http://www.republika.co.id/berita/101963/etika_berdebat

Etika Berdebat
Jumat, 22 Januari 2010, 13:27 WIB
Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA
Dalam bahasa Arab, perdebatan dikenal dengan istilah al-mujadalah. Kata al 
mujadalah seakar dengan kata al-jidal yang artinya perdebatan sengit. Pendapat 
lain mengartikannya dengan tali yang terikat kokoh. Dari sini, kata al-jidal 
mengandung arti debat yang dilakukan dengan cara yang baik dan didasari dalil 
yang kuat dan benar.
 
Firman Allah SWT, ''Dan, ajaklah mereka berdebat dengan cara yang baik.'' (QS 
Annahl [16]: 125). Mengomentari ayat ini, Wahbah Zuhaili menunjukkan perlunya 
berdebat dengan berkata lemah lembut, berhati bersih, dan berupaya menghindari 
kata-kata yang bernada menghina atau mencerca.

Pendapat senada diutarakan oleh Ali Jaritsah dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa 
Al-Munazarah (Etika Dialog dan Berdiskusi). Ia memaparkan kiat-kiat untuk 
menciptakan nuansa diskusi yang baik. Pertama, dilakukan dengan tertib. Kedua, 
pembicaraan disampaikan dengan bahasa yang tidak bertele-tele. Ketiga, 
menghindari pembicaraan di luar konteks. 

Tertib artinya tidak tergesa-gesa dalam berpendapat. Sebuah masalah dipahami 
dahulu dengan cermat dan matang. Setelah dirasakan matang, peserta diskusi 
boleh menyampaikan pendapat dengan mengajukan gagasan yang aktual. 

Demikian pula peserta yang bertanya. Hendaknya, ia mengajukan pertanyaan dengan 
terlebih dahulu melakukan penyaringan informasi yang akurat. Pertanyaannya pun 
harus disampaikan dengan kata-kata sopan yang tidak menyinggung dan menyudutkan 
orang lain. 

Dengan cara-cara demikian, perdebatan akan terhindar dari pembicaraan yang 
bertele-tele atau gugatan yang bernada cercaan dan mengundang kemarahan. 
"Bukanlah orang beriman, yang suka mencerca, melaknat, berbicara kotor, dan 
menyakiti," sabda Nabi SAW.

Namun, amat disayangkan, kita masih menjumpai orang yang belum menjunjung 
tinggi etika berdebat dalam musyawarah. Untaian kata-kata kotor dan tidak 
pantas sering diucapkan oleh mereka yang seharusnya memberikan keteladanan. 
Ironisnya, kata-kata kotor itu justru keluar saat mereka hendak memutuskan 
kebijakan mulia untuk memenuhi hajat umat. 

Entah bagaimana jadinya nasib bangsa ini ke depan jika nilai-nilai luhur dan 
kepribadian bangsa dicabik oleh anak bangsa sendiri. Dalam situasi negeri yang 
carut-marut karena krisis multidimensi ini, kita membutuhkan ketenangan dan 
solusi arif bagi aneka persoalan yang melilit. Maka, sudah sepatutnya segenap 
kaum elite menjunjung tinggi etika. Yang utama adalah sikap jujur, bertanggung 
jawab, amanah, dan santun dalam berbicara agar tidak memancing kemarahan umat.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke