_____  

From: Gita Gustina R [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Monday, November 27, 2006 10:09 AM
To: Toilet-Didi (E-mail); CW-Dewi (E-mail); Toilet (E-mail); CW-Ami
(E-mail)
Subject: ~*~Toilet_Rumpi~*~ Nasionalisasi Migas ala Bolivia

 

 

tambahan pengetahuan 
Nasionalisasi Migas ala Bolivia 

M Amien Rais 

Evo Morales (46) memenangi pemilihan presiden atau pilpres Bolivia pada
Desember 2005 dan dilantik Januari 2006. 
Ia adalah penduduk asli Bolivia dari suku Indian Aymara, yang dalam
kampanyenya menekankan perlunya pemilikan kembali rakyat Bolivia atas
sumber daya alam, khususnya hydrocarbon (migas) yang selama itu dikuasai
korporasi asing. 

Cadangan gas alam Bolivia ditaksir lebih dari 50 triliun kaki kubik
dengan nilai lebih dari 70 miliar dollar AS, sementara penduduknya
sekitar sembilan juta. Belum lagi kekayaan alam seperti minyak,
barang-barang mineral, dan kekayaan hutan. Morales menyatakan dirinya
tidak gila jika bercita-cita memakmurkan rakyat Bolivia sejajar rakyat
Swedia. 

Selama berkampanye, Morales berjanji sumber daya alam tidak dapat
diprivatisasi, tidak boleh dikuasai korporasi asing, dan harus dilakukan
renegosiasi (negosiasi ulang) atas seluruh kontrak karya pertambangan.
Evo juga setuju bila perlu melakukan nasionalisasi tanpa konfiskasi,
nasionalisasi tanpa ekspropriasi, alias negosiasi tanpa perampokan.
Dengan kata lain, akan ada kompensasi (ganti rugi) terhadap korporasi
asing bila Bolivia terpaksa melakukan nasionalisasi. 

Di Bolivia ada 20-an korporasi asing bergerak di pertambangan migas,
antara lain Repsol YPF (Spanyol), Petrobras (Brasil), Total (Perancis),
Exxon (Amerika), British Gas (Inggris), dan Royal Dutch Shell (Belanda).


Mereka mencoba menakut-nakuti Morales dengan gertak sambal. Katanya,
Bolivia dapat dibawa ke arbitrase internasional dan rugi miliaran dollar
AS karena berani mengotak-atik, bahkan menuntut negosiasi ulang berbagai
kontrak karya dan bagi hasil yang telah ditandatangani. 

Akan tetapi, Morales bukan Si Peragu seperti dua presiden sebelumnya,
Gonzalo Sanches de Lozada dan Carlos Mesa yang diusir rakyatnya karena
menempatkan diri sebagai pembela kepentingan korporasi asing, bukan
kepentingan rakyat Bolivia. 

Morales membangun axis of good atau poros kebaikan terdiri dari Bolivia,
Venezuela, dan Kuba, untuk menyindir axis of evil atau poros kejahatan
yang kata George Bush terdiri dari Korea Utara, Iran, dan Irak. Dalam
wawancara dengan Der Spiegel, Morales mengatakan, reserve moral yang ia
miliki terdiri dari trilogi sederhana: jangan mencuri, jangan bohong,
dan jangan malas (do not steal, do not lie, and do not be idle). 

Korporasi asing tunduk 
Setelah lima bulan menjadi Presiden Bolivia, Morales melaksanakan
janjinya. Tanggal 1 Mei 2006 tentara Bolivia menduduki 56 ladang gas dan
minyak serta instalasi penyulingan di seluruh negeri. Dekrit Presiden
Nomor 28701 tentang nasionalisasi industri migas diterbitkan. Rakyat
Bolivia lega, Presiden memenuhi janji. 

Dalam dekrit itu, antara lain ditegaskan, cadangan minyak dan gas
Bolivia dinasionalisasi; 51 persen saham pemerintah yang pernah
diprivatisasi di lima perusahaan migas pada tahun 1990 diambil kembali;
seluruh perusahaan migas asing harus menyetujui kontrak baru yang
ditentukan Yaciementos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB),
perusahaan negara milik Bolivia dalam tempo 180 hari; gabungan pajak dan
royalti yang diserahkan perusahaan gas asing yang memproduksi lebih dari
100 juta kaki kubik dinaikkan menjadi 82 persen dari sebelumnya yang
hanya 50 persen dan mula- mula hanya 30 persen; Pemerintah Bolivia
melakukan audit investasi dan keuntungan semua perusahaan migas asing di
Bolivia untuk menentukan pajak, jumlah royalti dan ketentuan operasi di
masa depan; dan tak kalah penting, migas hanya boleh diekspor setelah
kebutuhan domestik Bolivia dipenuhi. Jika tidak setuju isi dekrit,
perusahaan asing itu dipersilakan meninggalkan Bolivia. 

Apa yang terjadi? Sehari sebelum tenggat, 29 Oktober 2006, semua
korporasi besar yang beroperasi di Bolivia memilih tetap di Bolivia,
tunduk kepada kemauan pemerintah, yang hakikatnya kemauan rakyat
Bolivia. 

Evo Morales, seperti Hugo Chavez, Presiden Venezuela sebelumnya,
membuktikan kekeliruan brain washing, menuntut renegosiasi kontrak karya
yang merugikan rakyat mustahil dilakukan bila sudah ditandatangani. 

Keuntungan Bolivia 
Chavez dan Morales mampu menerobos kendala mental, moral, politik, dan
ekonomi yang sengaja dipasang berbagai korporasi asing. Menurut Morales,
berkat negosiasi ulang, Bolivia meraup satu miliar dollar AS, dan empat
miliar dollar AS per tahun pada tahun-tahun berikutnya. Belum lagi jika
renegosiasi kontrak nonmigas dan sumber-sumber non- renewable lain juga
berhasil. 

Mengingat jumlah rakyat Bolivia hanya seperduapuluhdua rakyat Indonesia,
perolehan Bolivia seperti jika Indonesia mendapat 88 miliar dollar AS
per tahun. Rakyat Bolivia tentu lebih bahagia dibanding rakyat Banglades
yang salah satu putra terbaiknya meraih Nobel Perdamaian. Dan tentu
lebih berbahagia dibanding rakyat Indonesia yang diberi tahu para
pemimpinnya bahwa kontrak karya migas dan nonmigas dengan korporasi
asing tidak bisa diubah. 

Mengapa? Katanya, jika menuntut negosiasi ulang, apalagi nasionalisasi
industri migas dan pertambangan, Indonesia bisa dikucilkan masyarakat
internasional. Katanya, investasi asing emoh masuk Indonesia. Selain
itu, ada adagium pacta sunt servanda, sekali kontrak ditandatangani,
perlu dihormati "kesuciannya", meski menempatkan Indonesia for sale,
dijual untuk umum. 

Kita tidak perlu galak dan terlalu keras seperti Bolivia dan Venezuela
menghadapi korporasi asing. Cukup dengan ketegasan, kemandirian, dan
komitmen kebangsaan. Kita dapat melindungi dan menomorsatukan
kepentingan bangsa di atas kepentingan korporasi asing. Mereka adalah
mitra, bukan majikan kita. Namun, kepemimpinan nasional yang ada harus
lebih visioner, lebih tegas, dan lebih berani. Kita sudah terlalu lama
jadi bangsa miskin di tengah sumber daya alam melimpah. 

Andaikata pemerintah, DPR, dan berbagai kekuatan masyarakat bersatu
menjadikan korporasi pertambangan asing sebagai mitra, negeri ini tidak
perlu menjadi bangsa musafir yang tiap tahun bingung mencari utang luar
negeri baru. Sementara itu kekayaan sendiri disodorkan untuk penjarahan
asing. 

Jika direnungkan, Exxon dan Freeport McMoran, misalnya, keduanya bukan
seperti a state with in a state, tetapi sudah a state above a state.
Ingat, di Indonesia ada lusinan korporasi asing yang terus menyedot
kekayaan migas dan nonmigas bangsa Indonesia. Sampai sekarang! 

M Amien Rais Guru Besar Fisipol UGM, Yogyakarta 

_ 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke