Debat Poligami Menjelang Kemerdekaan RI   
Senin, 18 Desember 2006 
Jika Al-Quran dipahami dari perspektif  gender equality yang bersemangat 
‘dendam’, maka munculah penafsiran ayat sesuai  ‘anggapan’ sendiri.' Baca 
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-174
 
Oleh: Adian Husaini 
 
Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf 
Wibisono, menulis sebuah buku berjudul “Monogami atau Poligami: Masalah 
Sepanjang Masa”. Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan 
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 
1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf 
Wibisono ini diterbitkan.
Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, 
tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 
1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, 
dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah 
dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas 
Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia 
tidak memiliki rumah pribadi.
Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman 
penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan 
memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya 
dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan 
Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian 
ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. 
Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa 
Inggris, Perancis, dan Jerman. 
Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni 
Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran ‘Suluh Indonesia 
Muda’  yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, 
poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka 
tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami. 
Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan 
Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini 
merupakan ‘jalan tengah’ dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan 
poligami atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam 
pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf  Wibisono menulis bahwa, 
“Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak 
bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam 
memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah 
penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul 
merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh 
diperlukan.’’
Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf 
Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku 
setebal 460 halaman, berjudul “La maitresse legimitime” . 
Anquetil menulis dalam bukunya: 
“Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan 
diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong 
poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh seorang pengaran dari buku 
Inggris : ‘’History and philosophy of marriege.’’ Bahkan, mereka yang hidup di 
bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau 
taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat ; baik mereka itu 
filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit 
seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti 
Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun 
negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau 
Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar 
ini ? Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, 
selalu berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun
 terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan 
kurang menghormati mereka yang hanya merupakan maitressenya… Sebenarnya ialah, 
bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hokum alam telah dilakukan 
pada setiap zaman karena hokum alam itu tetap saja, tetapi pikiran manusia 
dibuat demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-belit, sehingga 
bukannya ia memilih sistem yang semata-mata menguntungkan, akan tetapi justru 
memilih sistem yang penuh dengan dusta dan penipuan, yang membuat berputus 
asanya berjuta-juta wanita dan yang memaksanya hidup dalam kesedihan, 
kekacauan, atau dosa-dosa sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus 
hidupnya dalam kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan 
turunan-turunan yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan penuh 
kebencian, yang jumlahnya setiap harinya bertambah-tambah saja.” 
Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: “Poligami 
akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan 
keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem 
monogami.” 
Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang 
menulis: “In a great measure polygamy is much more a theoretical than a 
practical institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any 
case it is not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse 
of it that the evil lies.” (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga 
teoritis daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri 
bahkan lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam 
berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami). 
Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di 
berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum 
Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di 
Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 
bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di 
Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 --  dalam tahun 
1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih 
dari dua orang istri. 
Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah 
diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat 
genius yang sangat dikagumi di dunia internasional.
Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim 
tersebut: 
“Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena 
tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah 
dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena 
adanya propaganda – baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang 
tidak – yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar 
kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada 
anggapan-anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam 
suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat 
ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. 
Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang ‘’dus beradab’’ masih 
selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan 
nalar yang wajar (logika).
Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, 
sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta 
teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan 
etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan 
membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundang-undangan 
perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya. 
Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir 
ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan 
“persetujuan” pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan moral dan 
etika yang terang-terangan bernada “Kristen”, seperti yang lazim dianut di 
kalangan masyarakat Barat. Terlalu sering pula orang berusaha menyembunyikan 
ajaran-ajaran Islam yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan jalan 
“Umdeutung”, dengan menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, bahkan menghukum 
ajaran-ajaran itu sebagai bid’ah dan kufur. Itulah caranya mereka mencoba 
supaya Islam bisa diterima kaum muda yang meskipun berasal dari keluarga Islam, 
tapi karena pendidikan Barat dan simpati-simpati serta kecenderungannya yang 
ke-Barat-baratan menjadi terasing dari agama Islam. Selain dari pada itu, 
propaganda itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam. 
Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan 
menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan ‘’menyesuaikan’’ agama 
Islam dengan anggapan-anggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang 
umumnya bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan 
‘’keunggulannya’’ kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam – antara lain 
perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami – maka hilanglah pula tujuan 
tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, 
untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan 
kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan 
disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah 
yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan 
itu.’’
Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, 
saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, 
juga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam 
memahami Al-Quran adalah soal ‘anggapan-anggapan’ atau cara pandang serta 
metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif 
Marxisme dan gender equality yang bersemangat ‘dendam’ terhadap laki-laki, maka 
yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap 
laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan 
menafsirkannya sesuai dengan ‘anggapan’ nya sendiri. 
Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman 
menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si 
wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina 
karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak 
hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap 
tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan 
penghinaan.
Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki 
saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang 
ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan 
kepada suami.
Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya 
dalam konsep Islam,  akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda 
dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat 
suaminya sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik 
pribadinya. 
Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa 
menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami 
memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat. 
Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi 
juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan 
berlaku adil secara materi,  juga dituntut kemampuan menjaga seluruh 
keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada 
menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak. 
Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami 
adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. 
Islam mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak 
menutup jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. 
Tidak melarang poligami sama sekali, dan tidak membebaskannya sama sekali. 
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi 
korban. Sepanjang zaman,  banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri 
ke-2, ke-3  atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika,  pihak istana 
negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka lowongan bagi 
istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita 
dengan ikhlas akan antri mendaftar.
Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya 
untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang 
banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena 
takut terhadap istri. Wallahu a’lam. (Depok, 15 Desember 
2006/www.hidayatullah.com).
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio 
Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke