika topik pembicaraannya seputar Ahmadiyah.
 
Tragedi Rumadi
Tidak banyak yang bisa saya katakan tentang Rumadi.  Yang jelas, konon ia 
adalah seorang peneliti dari The Wahid Institute.  Menurut pengalaman, 
irisannya tidak akan jauh dari JIL dan semacamnya.  Organisasinya banyak, 
orangnya ya itu-itu juga.
 
Barangkali pihak TV One memang tidak memberitahukan siapa saja narasumber yang 
diundang.  Yang
jelas, jika memajukan Zafrullah Pontoh saya anggap sebuah langkah maju
(karena faktor ke-Ahmadiyah-annya), maka kemunculan Rumadi justru saya
anggap sebagai sebuah tragedi.  Pasalnya, yang ia
hadapi adalah ust. Adian Husaini, cendekiawan Muslim yang berani maju
sendirian dan mempelopori perlawanan intelektual terhadap gerombolan
sekularis-liberalis-pluralis.  Tulisan-tulisannya
– mulai dari buku hingga artikel-artikel pendek – dianggap sebagai
sebuah ancaman besar oleh kalangan liberalis.  Bahkan
Jalaluddin Rahmat pun bisa naik darah di depan umum karena
kebohongannya yang mencatut Tafsir Al-Manar diungkap oleh beliau.  Tokoh
yang satu ini semestinya dihadapi minimal oleh liberalis selevel Ulil
Abshar Abdalla atau Abdul Moqsith Ghozali, bukannya ‘liberalis kemarin
sore’.  Bahkan sebenarnya di acara Debat-Debat yang disiarkan pekan lalu, 
sedianya ust. Adian Husaini-lah yang akan tampil.  Karena beliau berhalangan, 
maka dimajukanlah ust. Adnin Armas.  Dalam urusan filsafat dan hermeneutika, 
ust. Adnin Armas adalah narasumber yang susah dicari tandingannya.  Namun jika 
bicara tentang debat dan argumen, maka ust. Adian Husaini jauh lebih tangkas 
dan jam terbangnya pun sangat tinggi.
 
Pada akhirnya Rumadi justru membuat posisi Ahmadiyah makin terancam karena 
sikapnya yang sangat tidak tenang.  Berlawanan sekali dengan ust. Adian Husaini 
yang tampil lepas, santai, dan berbekal referensi yang sangat banyak dan 
shahih.  Sementara ust. Adian Husaini tidak melepas pandangannya dari mata 
Rumadi, yang ditatap justru panik dan hilang kendali.  What a shame!
 
Tidak Ada Jaminan
Saya paling tidak suka kalau ada orang yang tebar klaim tanpa jaminan kebenaran 
sama sekali.  Prinsip husnuzhzhan tidak boleh dibuat rancu dengan prinsip check 
dan recheck.  Dahulu, Umar bin Khattab ra. pernah menerima kabar dari seseorang 
bahwa Rasulullah saw. telah menceraikan semua istrinya.  Tidak
puas dengan kabar itu, beliau pun langsung meminta konfirmasi dari
Rasulullah saw., dan akhirnya jelaslah bahwa kabar tersebut tidak benar.  Namun
orang yang sebelumnya memberi kabar itu adalah sahabat Rasulullah saw.
pula yang tidak diragukan kejujurannya, melainkan salah dengar atau
keliru paham saja.  Sementara sahabat Rasulullah
saw. yang diyakini kejujurannya pun kadang harus dicek kebenaran
ceritanya, apalagi jika yang bicara adalah orang tak dikenal atau sudah
dikenal fasik.
 
Di sebuah milis, saya merasa muak mendengar klaim bernada angkuh yang 
mengatakan “Dulu saya diancam karena mengkritisi Gus Dur”.  Pasalnya, klaim itu 
tak ada bukti sama sekali.  Orang itu tidak dikenal sejarahnya, dan bukan tokoh 
terkenal yang diketahui orang sepak-terjangnya.  Siapa saja bisa membuat 
pengakuan seperti itu, baik yang jujur atau yang sok heroik saja.  Ini adalah 
sebuah cara untuk menanamkan sugesti ke dalam akal orang-orang bodoh yang malas 
mengecek.  Dalam acara ngobrol, bolehlah bicara seperti itu.  Namun dalam 
sebuah diskusi ilmiah, yang seperti ini adalah cacat serius.
 
Hal yang sama terjadi juga dalam acara Debat-Debat kali ini, paling tidak tiga 
kali.  Pertama, ketika Zafrullah Pontoh berusaha menjelaskan beberapa poin 
‘keanehan’ Ahmadiyah.  Yang ini akan saya jelaskan pada bagian tersendiri 
nanti.  Kedua,
ketika Rumadi mengatakan (kurang lebih), “Saya sudah meneliti kasus
penodaan agama sejak tahun 1969-2005, dan saya berkesimpulan bahwa
rakyat tidak resah, tapi dibikin resah!”  Apa iya Rumadi sudah meneliti?  
Sejauh apa lingkup penelitiannya?  Bagaimana metodologi penelitiannya?  
Sementara
Abdul Moqsith Ghozali yang lebih punya nama saja disertasinya sangat
bermasalah dari segi metodologi dan kejujurannya ; bagaimana kita bisa
percaya pada penelitian seorang Rumadi?  Ketiga,
ketika seorang kakek tua yang mengaku berasal dari Bima mengatakan
(lagi-lagi kurang lebihnya, karena saya belum memiliki rekaman atau
transkrip acara ini), “Saya dulu paling keras sikapnya terhadap
Ahmadiyah!  Saya menghadapi mereka pake golok!”  Siapa yang bisa jamin kakek 
tua ini benar-benar seperti yang ia katakan?  Siapa yang bisa jamin ia 
benar-benar dari Bima?  Tidak ada bukti, dan karenanya, tak ada nilai ilmiah 
barang secuil pun.  Sebaliknya, ust. Adian Husaini menggunakan argumen-argumen 
yang semuanya didukung oleh literatur-literatur yang dibawanya serta.  Bisa 
dicek bersama-sama ; itulah ciri khas sebuah argumen yang ilmiah.
 
Masalah Aqidah
Dalam
sebuah sesi kuliah di Program Pascasarjana Pendidikan & Pemikiran
Islam di UIKA, saya sempat membawakan makalah tentang aliran Mu’tazilah
bersama beberapa rekan.  Dalam presentasi
tersebut, kami dikritisi karena makalahnya banyak bicara miring tentang
aliran tersebut, padahal peradaban Islam juga mengalami banyak kemajuan
ketika aliran Mu’tazilah berkuasa.  Kebetulan mata kuliahnya memang 
membicarakan tentang aliran-aliran aqidah yang pernah muncul di tengah-tengah 
umat Islam.
 
Di sini telah terjadi kerancuan topik pembicaraan.  Sejak awal dosen meminta 
kami mempresentasikan penelitian kami tentang aliran Mu’tazilah dan memberikan 
penilaian tentang aqidah-nya.  Dari segi aqidah, sulit sekali membela 
Mu’tazilah dan menyamakannya dengan ajaran Islam warisan Rasulullah saw. yang 
lurus.  Namun memang tidak menutup kemungkinan adanya Muslim beraliran 
Mu’tazilah yang dinilai baik dari segi sosial.  Kita
pun bisa menyebut si A dan si B yang beragama Katolik dan Budha sebagai
orang yang mampu bersosialisasi dengan baik, namun sebagai Muslim kita
tak mungkin membenarkan aqidah mereka..
 
Kakek tua yang saya sebutkan tadi juga mengalami kerancuan yang sama.  Ia 
bilang, dulu ia benci Ahmadiyah.  Namun
setelah banyak bergaul dengan mereka, ia sampai pada kesimpulan bahwa
orang-orang Ahmadiyah itu baik-baik, dan akhirnya berkesimpulan bahwa 
aqidah-nya pun benar, lalu akhirnya ia pun menjadi penganut Ahmadiyah.  Mungkin
besok-besok ia akan bertemu dengan seorang penyembah patung yang
‘baik’, lantas ia memutuskan untuk ikut menyembah patung.  Atau mungkin ia 
berjumpa seorang ateis yang ramah lalu ikut-ikutan ateis.
 
Semua Agama Menodai Agama Lain (?)
Rumadi mungkin akan menyesali pernyataannya yang mengatakan bahwa semua agama 
saling menodai.  Kristen menodai Yahudi, dan Islam menodai Kristen.  Hal ini 
menunjukkan betapa kotornya agama dalam imajinasi seorang Rumadi.  Tidak
ada ulama yang menyerukan penodaan terhadap agama lain, dan mungkin
baru Rumadi sajalah yang berpendapat bahwa Islam diturunkan sebagai
penodaan terhadap agama Kristen.  Pandangannya
mengingatkan saya pada Luthfi Assyaukanie – pembesar JIL lainnya – yang
sering mengutarakan pendapat-pendapat ‘miring’ terhadap agama ;
seolah-olah agamalah biang keladi peperangan dan pertumpahan darah di
muka bumi ini.
 
Islam adalah agama yang sangat solid dan tegas.  Keberadaan Yahudi dan Kristen 
tidak dianggap sebagai penoda Islam, karena keduanya tidak ‘membicarakan’ hal 
yang sama..  Tuhannya orang Islam, Yahudi dan Kristen adalah Allah SWT, namun 
yang dipertuhankan beda-beda.  Tuhan dalam konsepsi Islam bisa dijelaskan 
secara ringkas dengan ayat-ayat dalam surah Al-Ikhlash, misalnya.  Namun agama 
Yahudi dan Kristen memiliki konsepsinya sendiri-sendiri.  Semuanya menyebut 
nama ‘Tuhan’ dan ‘Allah’, namun yang dibicarakan beda.  Oleh
karena itu, apa yang disebut sebagai Yesus dalam agama Kristen tak
perlu dianggap sama dengan Nabi ‘Isa as. dalam agama Islam.  Sementara
umat Kristiani sendiri masih berdebat tentang sosok Yesus, Islam
memiliki konsepsi yang sangat tegas tentang Nabi ‘Isa as.  Jadi, umat Kristiani 
mau bicara apa saja tentang Yesus silakan saja, dan niscaya umat Islam takkan 
tersinggung..  Demikian
pula jika umat beragama lain mengatakan Tuhan memiliki anak, maka umat
Islam sudah maklum, karena yang dipertuhankannya memang beda.  Ada yang 
menyembah Allah, ada pula yang menyembah Thaghut.
 
Masalah
muncul ketika ada yang menyebut dirinya Islam (yang artinya ia
mengklaim telah bicara dalam tataran konsep Islam) namun menolak
konsep-konsep Islam yang telah baku.  Jika
si A mengatakan dirinya Muslim dan Tuhannya adalah kerbau, ini sama
saja dengan mengatakan bahwa Tuhannya orang Islam adalah kerbau.  Jika
si B menyebut dirinya Muslim dan Nabi suri tauladannya adalah pezina,
itu sama saja menyebut Nabi umat Islam sebagai pezina.  Bukankah posisi 
Ahmadiyah sebagai penoda agama Islam sudah sangat jelas?
 
Dua Sudut Pandang
Ada dua sudut pandang yang saya ingin garisbawahi dalam memandang
Ahmadiyah, dan sayangnya belum cukup penekanan mengenai masalah ini
sebelumnya.  Pertama, kita harus menyadari bahwa pada awalnya, Islam tidak 
memusuhi Ahmadiyah, namun Ahmadiyah-lah yang memusuhi Islam.  Dahulu, Ghulam 
Ahmad tampil dan bersumpah akan menulis 50 jilid buku untuk membela Islam dari 
serangan kaum misionaris di India.  Mendengar janji itu, umat Islam langsung 
menggalang dana besar-besaran untuk tujuan mulia tersebut.  Pada 
perkembangannya, hanya lima buku yang ditulisnya, dan itu pun tidak menolong 
umat Islam dari kristenisasi.  Sebaliknya,
sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh ust. Adian Husaini dalam buku
karya pembesar Ahmadiyah, mereka justru menganggap siapa pun yang tidak
beriman pada Ghulam Ahmad sebagai bukan Islam, bahkan musuh Islam.  Hal ini 
harus diperjelas agar terang siapa yang sejak awal telah menebar permusuhan.
 
Sudut pandang kedua,
lagi-lagi berkaitan dengan klaim kakek tua sebelumnya, adalah pandangan
bahwa Ahmadiyah adalah sebuah ajaran yang rusak dari sumbernya.  Ia tidak beda 
dengan Zionisme, Nazi, PKI, atau ideologi Machiavelli.  Ajaran Islam memang 
lurus, namun tidak semua Muslim berlaku lurus.  Di sini, masalahnya adalah pada 
pribadi penganutnya, bukan pada ajaran itu sendiri.  Sebaliknya, ajaran 
Machiavelli sudah rusak dari pangkalnya, sehingga ia dinyatakan sebagai ajaran 
kejam dan amoral.  Klaim
ini tidak berubah meskipun ada diantara pendukung paham Machiavelli
yang bersikap baik dalam kehidupannya sehari-hari (lagipula, sikap baik
bisa jadi sebuah tindakan strategis untuk menjamin keselamatan, semacam 
taqiyyah dalam ajaran Syi’ah).  Ahmadiyah adalah ajaran yang bermuara pada 
tokoh Ghulam Ahmad al-kadzdzab ; seorang lelaki yang gemar melaknat, menyebut 
Allah mirip gurita,
melaknat seorang ayah yang tak mau menerimanya menjadi menantu, dan
mengklaim dirinya lebih utama daripada para Nabi.  Jika rusak di pangkal, maka 
rusak pula keseluruhannya.
 
Berani Meralat ?
Zafrullah Pontoh benar-benar kena batunya.  Ia menebar klaim ini-itu tanpa 
bukti, namun akhirnya jadi senjata makan tuan.  Ia bilang, Ahmadiyah tidak 
menganggap umat Islam sesat, padahal ust. Adian Husaini menunjukkan bukti-bukti 
tertulisnya.  Ia
juga bilang bahwa laknat kepada lelaki yang enggan menjadikan Ghulam
Ahmad sebagai menantu itu telah dicabut lantaran ia tidak lagi memusuhi
Ahmadiyah, padahal laknat itu tertulis jelas dalam kitab Tadzkirah dan
tak pernah direvisi.  Terhadap semua klaim ini, ust. Adian Husaini mengajukan 
sebuah tantangan : beranikah JAI meralat buku-bukunya sendiri?  Kalau
memang Ahmadiyah tidak mengkafirkan umat Islam, beranikah mereka
menghapus kata-kata itu dari buku-bukunya, atau setidaknya memberikan
penjelasan sebagaimana yang dikatakan oleh Shamsir Ali?
 
Beranikah Ahmadiyah meralat kata-kata Ghulam Ahmad?
 
Identitas Kita Sebagai Muslim
Sebagai
penutup acara, Rumadi menegaskan pendiriannya sebagai seorang
sekularis-liberalis sejati yang sangat jauh dari ajaran Islam.  Ia
mengatakan bahwa dirinya tidak sepakat dengan Ahmadiyah secara
teologis, namun sebagai anak bangsa ia menginginkan solusi lain yang
lebih baik daripada SKB dan penyesatan.  Ia tutup kata-katanya dengan ucapan 
(kurang lebih), “Saya bukan Muslim yang tinggal di Indonesia, tapi orang 
Indonesia yang Muslim.”
 
Ini
adalah masalah identitas, yang sebenarnya lebih sederhana daripada
memperdebatkan masalah mana yang duluan : telur atau ayam?  Dari sekian banyak 
identitas yang kita miliki, manakah yang paling mengakar?  Apakah saya duluan 
menjadi mahasiswa ITB atau lebih dulu menjadi anak Mama dan Papa?  Apakah kita 
ini kader partai atau aktifis dakwah?  Ini adalah masalah identitas yang 
menunjukkan prioritas dan asal-muasal kita.
 
Sederhana saja.  Siapa yang paling duluan mengakui keberadaan kita?  Islam atau 
Republik Indonesia?  Republik ini baru menyadari eksistensi kita setelah orang 
tua kita mengurus akte kelahiran.  Tanpa record resmi semacam ini, negara tidak 
akan tahu siapa kita.  Sebaliknya, Allah dan Rasul-Nya dengan tegas mengatakan 
bahwa semua bayi yang lahir di muka bumi – dari rahim seorang Muslimah atau 
seorang kafir – adalah Muslim.  Jadi, Islam-lah yang paling duluan mengakui 
keberadaan kita, bahkan sebelum kita lahir.  Negara
tidak memberikan aturan macam-macam kepada ibu yang sedang hamil, Islam
justru mewajibkan ibu-ibu hamil untuk bersikap sebaik dan selembut
mungkin pada janin dalam kandungannya.  Oleh
karena itu, sikap Rumadi yang ‘malu-malu kucing’ untuk mengakui
identitasnya sebagai Muslim – yang sebenarnya adalah identitasnya yang
paling mengakar – dan mendahulukan identitasnya sebagai warga Indonesia
adalah sikap yang sangat mengherankan dan sangat tidak tahu terima
kasih.  Semoga Allah SWT mengampuninya.  Paling tidak, ia masih mengaku sebagai 
Muslim.
 
wassalaamu’alaikum wr. wb.


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke