MEDIA INDONESIA
Selasa, 09 Agustus 2005


Eksklusif, Inklusif, Pluralis
Novriantoni, aktivis Jaringan Islam Liberal, Jakarta


DAPATKAH corak-corak keberagamaan seseorang atau suatu masyarakat mengalami 
transformasi? Sepanjang corak keberagamaan dianggap proses sosial yang sangat 
terkait dengan upaya pencarian yang bersinambungan, kemungkinan itu 'sekecil 
apa pun ia' tetap ada.

Contoh nyata adalah pengalaman Gus Najib (bukan nama sebenarnya). Ia adalah 
putra kiai yang sudah mengalami transformasi corak keberagamaan dari yang 
eksklusif, inklusif, dan bahkan pluralis. Semua proses itu tidak pernah membuat 
imannya guncang, bahkan tak henti-henti ia syukuri.

Selama delapan tahun terakhir, Gus Najib berupaya mengajak orang lain mengecap 
pengalaman serupa. Ia aktif mengorganisasi dialog antarumat beragama dengan 
menghimpun beberapa santri pondok pesantren dan rekan-rekan dari Kristen. 
Semuanya digembleng dalam 'laboratorium' dialog antariman selama sebulan penuh.

Pada minggu pertama, setiap peserta masih angkuh dan tidak saling tegur sapa. 
Kepala mereka masih dihantui klaim-klaim sepihak dan stereotip tentang agama 
orang lain. Yang Islam datang dengan klaim kesesatan Kristen, begitu juga 
sebaliknya.

Pada minggu kedua, mereka sudah saling sapa, meski masih membatasi perbincangan 
pada soal yang umum-umum dalam hidup sehari-hari. Soal-soal teologi dan 
aspek-aspek yang unik dan spesifik pada agama masing-masing, masih terlampau 
sensitif untuk dijamah. Corak keberagamaan masing-masing masih tetap tertutup.

Minggu ketiga, mereka sudah menjuruskan perbincangan pada soal teologi. Yang 
Islam menggugat Trinitas, yang Kristen mengonfrontasi akidah Islam. Belum 
terjadi dialog mendalam tentang soal-soal yang esensial dan universal dari 
agama masing-masing. Tapi, perbincangan sudah cair dan terbuka. Corak 
keberagamaan mereka sudah mulai inklusif; mampu berdialog dan punya hasrat 
untuk saling kenal. Sungguh pun demikian, mereka masih enggan doa bersama, toh 
Tuhannya dianggap beda-beda.
    
Mereka baru dapat memahami keyakinan lainnya pada minggu keempat. Stigmatisasi 
dan stereotifikasi mulai berkurang, klaim kebenaran sepihak mengendur, bahkan 
mereka mampu menertawakan kekonyolan tiap-tiap mereka dalam memandang pihak 
lain. Sebelum 'laboratorium' percobaan ditutup, masing-masing sudah saling 
kenal pada yang lain, bahkan bisa bekerja sama tanpa beban psikologis apa-apa. 
Mereka mampu menjadi kaum pluralis dalam beragama.

Tapi ternoda atau tercampurkah keyakinan mereka satu dengan lainnya? Apakah 
mereka menjurus pada sinkretisme seperti yang dikhawatirkan kalangan eksklusif? 
Rupanya tidak! Yang santri tetap kukuh keyakinan, percaya diri untuk membuka 
keran dialog, lebih luas cakrawala pengetahuannya, dan tidak lagi gampang 
terhasut fanatisme beragama yang buta. Itulah fakta yang dituturkan Gus Najib, 
bukan klaim yang dibayangkan agamawan eksklusif.

Sudut-sudut yang manusiawi dari keberagamaan tidak lagi membuat mereka 
terkotak-kotak. Mereka sudah menjadi penganut agama yang pluralis dan 
esensialis, dan tidak mau lagi dipusingkan perbedaan-perbedaan. Standar nilai 
bersama yang mereka pegang erat adalah kemanusiaan dan kebajikan hidup. Selagi 
masih sesama manusia dan tidak saling menyakiti, perbedaan-perbedaan primordial 
tidak akan menghalangi mereka untuk kerja sama.

Mereka sadar, selagi masih manusia, kebenaran yang mereka raih tak lebih dari 
kebenaran yang relatif, betapa pun ia ditangkap dari pesan-pesan sakral Yang 
Absolut. Karena itu, perbedaan-perbedaan teologis sekalipun tidak lagi mereka 
pandang esensial. Semua mereka pasrahkan peradilannya pada Tuhan nanti, bukan 
mahkamah manusia kini.

Tapi, tidak gampang sampai pada corak inklusif bahkan pluralis dalam beragama, 
seperti yang dialami Gus Najib di Malang atau Gus Dur di Ciganjur. 
Hambatan-hambatan teologis, psikologis, dan sosiologis, atau bahkan politis 
harus dilewati terlebih dahulu.

Proses sosialisasi agama yang tertanam sejak dini merupakan rintangan pertama. 
Masing-masing penganut agama, sudah sejak dini 'menyantap' agama dengan 
cara-cara dan doktrin-doktrin yang eksklusif. Bentuk sosialisasi seperti itu 
sangat menentukan corak keberagamaan yang dianut dan dipraktikkan seseorang 
atau suatu masyarakat di kemudian hari.

Semua agama diajarkan dengan pola-pola eksklusif. Para rabi mewejangkan 
superioritas Yahudi pada para pengikutnya, bahkan mengklaim diri sebagai bangsa 
terpilih. Umat Kristen dijejalkan dengan klaim umat Tuhan yang terkasih. Umat 
Islam sejak awal sudah diingatkan kalau mereka umat terbaik (khaira ummah).

Di internal agama-agama, kelompok yang selamat dan yang tersesat juga sudah 
diindoktrinasikan sejak awal. Hampir semua pondok pesantren masih mewejangkan 
aliran-aliran sesat dalam Islam. Pengajaran kristologi masih penuh cerca dan 
maki. Semuanya disajikan sepihak dan tidak diajarkan sebagai ilmu, tapi sebagai 
ideologi. Semua itulah yang membentuk mindset para santri dalam menyikapi pihak 
lain.

Untungnya, para santri tidak selamanya di pesantren. Setelah keluar, mereka 
menemukan fakta-fakta keragaman yang tak terbantahkan. Ada banyak aliran dan 
agama-agama yang berkembang dalam masyarakat. Fakta itu membuka celah untuk 
merefleksi ulang corak keberagamaannya. Jika tidak berhenti dalam proses 
penghayatan agama dan tidak abai akan fakta-fakta sosial, mereka mungkin 
bertransformasi dari corak eksklusif menuju inklusif. Tapi bila berhenti, 
mereka akan tetap eksklusif bahkan bisa terjerembab dalam corak keberagamaan 
yang pemberang (al-tadayyun al-gh'dlib).

Proses pergaulan sosial yang terbuka dan sikap proaktif untuk berdialog sangat 
membantu sikap yang inklusif dalam beragama. Pada corak yang inklusif, 
masing-masing tetap merasa paling benar, tapi tidak lagi mencerca dan menghina 
pihak lain. Jargonnya memang masih terbatas: keyakinan saya 'pasti benar', 
keyakinan mereka 'kemungkinan (hanya mungkin) benar'.

Namun begitu, corak inklusif sudah cukup baik untuk membangun tatanan sosial 
yang sehat, karena pemahaman atas pihak lain masih dimungkinkan. Hanya saja, 
proses kerja sama mereka sulit terbangun sebelum bertolak pada corak yang 
pluralis.

Corak pluralis muncul setelah proses perjumpaan antaragama yang intern, nyaris 
tanpa jarak, dan sudah mampu menghilangkan hambatan-hambatan psikologis dan 
teologis dalam bergaul. Tak ada lagi polarisasi 'wilayah teologis' yang 
dianggap tak dapat disentuh dan 'wilayah sosiologis' yang bisa ditoleransi. 
Corak pluralis muncul ketika mereka sampai pada esensi agama, yaitu berbuat 
baik untuk kemanusiaan. Dalam kerangka itu, mereka dapat bahu-membahu menebar 
kebajikan.

Titik-titik perbedaan tetap disadari, tapi tak lagi menjadi rintangan untuk 
bekerja sama. Nilai-nilai kerukunan, kejujuran, cinta kasih antarsesama, dan 
pengabdian untuk kemanusiaan, menjadi common denominator kaum pluralis. Tuduhan 
cairnya keyakinan dan lembeknya militansi yang sering dilemparkan tidak lagi 
membebani mental mereka.

Sesama pluralis juga tidak lagi canggung untuk saling kritik. Mereka juga tidak 
tergoda untuk menonjol-nonjolkan superioritas agama masing-masing. Mereka telah 
sampai pada pemahaman perenialis tentang agama. Agama-agama bagi mereka tak 
lebih instrumen, sementara kebajikan hidup adalah esensinya.

Kaum pluralis berkeyakinan, apa yang dinilai Tuhan di akhirat nanti adalah 
sebajik apa kita berbuat di bumi kini. Semua itu lepas dari keyakinan agama apa 
kita berangkat. Kalau mengambil rujukan Alquran, mereka mengamalkan anjuran 
surah al-Isra: 84, Tiap-tiap orang berbuat dengan cara masing-masing. Soal 
siapa yang terbimbing dan siapa yang tersesat, hanya Tuhan yang Mahatahu.***

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hiuv9pe/M=320369.6903865.7846595.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123557001/A=2896110/R=0/SIG=1107idj9u/*http://www.thanksandgiving.com
">Help save the life of a child. Support St. Jude Children¿s Research 
Hospital</a>.</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke