RIAU POS

      Sabtu, 09 September 2006 

      "Esbeyenomic" dan Agrikultu


     
      ADA yang optimistik, ada yang ragu. Juru bicara presiden Andi 
Mallarangeng dan ekonom UI Chatib Basri, yang juga staf ahli Menteri Keuangan 
termasuk yang pertama. Tren perbaikan ekonomi sudah kelihatan. Tapi levelnya 
belum memuaskan. Begitu komentar keduanya di media massa. Artinya sudah 
berjalan di jalur yang benar, dan ke depan menumbuhkan harapan. 

      Efendi Ghazali, pakar komunikasi dari UI dan mantan ''arsitek Republik 
BBM'' di Indosiar itu pun gembira mendengar pidato kenegaraan Presiden RI 
Susilo ''SBY'' Bambang Yudhoyono sekaligus pengantar APBN 2007 di depan pleno 
DPR pada 16 Agustus lalu. ''Pidatonya mantap, dan seolah-olah kita tak lagi 
melihat adanya warga yang antre minyak tanah dan persawahan yang mengering,'' 
kata Efendi, tertawa. Rada memuji, tapi menyindir.

      Ekonom, Faisal Basri, teringat tema kampanye SBY dalam Pemilu 2004 lalu 
yang memerlukan revitalisasi pertanian, pengembangan UKM, pembukaan lapangan 
kerja untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan serta mengalirnya investasi 
asing. Hanya Faisal belum melihat penjabarannya. Bahkan ia pesismis jika 
tingkat pertumbuhan masih di bawah 6 persen, akan sedikit sekali membuka 
lapangan kerja. Ia juga mengkritik program subsidi Tunai Langsung (SLT) yang 
bak memberi ikan, dan bukan mata kail. Dunia usaha juga idemdito. Walau SBI 
menurun sampai 8,5 persen tapi jika perbankan tak mengikutinya dengan penurunan 
suku bunga kredit, maka tetap saja tak menggerakkan sektor ril. Dunia usaha 
malah terus disedot terbukti 70 persen dari pendapatan negara sebesar Rp 713,4 
triliun bersumber dari pajak dunia usaha. 

      Mestinya harus dibarengi dengan perbaikan regulasi serta insentif. ''Jika 
tidak sama saja dengan bohong,'' kata Ketua Kadin MS Hidayat. Saya sendiri 
teringat disertasi SBY saat meraih gelar doktor di IPB Bogor yang bertajuk 
''Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan 
Penganguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal'' sebelum ia dilantik 
menjadi Presiden. Nampaknya pidato SBY tentang APBN banyak diwarnai oleh 
disertasi tersebut. Pertama, SBY serius mengatasi kemiskinan dan pengangguran, 
yang sebetulnya diakibatkan oleh krisis moneter pada 1997-1998 lalu. Apalagi 
sebelumnya IMF telah menggiring Indonesia melaksanakan kebijakan anggaran ketat 
yang sangat mementingkan stabilitas ekonomi makro. Inilah yang menyebabkan PHK 
di perkotaan dan kemiskinan di pedesaan.

      Kedua, untuk itulah pemerintahan SBY memacu pembangunan di sektor 
pertanian dan pedesaan. Syahdan, dalam smester II/2006 dan dilanjutkan dengan 
2007, dimulai dengan pembangunan infrastruktur, dan diharapkan akan membuka 
lapangan kerja dan perlahan mengatasi kemiskinan. SBY melihat bahwa 
penanggulangan kemiskinan dan pengangguran tak bisa diserahkan begitu saja 
kepada mekanisme pasar. Seperti teori ekonomi makro ala Keynes, harus melalui 
kebijakan fiskal yang mewajibkan pemerintah turun tangan mengatasinya, seperti 
amanat pasal 34 dan 27 ayat 2 UUD 1945. Repotnya, tim ekonomi SBY adalah 
penganut ekonomi neoliberal. Racikan kimiawi yang unik, memang. Di sisi lain, 
pemberantasan korupsi diintesifkan, untuk mengurangi kebocoran dan pemborosan 
anggaran demi mendukung program mengatasi kemiskinan dan pengangguran.

      Membalik Sejarah
      SANGAT penting pula melihat bahwa penduduk desa tak bisa terus-terusan 
bergantung kepada pembangunan infrastruktur. Meski proyek ini penting, yang 
banyak untung adalah pengusaha pelaksana proyek. Syukur mutunya bagus dan tak 
anjlok setelah dipakai. Soal lain, penduduk desa bukan buruh, sejatinya mereka 
adalah petani dan pekebun. Selama ini, hasil kerja mereka, gabah padi, kebun 
sawit, karet dan sebagainya dibeli pengusaha dengan murah tapi dijual dengan 
mahal ke pasar. Yang bertani dan berkebun adalah orang desa, tetapi yang meraih 
untung para pengusaha. Yang duduk di berbagai asosiasi kopi, karet, lada, 
termasuk Kadin dan sebagainya adalah pengusaha yang selalu bermotif membeli 
semurah-murahnya tapi menjual semahal-mahalnya.

      Padahal petani dan pekebun itu luar biasa. Mereka bertani setahun dan 
rela menunggu hanya dua kali panen. Pekebun karet bertanam dan baru tujuh tahun 
bisa memanen hasilnya. Mana ada pengusaha yang mampu seperti itu. Itulah 
hebatnya agrikultur. Bertani dan berkebun sudah menjadi budaya, sedang kultur 
pengusaha adalah bisnis dan untung. Petani dan pekebun itu sebetulnya hebat. 
Cukai rokok yang berbasis petani tembakau dan cengkeh mencapai Rp24,7 triliun, 
jauh lebih besar dari dividen sebuah PTP pada 2002 lalu. Tapi yang kaya tetap 
saja pengusaha rokok. Tak ayal, petani dan pekebun adalah entreprenuer sejati. 
Mereka bekerja dan orang lain mengeruk untung.

      Kita ingat lagi pidato pembukaan IPB pada 1952 oleh Presiden Soekarno 
yang berjudul ''Soal Hidup atau Mati.'' Bung karno mengutip Presiden AS Abraham 
Lincoln pada 1858 yang memprimadonakan petani. Terbukti pada 1862, Lincoln 
mengeluarkan Homestead Act, di mana tanah negara dengan ukuran 65 hektare 
perkapling dijual dengan harga murah kepada petani. Ini yang membuat petani AS 
hebat. Sebaliknya, Indonesia hanya melanjutkan Agrarische Wet ala Belanda 1870 
yang memberikan tanah kepada pengusaha swasta, dan inilah yang melalui HGU 
dilanjutkan oleh pemerintah RI. Petani di AS kini hanya berjumlah 2 persen akan 
tetapi kepemilikan lahannya antara 190-200 hektare per KK. Bahkan, Jimmy Carter 
adalah mantan petani kacang yang kaya raya.

      Saya kira pemerintahan SBY harus berani membalik sejarah. Tanpa itu, 
petani dan pekebun Indonesia akan tetap miskin seperti di zaman Belanda. 
Perguruan Tinggi pertanian dengan seluruh risetnya harus berorientasi kepada 
petani dan pekebun, seperti imbauan Soekarno saat meresmikan IPB. Bukan kepada 
pengusaha. Petani dan pekebun dipersatukan dalam berbagai asoasiasi, pendidikan 
dan trading house. Juga ditopang oleh Bank Pertanian. Soalnya kultur bank umum 
dan bank pertanian itu beda. Tak heran jika di Belanda ada Rabo Bank milik 
koperasi petani. Juga di Thailand dan Prancis. Anehnya kita punya Bursa 
Berjangka di Jakarta dan Surabaya yang memperdagangkan komoditas. Tapi yang 
bermain justru pengusaha, dan bukan petani dan pekebun.

      Kita hanya mewarisi pemerintah kolonial Belanda yang semula sukses dengan 
VOC, lalu bubar karena korupsi. Belanda kemudian memberi peluang kepada 
perusahaan swasta, yang kemudian menjadi PNP, dan lalu PTP. Padahal, di Inggris 
dan AS tak ada perkebunan besar milik pemerintah atas nama BUMN. Yang ada 
adalah milik petani dan pekebun, atau asosiasi mereka. Artinya, secara perlahan 
BUMN perkebunan haruslah diprivatisasi, tetapi tidak dilego kepada investor 
asing. Melainkan kepada asosiasi petani dan pekebun. Petani dan pekebun mampu 
membelinya, jika dilihat dari lahan mereka, dan apalagi ditopang kredit bank. 
BUMN pun apakah punya duit? Bukankah duit mereka milik negara yang berasal dari 
keringat rakyat dan pajak?***

      Bersihar Lubis, pemerhati ekonomi  
      tinggal di Jakarta. 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke