Orang Amerika banyak yang terlena dengan cerita yang dibesar-besarkan
dalam Holocaust. Orang Eropa merasa bersalah atas terjadinya Holocaust.
Oleh karena itu mereka membabi buta membela Israel.



Minggu, 11 Januari 2009 – Jawa Pos

Kebohongan di Dalam Buku 
Sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir Herman dan Roma Radzicky Rosenblat
hidup bak selebriti. Entah berapa puluh wartawan media cetak dan elektronik
mewawancarai pasangan Yahudi lanjut usia itu dan menayangkan hasil
wawancaranya. Semua orang terpesona pada kisah cinta mereka yang
digambarkan tumbuh saat keduanya hidup di kamp konsentrasi Nazi,
Buchenwald, Jerman.

Bagaimana tidak? Dalam kata-kata Herman Rosenblat, dirinya bertemu Roma
saat gadis itu sering melemparkan apel dan roti kepada dirinya di bangunan
kamp di sebelahnya yang dipisahkan pagar kawat berduri. Setelah perang
usai, keduanya terpisah lama hingga bertemu kembali secara tak sengaja di
New York, lalu berpacaran, dan menikah pada 1958.

Begitu menariknya kisah berlatar Holocaust (pembantaian orang-orang Yahudi
oleh Nazi Jerman) itu hingga pasangan tersebut bisa tampil sampai dua kali
dalam acara televisi tersohor Oprah Show yang dipandu Oprah Winfrey. Tak
kurang, Oprah pun memuji kisah pasangan itu sebagai ''salah satu di antara
kisah cinta nyata paling dramatis yang pernah diungkapkan''.

Kisah Herman dan Roma juga telah diabadikan dalam bentuk buku bergambar
untuk anak-anak. Buku berjudul Angel at The Fence (Malaikat di Balik Pagar)
tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan dicetak jutaan kopi.
Buku memoar mereka juga telah dicetak oleh Penerbit Berkley, anak
perusahaan Penguin Group (USA), dan siap beredar Februari 2009. Sebuah film
juga sedang digarap oleh Harris Salomon dan diperkirakan siap tayang tahun
ini.

Tapi, sebenarnya, sejak awal ada sejumlah kalangan, termasuk ilmuwan, yang
meragukan kisah Herman-Roma itu. Ada yang menyatakan, secara teknis, si
gadis (Roma) tidak mungkin bisa melemparkan makanan seperti apel dan roti
ke bangunan kamp sebelahnya yang dipisahkan pagar kawat berduri.

Beberapa ilmuwan yang menyiapkan tulisan untuk jurnal The New Republic
akhirnya berhasil mewawancarai Herman, 79, dan Roma beberapa waktu lalu.
Mereka meminta keduanya menjelaskan secara rinci bagaimana Roma bisa
melemparkan apel dan roti di kamp tersebut. 

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang serius, pasangan itu akhirnya mengaku
bahwa pelemparan apel dan roti tersebut memang tidak pernah terjadi.
Bahkan, mereka tidak pernah bertemu selama menjadi tahanan di kamp
konsentrasi. Maka, gegerlah Amerika begitu kebohongan Herman itu beredar
luas di media pada 30 Desember 2008.

Apa dampak kebohongan Herman dan Roma tersebut? Surat kabar International
Herald Tribune melaporkan, dampak buruknya sangat besar. Penerbit Berkley
langsung membatalkan peredaran buku Herman. Berkley juga menuntut Herman
mengembalikan uang muka penerbitan bukunya itu.

Yang paling terpukul adalah para ilmuwan dan lembaga pendukung Herman
sebelumnya, termasuk para tokoh Yahudi. Mereka mengkhawatirkan, kebohongan
Herman Rosenblat itu akan meningkatkan ketidakpercayaan orang terhadap
cerita-cerita terkait dengan Holocaust. 

Sekarang saja telah banyak orang yang tidak percaya pada Holocaust.
Sebagian menyebutkan, Holocaust sudah menjadi industri, dibesar-besarkan,
dan didramatisasi untuk kepentingan finansial serta politik lembaga-lembaga
Yahudi. Juga negara Israel.

''Saya sangat khawatir karena banyak di antara kita berbicara pada ribuan
pelajar dan mahasiswa setiap tahun,'' kata Sidney Finkel, teman lama
Rosenblat sejak sama-sama menjadi tahanan di kamp konsentrasi. ''Kami biasa
berbicara di depan forum. Kami menceritakan kisah kami dan sekarang
sebagian orang akan meragukannya.''

''Sungguh menyedihkan karena dia (Herman) telah menyusahkan korban
Holocaust yang masih hidup, juga merusak keluarga sendiri setelah menikah
setengah abad,'' kata ilmuwan Holocaust Michael Berenbaum.

Skandal kebohongan dalam perbukuan itu kiranya juga menjadi ''pukulan
ekstra'' bagi komunitas Yahudi, khususnya di Amerika, yang bangkrut karena
ditipu Bernard (Bernie) Madoff, seorang Yahudi pengelola bisnis ''skema
Ponzi'' alias bisnis piramida.

Tak kurang dari USD 50 miliar (sekitar Rp 600 triliun) uang mereka
''amblas'' tak berbekas akibat ulah kotor Madoff yang menggunakan
perusahaan berlabel Madoff Investment Securities LLC untuk mengeruk uang
korbannya. Sumpah serapah mereka, bahkan para rabi, terhadap Madoff
hari-hari ini masih terdengar nyaring.

''Herman Rosenblat maupun Bernie Madoff sama saja pembohong. Masing-masing
semestinya hanya pantas mendapat satu dolar saja,'' begitu komentar di
sebuah situs berita internet.

Tapi, seperti pembohong di mana pun, Herman juga tetap membela diri
sebisanya. Dia mengaitkan perbuatannya tersebut dengan pertemuannya dengan
ibundanya dalam mimpi. Dalam pernyataan tertulisnya, Herman menyatakan
bahwa suatu ketika dirinya tertembak dalam insiden perampokan. Saat berada
di rumah sakit, ibundanya datang dalam mimpi dan mendorong dirinya untuk
menceritakan kisahnya, sehingga cucu-cucunya bisa mengetahui bagaimana
mereka bisa selamat dari Holocaust.

''Setelah insiden itu, saya ingin memberikan kebahagiaan kepada masyarakat,
mengingatkan mereka untuk tidak saling membenci, tapi saling mencintai dan
bersikap toleran kepada semua orang. Motivasi saya adalah menciptakan
kebaikan di dunia ini. Dalam mimpi saya, Roma akan selalu melempari saya
sebuah apel. Tapi, saya kini tahu itu hanya mimpi,'' ujar Herman.

Apakah Herman memang mimpi bertemu ibunya? Repotnya, kini orang sulit
memercayai kata-katanya. (*)

*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku

Reply via email to