Refleksi : Makin banyak raja kecil, makin mudah kkn subur? http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=24550
2010-09-07 Desain Besar Penataan Daerah 2010-2025 Indonesia Jadi 44 Provinsi [JAKARTA] Kendati berulang kali menyatakan moratorium pemekaran daerah, diam-diam pemerintah telah memproyeksikan penambahan 11 provinsi dan 54 kabupaten/kota baru dalam rentang waktu 15 tahun ke depan. Dengan penambahan tersebut, Indonesia akan memiliki 44 provinsi dan 545 kabupaten/kota pada tahun 2025 nanti. Demikian yang tertuang dalam dokumen Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) berjudul "Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia Tahun 2010-2025" yang diterima SP di Jakarta, akhir pekan lalu. Desain itu akan dibahas bersama DPR setelah Lebaran untuk disetujui atau diperbarui. Dokumen setebal 70 halaman dan ditandatangani Mendagri Gamawan Fauzi pada 21 Juni 2010 itu menyebutkan, sejak diberlakukannya UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, yang kemu- dian diganti dengan UU 32/2004, aspirasi pemekaran daerah sedemikian deras mengalir dan sulit dibendung. Merespons hal itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di depan Sidang Paripurna DPR pada 3 Agustus 2009, menyatakan untuk memberlakukan kebijakan moratorium pemekaran, sebagai bagian dari evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Alasannya, untuk mencegah pemborosan dan penghamburan sumber dana negara secara tidak tepat. Sejak keran pemekaran daerah baru dibuka, sebanyak 205 daerah otonom baru (DOB) terbentuk hanya dalam waktu 10 tahun (1999-2009). Daerah itu meliputi 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian, total jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 524 daerah otonom, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota, tidak termasuk 6 daerah administratif di DKI Jakarta. Jumlah tersebut akan terus bertambah, karena usulan yang masuk melalui pintu Kemdagri dan DPR terus mengalir. Motivasi pembentukan daerah otonom baru adalah untuk pemerataan pembangunan, setidaknya, akan ada aliran dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), membuka peluang kerja sebagai PNS, memunculkan elite-elite baru yang akan duduk di DPR, serta meningkatkan eksistensi identitas lokal. Pada titik inilah, dalam banyak kasus, upaya pemekaran daerah menjadi arena bagi para pemburu rente (rent-seeker), maupun para petualangan politik yang mengejar kepentingan sendiri dan kepentingan jangka pendek. Beban APBN Ledakan pemekaran selama 1999-2010 menyebabkan lonjakan beban APBN yang luar biasa. Disebutkan, pada 2003, pemerintah pusat harus menyediakan DAU Rp 1,33 triliun bagi 22 DOB hasil pemekaran sepanjang tahun 2002. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada tahun 2004, di mana pemerintah harus mentransfer Rp 2,6 triliun alokasi DAU bagi 40 DOB. Sementara tahun 2010, pemerintah terpaksa mengucurkan Rp 47,9 triliun sebagai DAU untuk daerah pemekaran. Beban terhadap APBN makin bertambah, akibat lemahnya daya dukung keuangan sebagian besar DOB. Di beberapa daerah pemekaran, pemerintah pusat harus mengalokasikan DAK untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Karena itu, pemerintah membatasi ambisi pemekaran dengan hanya ada 8 daerah yang dimekarkan hingga 2025. Daerah tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat. "Untuk setiap daerah tersebut hanya diperbolehkan memekarkan satu provinsi baru. Kecuali untuk Papua, diperbolehkan mendapatkan empat provinsi baru. Untuk pemekaran kabupaten/kota yang baru itu, juga hanya bisa dilakukan di tujuh daerah saja. Untuk daerah Sumatera hanya akan ada 10 kabupaten/kota baru yang bisa mekar. Lalu untuk Jawa, hanya diperbolehkan tujuh. Kemudian Kalimantan hanya ada 10 kabupaten/kota baru yang terbentuk. Sulawesi hanya ada 11 kabupaten/kota. Di Bali dan Nusa Tenggara akan ada tiga kabupaten/kota yang terbentuk. Maluku ada empat kabupaten/kota yang mekar dari daerah induknya. Dan di daerah Papua, diperbolehkan sembilan kabupaten/kota. Pemerintah menyusun desain besar ini guna menjawab banyaknya daerah-daerah yang minta pemekaran. Saat ini di DPR terdapat 33 usulan calon daerah baru yang tengah diproses. Usulan tersebut, terbagi atas 10 provinsi, 21 kabupaten, dan 2 kota. Mendagri Gamawan Fauzi belum mau bicara banyak soal desain besar tersebut. "Saya belum bisa berkomentar karena belum ada pembahasan dengan DPR. Jika sudah mulai pembahasan, maka saya siap membuka ke publik," katanya kepada SP di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurutnya pembahasan bersama DPR baru akan dimulai 16 September mendatang. Karena itu, pihaknya baru akan bicara kepada publik terkait desain pemekaran pada saat tersebut. Menanggapi desain tersebut, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Ganjar Pranowo belum mau berkomentar soal kuantitas wilayah yang akan dimekarkan. Baginya yang terpenting adalah apakah memang perlu pemekaran atau cukup digabung saja, ataukah harus ada wilayah yang dilikuidasi. "Pemerintah tentu punya kajian dan alasan bahwa sampai 2025 nanti hanya ada 11 provinsi dan 54 kabupaten/kota yang dimekarkan. Tetapi saya memilih agar tiga hal ini harus disepakati dulu. Jangan-jangan setelah dipetakan tidak sampai angka itu atau sebaliknya malah lebih," kata Ganjar.Ia menambahkan, penetapan wilayah pemekaran harus berdasarkan kriteria dan penilaian yang objektif serta rasional. Selain itu status atas satu wilayah baru tidak bisa disamakan dengan di wilayah lain. Pemekaran wilayah harus mengedepankan pertimbangan karakteristik daerah. Dikaji Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menambahkan, Komisi II DPR harus melakukan kajian mendalam terhadap desain besar penataan daerah otonomi baru yang telah diserahkan pemerintah itu. "Harus ada pertimbangan menyeluruh dilihat dari berbagai persoalan dan dampak sosial-ekonomi, budaya, keamanan, serta kemampuan daerah terutama dari kemandirian anggaran," ujar Taufik. Menurutnya, semangat untuk memekarkan daerah otonomi baru, jangan hanya didasarkan pada keinginan atau usulan sejumlah pihak, tetapi harus dilakukan survei untuk mengukur respons masyarakat. "Jadi pemerintah pusat pun, tidak serta-merta menerima usulan pemekaran dan memprosesnya, tetapi harus melakukan survei dan kajian mendalam kepada masyarakat setempat dan mengukur potensi daerah," katanya. Hal itu, lanjut Taufik, didasari kenyataan bahwa sebagian besar daerah yang dimekarkan sejak 1999, ternyata menimbulkan berbagai persoalan sosial-politik dan juga kebergantungan pada anggaran dari pemerintah pusat."Banyak pemilihan kepala daerah yang bermasalah, banyak bupati yang terjerat kasus korupsi dan banyak daerah yang masih bergantung pada APBN karena pendapatan asli daerah tidak mencukupi. Ini harus betul-betul diperhatikan Komisi II," kata Taufik. Ketika ditanya mengenai rencana pemerintah untuk memekarkan sekitar 11 provinsi baru dan 54 kabupaten/kota selama periode 2010-2015, Taufik menilai dari angka sudah cukup memadai. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I Wayan Sudirta menilai desain besar yang dibuat pemerintah merupakan sesuatu yang positif. Dengan penetapan bahwa sampai 2025, hanya ada 11 provinsi dan 54 kota/kabupaten yang dimekarkan akan memberi kepastian dari segi hukum, anggaran, dan perencanaan. "Namun, penetapan harus benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat," ujarnya. Anggota DPD dari Provinsi Bali ini menegaskan pemekaran juga harus diikuti dengan pelimpahan status otonomi yang seluas-luasnya. Namun bukan berarti otonomi dalam bentuk negara federal. [R-14/L-8/J-11/J-9] [Non-text portions of this message have been removed]