Jawa Pos
[ Jum'at, 19 Juni 2009 ] 

Debat Antar Capres Kurang Menarik 


JAKARTA - Untuk sebuah tontonan, debat para capres yang tadi malam ditayangkan 
langsung tiga televisi swasta nasional kurang menarik alias membosankan. Selain 
penjelasan setiap capres terasa normatif, acara tersebut kurang mencerminkan 
debat. Acara itu lebih tepat disebut tanya jawab antara moderator yang 
dipercayakan kepada Rektor Universitas Paramadina Dr Anies Baswedan dan para 
kandidat.

Ketiga capres tadi malam datang di studio Trans7, Jl Tendean, Jakarta Selatan. 
Sesuai nomor urut, mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang 
Yudhoyono (SBY), dan Jusuf Kalla (JK). Mereka datang bersama anggota tim 
kampanye. Satu topik yang diangkat untuk menjadi bahan debat yang berlangsung 
90 menit tersebut adalah: Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan 
Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum dan HAM. 

Di bidang hukum, khususnya pemberantasan korupsi, debat itu tidak memunculkan 
optimisme. "Tidak terlihat harapan yang cerah dalam pemberantasan korupsi," 
kata Febri Diansyah, peneliti hukum Indonesian Corruption Watch (ICW). Hal itu 
tecermin dari tidak adanya terobosan jika pembahasan RUU Pengadilan Tipikor 
menemui jalan buntu. "Malah, ada calon yang mencampuradukkan UU Tipikor dengan 
UU Pengadilan Tipikor," sambungnya.

Dalam penilaian Febri, tidak ada satu capres pun yang menjelaskan adanya 
ancaman terhadap kinerja KPK jika pembahasan RUU Tipikor tidak kelar hingga 
Desember 2009. Begitu juga terkait masalah tindakan pencegahan, seperti pungli. 
"Mereka malah bicara masalah moral. Itu sangat mengambang," katanya.

Pendapat senada disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zainal Arifin 
Muchtar. "Semuanya tidak menawarkan hal baru sehingga menunjukkan mereka pantas 
dipilih," ujarnya. Kata dia, jawaban yang meluncur dari ketiga capres relatif 
sama dan normatif.

Pengamat politik Burhanudin Muhtadi menilai kualitas debat perdana yang 
dipertontonkan ketiga capres itu masih di bawah standar. Ketiganya, ungkap dia, 
lebih banyak bicara visi, tapi miskin agenda. ''Ketiga capres lebih banyak 
mengajukan list daftar keinginan. Tapi, kurang mengelaborasi aspek teknis dan 
langkah konkret untuk mencapai good governance,'' kata peneliti senior Lembaga 
Survei Indonesia (LSI) itu.

Burhan juga menyesalkan, pertanyaan mengenai anggaran TNI dan alutsista, serta 
lumpur Lapindo yang tidak optimal dijelaskan oleh Megawati. Padahal, kedua 
pertanyaan itu bisa menjadi pintu masuk bagi Megawati untuk menembak kelemahan 
pemerintahan SBY dalam menangani kasus-kasus tersebut.

''Sayang, Megawati gagal memanfaatkan kesempatan emas itu untuk menunjukkan 
dirinya punya solusi jitu,'' kata Burhan. JK juga hampir sama. Seharusnya, 
tambah Burhan, JK bisa lebih agresif menjelaskan posisinya untuk membedakan 
dengan SBY. ''Padahal, untuk pertanyaan soal alutsista dan Lapindo jelas posisi 
SBY sangat defensif dan normatif,'' kata lulusan The Australian National 
University (ANU) itu.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga Hariyadi punya penilaian berbeda. 
Menurut dia, di antara ketiga capres yang tampil, SBY memiliki konsep yang 
lebih baik. Misalnya, bagaimana dia menyampaikan perlunya reformasi birokrasi 
untuk menciptakan good governance. ''Ini poin tersendiri bagi SBY. Konsepnya 
lebih jelas, lebih komprehensif,'' katanya. 

Meski materinya lebih baik, Hariyadi mencatat, ada beberapa kekurangan dalam 
penampilan SBY. Di antaranya, bicaranya terlalu normatif sehingga pemaparan 
visi tidak begitu detail.

Berbeda halnya dengan Megawati, yang lebih menyentuh masalah-masalah di 
permukaan. Karena itu, konsep yang dia paparkan belum bisa diketahui secara 
jelas. ''Banyak yang artifisial atau semu. Misalnya, pengurusan KTP,'' ucapnya.

Begitu juga, Jusuf Kalla (JK). Dalam debat capres tersebut, posisi ketua umum 
Partai Golkar itu bisa dibilang paling sulit. Paparan vi­sinya kurang jelas. 
''Visinya tidak jelas. Bahkan, terkesan mbulet. Ha­nya, Pak JK lebih bagus pada 
pe­negakan HAM. Bagaimana dia berjanji akan menuntaskan permasalahan HAM,'' 
terang Hariyadi.

Menurut dia, dalam debat capres tadi malam seharusnya Mega dan JK tampil 
maksimal. Artinya, kedua­nya harus menyampaikan visi yang lebih baik daripada 
pemerintahan sekarang yang dikomando SBY. 

Namun, yang terjadi malah se­baliknya. Kedua capres itu justru lebih banyak 
bilang setuju de­ngan konsep yang dipaparkan SBY dalam debat tersebut.

Hariyadi menambahkan, jika harus memberikan nilai, dari pa­paran visi, SBY 
mendapatkan ni­lai terbaik dengan grade tiga. Sedangkan Megawati dan JK 
sama-sama mendapat nilai dua. ''Penilaian ini jika passing grade-nya 1 sampai 
3,'' ujar Hariyadi. (fal/pri/aga/fid/kum)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke