Manifestasi Ajaran Islam Saya kira penting untuk diketahui disini bahwa sejak semula kesulitan dalam menerima Islam adalah dimayoritasi oleh kepentingan para Penguasa yang secara langsung maupun tidak langsung dibatasi oleh ajaran Islam. Dari sisi moral tidak ada yang meragukan 'Al Amien' yang disandang Muhammad kecil,namun ketidak sukaan menyeruak saat Muhammad SAW menyampaikan ajaran Islam yang memang sebagian besar tidak mengakomodir kepentingan dan kekuasaan para penguasa,disamping hal-hal lain yang berhubungan dengan tradisi. Islam datang atas kehendak Allah dan pasti sudah disesuaikan dengan fitrah manusia,sehingga ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya juga bersesuaian dengan fitrah manusia dan makhluk ciptaan Allah yang lain. RUU Pornoaksi dan Pornografi yang dirintis dan dirumuskan para wakil rakyat di DPR merupakan ungkapan fitrah dari sebagian masyarakat dan rakyat Indonesia untuk menghindari sedini mungkin dari bahaya hancurnya generasi muda bangsa karena bebasnya unsur pornoaksi dan pornografi di Indonesia. Kemudian seperti yang sudah diperkirakan, RUU ini kemudian ditentang oleh berbagai organisasi dan elemen masyarakat karena dinilai melegimitasi ajaran tertentu dan sekaligus menghancurkan nilai budaya yang sudah ada. Selanjutnya, ya kita serahkan semuanya kepada sistem yang berlaku di negara kita. Yang jelas tentu kita sebagai bangsa yang bermoral tidak ingin bangsa kita menjadi hancur karena meng-ekor kepada peradaban 'western' yang sudah rusak. Ahmad
". Pradana Boy Ztf" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dekulturalisasi Islam IMPERIALISME budaya Barat yang terjadi di sebagian besar dunia Islam, sebagai anak kandung modernitas, telah mendapatkan respons yang beragam dari umat Islam. Sekadar mengambil satu contoh klasifikasi tipologis, respons itulah yang kemudian melahirkan kecenderungan sekularis, Islamis, dan tradisionalis dalam Islam (William Shepard, 2004). Kecenderungan sekularis menolak pandangan Islam sebagai the comprehensive way of life yang mencakup persoalan privat dan publik sekaligus. Sebaliknya, berlawanan secara diametral dengan kelompok sekularis, kelompok Islamis mempertahankan argumen kemenyeluruhan ajaran Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Sementara kelompok tradisionalis menjadikan perujukan pada nilai tradisi sebagai sikap utama yang juga dibarengi dengan sikap mengunci diri terhadap modernitas yang oleh kaum tradisionalis seringkali disejajarkan dengan Westernisasi. Sikap seperti ini, terlepas kita setuju atau tidak dengan klasifikasi di atas, juga benar adanya dalam konteks penyikapan terhadap budaya. Bahwa ketika persoalan dialektika Islam dan budaya diketengahkan, maka kecenderungan seperti tipologi di atas akan muncul. Sehingga dalam proses dialektika yang dialami Islam di tengah masyarakat, perdebatan tentang Islam dan budaya senantiasa tidak dapat dielakkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa tarik-menarik antarberbagai kelompok menyangkut pengesahan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang berlangsung belakangan ini, pada perspektif yang lebih luas, sebenarnya bisa dibaca sebagai sebuah ketegangan antara Islam dan budaya. RUU APP yang secara kasat mata bisa dilihat sebagai sangat Islami itu, menimbulkan problem tidak hanya pada sisi epistemologis, karena dibangun di atas nalar yang terlampau partikular, yang kemudian dipaksakan untuk berlaku pada komunitas yang majemuk, tetapi juga memicu menguatnya kembali tesis tentang kerasnya Islam ketika berhadapan dengan budaya. Tanpa bermaksud menyatakan bahwa pornografi dan pornoaksi adalah bagian dari budaya masyarakat Indonesia, ketegangan itu menjadi menarik dilihat dari perspektif budaya karena RUU APP tersebut tidak berpotensi mengatur, tetapi justru mengandung potensi pengalahan budaya satu konteks masyarakat oleh budaya mayoritas dalam hal ini adalah Islam. Tarik-menarik Islam dan budaya sebagai sebuah perdebatan akademis maupun fakta sosiologis, sama sekali bukan hal baru. Tetapi menguatnya kecenderungan untuk meminggirkan budaya dengan mengatasnamakan Islam, menjadi hal menarik dalam konteks perkembangan Islam di abad ke-21. Secara sosiologis, kecenderungan untuk meminggirkan dimensi budaya dengan dalih Islam bisa disebut sebagai dekulturalisasi Islam. Dekulturalisasi Islam mengandung pemahaman bahwa kebudayaan dipandang sebagai musuh bagi Islam murni. Gelombang seperti ini menguat seiring dengan menguatnya gerakan neo-fundamentalisme Islam di abad ke-21. Sebagaimana kesaksian Olivier Roy (2004), salah satu tujuan utama kelompok neo-fundamentalis adalah dekulturalisasi. Dengan doktrin ini, mereka berusaha membawa praktik Islam kepada elemen-elemennya yang paling murni dengan jalan mengesampingkan adat istiadat masyarakat dan memutus link antara Islam dengan berbagai konteks kulturalnya. Akibatnya, Islam kehilangan sense budaya dan tampil sebagai gugusan nilai yang lebih kelihatan Arabi, ketimbang Islami. Pada titik inilah, para pengusung dekulturalisasi Islam gagal memberikan distingsi antara Islam sebagai sebuah ajaran yang universal dengan konteks Arab sebagai budaya yang, tentu saja, sangat partikular. Identifikasi Arab dengan Islam ini memang tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, dalam konteks budaya yang di antaranya meliputi adat istiadat, bahasa, dan cara berpakaian, menjadikan Arab sebagai ukuran suatu budaya Islami atau tidak menjadi bersifat ahistoris. Di sisi lain, dalam konteks antropologi agama, misalnya, para pengamat menilai adanya keterkaitan erat antara agama dan budaya. Bassam Tibi (1990) bahkan meyakini agama mengandung komponen simbol sosiokultural yang menyampaikan konsepsi realitas. Sehingga ketika Islam lahir dan berkembang di dunia Arab, dengan sendirinya sistem simbol yang Arabi itu mendominasi praktik Islam. Konsekwensinya, ketika Islam bergerak ke arah masyarakat dengan budaya yang tidak sama, maka saling mempengaruhi antara Islam dan budaya lokal menjadi sulit dihindari. Sulit dibayangkan Islam akan mampu menembus belahan dunia Barat di Spanyol, misalnya, jika agama ini tidak melakukan akomodasi budaya terhadap masyarakat di mana Islam hadir sebagai nilai baru. Di samping itu, fakta bahwa pasca keruntuhan Imperium Turki Usmani yang menandai lahirnya Turki sekuler di bawah Mustafa Kemal Ataturk yang kemudian diiringi dengan proses de-Arabisasi dalam konteks budaya yang juga menyangkut bahasa dan terminologi, baik dalam konteks politik maupun agama, menunjukkan bahwa Islam bisa bertahan bahkan ketika dimensi kearabannya tak lagi kental. Demikian halnya dengan sejarah penyebaran Islam di Jawa. Dominasi ajaran Hindu Budha yang menempatkan budaya pada proporsi yang cukup besar dalam ajaran mereka, menjadikan para generasi awal pendakwah Islam di Jawa menggunakan strategi kebudayaan untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Tradisi wayang kulit adalah contoh populer yang sering dihadirkan. Dalam tradisi Jawa, konon wayang kulit juga sering disebut sebagai ringgit yang diderivasi dari ungkapan Sunan Giri sing nganggit (Sunan Giri yang menciptakan). Artinya, tradisi wayang kulit sebagai media dakwah yang lebih sering dilekatkan dengan sosok Sunan Kalijaga itu, sebenarnya tidak lepas dari proses kreatif sunan-sunan lainnya, yang itu juga bermakna bahwa proses penyebaran Islam tidak dengan sendirinya mematikan sensitivitas terhadap kebudayaan. Maka dengan sendirinya, dekulturalisasi Islam merupakan pengingkaran terhadap konteks kesejarahan Islam yang semacam ini. Karena satu alasan mendasar mengapa Islam mampu bertahan dan bahkan berkembang lebih dari empat belas abad lamanya adalah karena kelenturannya dalam melakukan adaptasi dengan kebudayaan. Menimbang konteks lahirnya Islam yang berasal dari tanah Arab, maka ketika berhubungan dengan konteks budaya lokal, seringkali lahir kategori the great tradition dan the little tradition. Islam yang berdimensi budaya Arab sering dipersepsi sebagai great tradition dan karena itu memiliki nilai kesahihan yang lebih tinggi, dibanding dengan Islam Jawa, misalnya, yang kemudian dikategorikan sebagai little tradition dan dengan sendirinya menjadi tidak lebih murni. Padahal baik the great tradition maupun the little tradition sama-sama berhak untuk disebut sebagai Islam yang sah. Maka dekulturalisasi Islam menjadi satu kecenderungan yang teramat mengkhawatirkan, karena dengan dalih agama, budaya kemudian tampil sebagai musuh yang absah untuk ditiadakan. Kecenderungan ini memang menjadi ciri khas gerakan Islam puritan, tetapi belakangan ini, fenomena dekulturalisasi Islam ini justru bisa dibaca sebagai praktik Islam yang berlawanan dengan apa yang tengah berlangsung di kalangan Islam puritan dan moderat, setidaknya dalam konteks Muhammadiyah dan NU. Praktik Islam murni yang dijalankan Muhammadiyah, misalnya, belakangan juga menuai kritik sebagai miskin budaya, terlampau kering dan culturally insensitive. Entah karena kritik itu atau tidak, Muhammadiyah kemudian mengubah orientasi gerakannya dengan lebih banyak memberikan sentuhan pada aspek budaya. Lahirnya konsep dakwah kultural, tidak bisa dilepaskan dari perdebatan ini. Dalam hal akomodasi budaya ini, NU bahkan jauh melampaui Muhammadiyah. Karena proses akulturasi ajaran Islam dan budaya sebagaimana yang disintesakan NU ternyata telah menjadikan NU lebih survive di kalangan masyarakat rural dibanding Muhammadiyah. Maka, menempatkan Islam vis-à-vis budaya sebagaimana yang dikehendaki melalui gerakan dekulturalisasi Islam tersebut hanya akan menjadi daftar panjang preseden buruk Islam, ketika agama ini lebih sering dihubungkan dan difahami sebagai kekerasan dan terorisme dan bukan sebagai agama yang ramah dan cinta kedamaian dalam berbagai implementasinya. *) Pradana Boy ZTF, presidium JIMM dan dosen FAI-UMM. Sedang menyelesaikan tesis di the Australian National University (ANU), Canberra, Australia. --------------------------------- Get your own web address for just $1.99/1st yr. We'll help. Yahoo! Small Business. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/