AS di Mata Santri: Fenomena Fareed Zakaria

Oleh: Rizqon Khamami
Penulis adalah peserta program International Visitor Leadership USA-
2008 utusan Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Rangkang, Kraksaan, 
Probolinggo, Jawa Timur



Penyerangan gedung kembar WTC pada tanggal 11 September 2001 
merupakan titik genting hubungan Amerika Serikat (AS) dengan Islam. 
Pemerintahan Taliban di Afghanistan dihancurkan. Saddam Husein, Iraq, 
ditumbangkan. Penjara Guantanamo dikembangkan. Usamah bin Laden 
dikejar-kejar untuk dimusnahkan. Lebih penting dari itu, sikap umum 
AS terhadap masyarakat Muslim: curiga. Clash of Civilization seakan-
akan menjadi nyata. Pada saat hubungan AS dan Islam ini mencapai 
titik terendah, muncullah Fareed Zakaria sebagai penyelamat Islam. 
Konon, di kalangan tertentu ia disebut-sebut sebagai mujaddid abad 21

Siapakah Fareed Zakaria? Ia adalah seorang kolumnis Muslim warga 
Amerika Serikat, lahir dan besar di India. Ayahnya adalah satu satu 
tokoh besar Muslim di India dengan buku diantaranya, "Struggle within 
Islam", Rafiq Zakaria yang baru meninggal beberapa tahun lalu. Fareed 
Zakaria juga Chief Editor edisi international mingguan Newsweek. 
Lewat majalah ini, tulisannya disebut-sebut sebagai tulisan paling 
luas dibaca di dunia. Di majalah mingguan ini juga ia tercatat 
sebagai chief editor termuda dalam sejarah, umur 32 tahun. 
Sebelumnya, begitu juga, ia adalah editor termuda di jurnal bergengsi 
Foreign Affairs, 29 tahun. Ia alumni Yale University dan Harvard. 
Tulisan-tulisannya tersebar di The New York Times, The Wall Street 
Journal, The New Yorker dan The New Republic.

Beberapa buku menarik Fareed Zakaria antara lain: From Wealth to 
Power: The Unusual Origins of America's World Role (Princeton 
University Press), disertasi PhD di Harvard, dan menjadi co-editor 
The American Encounter: The United States and the Making of the 
Modern World (Basic Books). Karya fonumental dan terlaris buah 
karyanya adalah The Future of Freedom (2003), best-seller di New York 
Times. Buku ini sudah diterjemahkan kurang lebih ke dalam 18 bahasa. 
Majalah Esquire pada tahun 1999 menjulukinya sebagai orang penting 
abad 21. Pada 2006 disebut-sebut sebagai salah satu dari 100 lulusan 
Harvard paling berpengaruh.

Sebagai Muslim, Fareed Zakaria lewat beberapa tulisannya membuka mata 
AS dalam membuat pemetaan pada Islam di saat semua orang bingung dan 
dunia Barat melihat Islam sebagai entitas yang menakutkan sebagai 
akibat serangan gedung WTC. Para Islamis dan golongan keras, begitu 
ia tulis dalam salah satu artikelnya, berasal dari kalangan Wahabi, 
dengan madrasah dan masjid-masjid atas dana Saudi Arabia hampir tanpa 
batas. AS harus waspada.

Beberapa hari setelah serangan WTC, ia menulis di Newsweek, Oktober 
2001, "Why They Hate Us". Sebuah artikel penting dalam mempengaruhi 
cara pandang Barat terhadap Islam, dan menjadikan Fareed Zakaria 
seorang pemikir yang disegani. Dalam artikel ini ia menjelaskan bahwa 
serangan itu bukan semata-mata karena tidak tolerannya Islam. Tapi, 
itu cermin dari globalisasi yang timpang, khususnya pada aristrokasi 
Arab. Masyarakat Arab mengadopsi modernisasi dan budaya barat yang 
hambar --minum Pepsi, Kentucky, McDonnald, memakai jeans, menonton 
film-film Hollywood-- tapi meninggalkan formula-formula dasar 
modernisasi, yaitu kebebasan yang membuka kompetisi dan peluang 
transportasi vertikal. Hampir di semua negara Arab aspirasi politik 
dipancung. Ditambah lagi kegagalan sistem sosialisme Arab. Semua itu 
menjadikan masyarakat Arab melampiaskan semua kekesalan mereka 
melalui sarana Agama, karena hanya agamalah satu-satunya alat yang 
terbebas dari sensor penguasa.

Meskipun analisa Fareed Zakaria tidak sepenuhnya betul, melalui 
tulisan ini, paling tidak, kesalahan penyerangan WTC dialihkan bukan 
pada Islam sebagai agama, tapi pada kegagalan politik di Timur 
Tengah. Sebuah pengalihan yang cerdas.

Di samping itu, di balik pengalihan itu, tulisan Fareed Zakaria tadi 
secara tidak langsung juga mempengaruhi kebijakan luar negeri 
Presiden Bush. Selain `Why They Hate Us', buku The Future of Freedom, 
saya kira, adalah buku yang paling mempengaruhi Bush dan Neo-Con. 5 
doktrin Bush --mengutip Jacob Weisberg dalam The Bush Tragedy (2008): 
Unipolar Realism, With Us or Against Us, Preemtion, Democracy in the 
Middle East, dan Freedom Everywhere—tampak terpengaruh tulisan-
tulisan Fareed Zakaria. Di sini posisi Fareed Zakaria menarik.

Sejauh mana keterlibatannya dalam proyek politik Timur-Tengah George 
W. Bush? Pada tahun 2006, dalam bukunya State of Denial, Bob 
Woodward, jurnalis Washington Post menulis bahwa tanggal 29 November 
2001, sebuah pertemuan para pakar dan analis Timur Tengah digelar 
atas permintaan Paul Wolfowitz, orang penting Kementerian Pertahanan 
AS masa itu. Hasil dari pertemuan tersebut dilaporkan kepada Presiden 
Bush, selanjutnya terkait dengan kebijakan Amerika terhadap 
Afghanistan dan Timur Tengah selepas serangan 11 September 2001, 
sebuah laporan yang mendukung invasi AS ke Iraq. Fareed Zakaria 
mengajukan protes dirinya disebut-sebut sebagai salah satu dari 
mereka, karena baginya hasil pertemuan tersebut dikiranya tidak untuk 
dilaporkan ke Presiden dan hanya brainstorming saja. Ia berkeberatan. 
Bantahan tersebut diterbitkan pada 21 Oktober 2006 di The New York 
Times.

Awalnya Fareed Zakaria menyokong penggunaan militer melawan Iraq, 
dengan syarat: invasi itu di bawah komando PBB dengan penggunaan 
militer dalam jumlah besar, sekitar 400.000 tentara. Ia juga 
mengusulkan meniru penanganan Iraq seperti halnya di Bosnia dan 
Kosovo yang dilakukan oleh pasukan internasional, bukan Amerika 
sendirian. Beberapa hari setelah bom pertama meledak, Fareed Zakaria 
menulis "Why America Scares the World". Tulisan yang secara terbuka 
mengkritik kegagalan pemerintahan Bush dalam upaya diplomasi dan 
membangun konsensus internasional untuk aksi-aksinya. Seminggu 
setelah penyerangan Iraq, ia mengkritik AS kembali, "The Arrogant 
Empire", berisi detil-detil kegagalan kebijakan luar negeri Bush 
menjelang perang. Kritik pedasnya sejak kejatuhan Baghdad adalah 
pembubaran tentara Iraq beserta birokrasinya atas dalih "de-
baathification". Prediksinya tentang pembentukan tentara baru Iraq 
adalah munculnya dominasi Syiah dan Kurdi dalam militer, yang pada 
gilirannya hanya akan memperburuk ketegangan sektarian di negara 
tersebut. Dugaan itu terbukti. Empat bulan setelah masuknya tentara 
AS, kembali ia kritik AS, "Iraq Policy is Broken", dan September 2003 
ia menulis panjang lebar di Newsweek, "So What's Plan B?". Menjelang 
pemilu di Iraq, pada bulan Februari 2005 ia memprediksikan bahwa 
apapun hasil pemilu, prospek demokrasi di Iraq makin suram. Lagi-lagi 
prediksi yang dibenarkan oleh sejarah.

Kritik lain Fareed Zakaria terhadap pemerintahan Bush dituangkan 
dalam "Islam and Power" (February 13, 2006). Ia menulis bahwa 
demokrasasi di Timur Tengah menghasilkan buah yang aneh di mata AS, 
di luar prediksi mereka, berpuncak pada kemenangan Hamas di Palestina 
dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Kenapa? Menguatnya kelompok ini, 
menurut Fareed Zakaria, karena tidak adanya alternatif-alternatif 
cara lain. Selama beberapa dekade Timur Tengah adalah wilayah a-
politik. Di bawah Saddam tidak ada satupun partai hidup. Saddam 
menghancurkan semua, kecuali kelompok-kelompok yang berbasis masjid, 
bahkan pada masa akhir kekuasaannya ia menggunakannya untuk 
memperkokoh posisinya. Di hampir semua negeri Muslim, Islam menjadi 
sarana oposisi politik. Dan kritik lain pada Bush, bahwa dalam 
kebijakan demokratisasi Timur Tengah-nya, Bush belum lagi 
meningkatkan reformasi politik, ekonomi dan sosial di masyarakat 
Arab –dasar pokok dalam membentuk masyarakat demokratis. Menariknya, 
menurut Fareed Zakaria demokrasi tidak identik dengan pemilu.

Alasan kuat kemunculan politik islamis, lanjut Fareed Zakaria, adalah 
kegagalan politik sekular. Sekulerisme yang ada di Timur Tengah 
diwakili oleh Saddam Hussein, Muammar Kaddafi, Hosni Mubarak dan 
Yasir Arafat. Masyarakat Arab mempercayai bahwa mereka telah mencoba 
politik model Barat, tapi gagal. Mereka merasa model Barat tidak 
cocok. Dan hal ini, menurut Fareed Zakaria, didengung-dengungkan oleh 
kelompok Islamis fundamentalisme. Kelompok ini memproklamirkan "Islam 
adalah solusi". Sebuah terma perlawanan.

Karena itu, untuk menyikapi kemunculan kelompok Islamis ini, pesan 
Fareed Zakaria, Barat harus memahami mereka. Biarkan kelompok islamis 
itu ikut pemilu, jangan dibatasi, apalagi dicurangi seperti kasus 
Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Hamas di Palestina beberapa waktu 
lalu. Sesungguhnya, semakin mereka ditekan, semakin besar daya tarik 
mereka. Jika kran politik dibuka lebar, daya tarik mistis itu akan 
memudar. Mereka akan dipaksa menyesuaikan dengan keadaan, menjadi 
pragmatis. (Lihat PKS di Senayan)

Bagi masyarakat Barat, suara Fareed Zakaria ini dianggap memiliki 
otoritas karena berasal dari kalangan Muslim sendiri. Di sini ia 
memposisikan dirinya sebagai jembatan antara Islam dan Barat. Bisakah 
ia menjadi mujaddid abad 21 sebagaimana didengung-dengungkan sebagian 
orang? Tidak, karena menurut saya ia tidak memiliki otoritas dalam 
ilmu-ilmu agama. Fareed Zakaria hanyalah mewakili suara Islam.
Wallahu a'lam bisshowab




(Florida, 19 Feb 2008)

http://rizqonkham.blogspot.com/2008/2/as-di-mata-santri-fenomena-
fareed.html



Kirim email ke