http://www.antaranews.com/berita/1259587949/ekonomi-2010-masih-tidak-menentu

Ekonomi 2010 Masih Tidak Menentu
Senin, 30 November 2009 20:32 WIB | Ekonomi & Bisnis | Makro | 

Sri Adiningsih (ANTARA)Jakarta, 30/11 (ANTARA) - Para Pengamat Ekonomi yang 
melakukan rapat dengar pendapat umum dengan Badan Anggaran DPR RI mengatakan 
perekonomian pada 2010 masih belum menentu.

"Untuk itu kita berharap APBN 2010 lebih fleksibel sehingga kita bisa 
bermanuver," kata pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih di 
DPR, Senin.

Menurut dia, perekonomian pada 2010 masih akan bergejolak akibat dari faktor 
eksternal (dari luar Indonesia) dan faktor dari dalam negeri.

Ia mengatakan, gejolak dari faktor eksternal karena perbaikan ekonomi yang 
terjadi saat ini dinilai masih sangat rapuh, dan dapat berbalik arah menuju 
pemburukan ekonomi dengan cepat. 

Menurut dia, krisis keuangan bisa saja terjadi kembali, salah satunya dipicu 
oleh kasus gagal bayar Dubai World. Ia mengatakan, apabila dubai world tidak 
bisa diselesaikan segera maka akan berdampak terhadap perekonomian global.

"Kita juga akan terimbas oleh kasus ini, terutama aliran dana jangka pendek 
(hot money) yang bisa sewaktu-waktu keluar dan memukul rupiah," katanya.

Apabila rupiah terpukul, tentu saja akan membuat perekonomian Indonesia menjadi 
sulit, inflasi akan meningkat dan investasi yang didukung oleh barang modal 
impor akan tertekan.

Sementara itu faktor dalam negeri yang cukup menganggu saat ini adalah kasus 
seperti Bank Century. Menurut dia, apabila kasus tersebut berlarut-larut akan 
menguras energi dalam membangun di satu sisi.

"Di sisi lain juga semakin memicu ketegangan akibatnya resiko sosial politik 
meningkat dan pengaruhnya terhadap investasi terutama sektor infrastruktur. 
Momentum sudah hilang, 100 hari juga sudah hilang, jangan sampai tersandera 
lama. Khususnya dampaknya pada pembangun infratstruktur, karena di Indonesia 
banyak mengandalkan public private partnership (kerjasama pemerintah swasta), 
karena kalau tidak segera diselesaikan bagaimana kepastian hukum apalagi kalau 
suhu sosial politik meningkat," katanya.

Selain itu defisit APBN yang meningkat juga perlu diwaspadai terutama karena 
pembiayaannya berasal dari penerbitan surat berharga negara.

Ia mengatakan penerbitan surat berharga yang agresif telah memicu terjadinya 
perpindahan dana dari perbankan ke SBSN baik SUN maupun sukuk. Hal ini terutama 
karena imbal hasil SUN dan sukuk sangat tinggi.

Hal ini menurut dia, akan membuat suku bunga kredit perbankan di pasar juga 
sulit untuk turun. Apalagi menurut dia, ancaman meningkatnya imbal hasil SUN 
juga semakin menguat seiring dengan kondisi eksternal yang belum menentu.

"Saya merasa crowding out sudah terasa, itu mengakibatkan bunga bank tinggi di 
pasar, itu yang saya khawatirkan dampaknya bisa serius lagi karena penciptaan 
SUN akan memerlukan biaya yang lebih tinggi karena kondisi ekonomi dunia, 
sekarang inipun yieldnya masih 10 persen lebih tertinggi di ASEAN, kalau ini 
tidak diatasi menjadi beban APBN," katanya. 

Pengamat ekonomi TIB Hendri Saparini mengatakan, Indonesia pada 2010 lebih baik 
berhati-hati karena negara yang memiliki hubungan ekonomi dengan Indonesia 
seperti AS dan Jepang masih sangat labil.

"Walaupun AS dan Jepang sudah membaik tapi bukan janji kepada Indonesia untuk 
mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.

Kedua, menurut dia, Indonesia tidak siap menghadapi era keterbukaan yang lebih 
kompetitif saat ini. Meski Indonesia merupakan satu dari tiga negara di dunia 
yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif saat ini, namun kualitas 
pertumbuhannya tidak bisa diharapkan berbeda dengan China dan India.

"Potensi perbaikan perekonomian bukan kita, tapi China dan India karena 
memiliki `competitiveness` (daya saing). China akan `recover` (pulih) dengan 
`hard warenya` (perangkat kerasnya), India dengan software (perangkat 
lunaknya). Kalau Indonesia `no where` (tidak kemana-mana)," katanya.

Hal ini menurut dia, dibuktikan dengan pertumbuhan industri manufaktur dan 
pertumbuhan pertanian yang terus memburuk. "Kita tahu dua sektor yang utama 
yakni manufaktur dan pertanian, share (kontribusi) manufaktur 28 persen dari 
PDB dan pertanian 14 persen PDB, tapi pertumbuhannya mengalami penurunan terus 
hanya 1,3 persen dikuartal III. Artinya `competitiveness` (daya saing) 
Indonesia semakin menurun," katanya.

Di sisi lain, menurut dia pola pertumbuhan ekonomi justru semakin memperkuat 
terjadinya informalisasi, yaitu perpindahan tenaga kerja dari sektor formal ke 
informal.

"Itu artinya kualitas pertumbuhan ekonomi semakin turun, karena lebih banyak 
yang bekerja sektor informal jadi pembantu dan lainnya, artinya ekonomi kita 
tak kompetitif," katanya.

Ia menambahkan, penerimaan pendapatan dari pajak yang diperkirakan anjlok dari 
target Rp661 triliun menjadi Rp576 triliun pada 2009 akan menambah masalah 
defisit.

Ia juga mengkhawatirkan penerimaan 2010 yang ditargetkan Rp775 triliun tidak 
akan tercapai mengingat kondisi ekonomi dunia masih sangat rapuh. (*)

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke