http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/21/0901.htm


Freeport dan Kerusuhan Abepura
Oleh CECEP DARMAWAN 


  KERUSUHAN di Abepura Papua menelan korban. Di depan Kampus Universitas 
Cenderawasih Abepura Papua, bentrokan dan kerusuhan berakhir dengan tewasnya 
empat aparat keamanan (3 Polri dan 1 TNI AU). Kerusuhan tersebut merupakan 
rangkaian protes-protes lanjutan dari tuntutan masyarakat Papua di Timika untuk 
menutup PT Freeport Indonesia (PT FI). Mereka pun menuntut dibebaskannya para 
pengunjuk rasa yang ditahan oleh pihak keamanan. 

Sebelumnya, di tengah kunjungan Menlu AS Condoleezza Rice (14-15 Maret 2006) ke 
Jakarta dengan kawalan pasukan Marinir AS, tanah Papua justru memanas. Terjadi 
penghadangan massa di jalan masuk ke pertambangan PT FI yang dipicu oleh 
kunjungan elit politik Papua (DPRP dan MRP) ke wilayah pertambangan PT FI. 

Para pengunjuk rasa menginginkan mereka diajakserta dalam meninjau lokasi 
pertambangan PTFI, namun ditolak oleh rombongan para elit politik Papua 
tersebut. Akibat dari kekecewaan itu, massa bergerak menuju Hotel Sheraton dan 
menghancurluluhkan berbagai fasilitas hotel, termasuk mobil-mobil milik PT FI 
yang diparkir di halaman hotel.

Ada apa sesungguhnya di balik kerusuhan Abepura tersebut? Siapa dalang atau 
aktor di balik kerusuhan tersebut? Mengapa eskalasi gerakannya begitu cepat? 
Apakah ada indikasi konkret dari kelompok kepentingan tertentu yang ingin 
mengacaukan suasana politik di Papua? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak 
mudah untuk dijawab namun tetap dapat diurai secara sosial politik kaitannya 
dengan kehadiran PT FI di Mimika.

Freeport "undercover" 

Secara kasat mata, fenomena konflik sekitar PT FI ini, memberikan satu gambaran 
yang menarik untuk dicermati dengan saksama. Tidak mustahil, konflik-konflik 
yang berkaitan dengan eksistensi PT FI bukanlah merupakan satu fenomena baru 
dari ketidakberesan penanganan PTFI selama ini sebagai warisan kebijakan 
pemerintahan masa lalu (Orba). Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kontrak Karya 
atau Contract of Work Area yang ditangani pemerintah Orba yang serbakorup telah 
mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Sejak awal 
kehadiran PT FI di Mimika (Kontrak Karya I, 7 April 1967) telah memicu 
konflik-konflik baru, utamanya dengan masyarakat adat setempat (Suku Amungme 
dan Komoro). 

Perlakuan yang tidak akamodatif dari pemerintah dan PT FI terhadap tuntutan 
masyarakat setempat mengakibatkan protes-protes yang terus-menerus baik 
dilakukan secara terbuka maupun secara laten. Oleh karena itu, manifestasi atau 
perwujudan konflik melalui protes-protes dan demonstrasi, seakan mengatakan 
kepada publik bahwa pertentangan pemerintah dan PT FI dengan masyarakat adat 
Papua ini adalah perseteruan yang "abadi". Indikasi ini diperkuat dengan adanya 
dominasi kekuasaan atas hak-hak sipil maupun adat masyarakat setempat. Konflik 
ini merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) karena apa yang terlihat 
dan teramati publik hanyalah konflik-konflik di permukaan, sementara hakikat 
konflik (laten) yang lebih besar nyaris tidak mudah dideteksi. 

Lokasi pertambangan PT FI berupa gunung biji tembaga (Ertsberg), pertama kali 
ditemukan oleh seorang ahli geologi kebangsaan Belanda, Jean Jacqnes Dory pada 
1936. Kemudian ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 menemukan kembali Ertsberg. 
PT FI pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak 
Karya I (KK I). Ekspor pertama konsentrat tembaga dimulainya pada Desember 1972 
dan beberapa bulan kemudian tepatnya Maret 1973 projek pertambangan dan Kota 
Tembagapura ini diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Setelah sekian lama dilakukan ekplorasi (dan juga eksploitasi tentunya), 
kandungan tembaga semakin berkurang dan pada 1986 ditemukan sumber penambangan 
baru di puncak gunung rumput (Grasberg) yang kandungannya jauh lebih besar 
lagi. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini, diketahui sekitar 
2,16 s.d. 2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih. 
Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 s.d. 200.000 ton biji 
emas/tembaga. Dengan demikian, PT FI berhasrat lagi untuk memperpanjang KK I 
dan dibuatlah KK II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada PT FI selama 
30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2 X 10 tahun. Ini berarti KK 
II ini akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang maka akan berakhir 
2041. Jadi setelah 35 tahun lagi tepatnya 2041, barulah PT FI kembali menjadi 
"milik" NKRI. Luar Biasa!!!

Jadi siapa yang menikmati hasil dari PT FI selama ini? Nyatanya sumbangan ke 
APBN hanya Rp 2 triliunan, saham pemerintah RI hanya 9,36 % sisanya milik 
asing. Tentu saja yang mendapat "kue raksasa" ini adalah pihak-pihak yang 
terlibat dalam pengeleolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters 
("PR", 18/3 2006) dinyatakan bahwa empat Big Boss PT FI paling tidak menerima 
Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima 
sekira Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT FI, Andrianto 
Machribie menerima Rp. 15,1 miliar per bulan. 

Di samping itu, tentu tidak dinafikan bahwa keterlibatan pejabat Orba yang 
menangani PT FI turut menikmatinya. Sebab, bukan tidak mungkin KK I dan II 
diwarnai dengan berbagai "permainan" KKN. Dengan memakai logika awam yang 
sederhana saja, siapa yang mau menjawab pertanyaan berikut "Mengapa pemerintah 
RI hanya memiliki saham sebesar 9,36%? Mengapa hasil tambang berupa biji 
tembaga dan emas tidak dihitung secara berbeda? Mengapa pula pengolahan 
akhirnya untuk menjadi tembaga, emas dll. itu dilakukan di luar negeri? Maukah 
para penentu kebijakan (pusat dan Papua) meminum air dari sumur yang tercemar 
tailing (limbah pasir berkimiawi yang diperkirakan sekitar 190 ribu ton 
sehari)?" Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan 
tersebut sebenarnya bukan untuk dijawab dengan logika kekuasaan yang 
mengedepankan pembenaran-pembenaran (dalih) atas semua yang telah dilakukan 
pemerintah. 

Sejak Juli 1996 memang ada dana 1% dari laba kotor perusahaan untuk masyarakat 
Timika. Layaknya dana "bancakan", dana 1 % bagi pihak masyarakat adat menjadi 
sumber konflik internal diantara mereka. Dana tersebut disinyalir sebagai media 
peredam seteleh adanya kerusuhan Maret 1996. Lembaga Masyarakat Adat Amungme 
(Lemasa) awalnya menolak menerima dana tersebut. Masyarakat adat Amungme 
menolak semua bentuk perwakilan yang mengatasnamakan masyarakat setempat selain 
Lemasa. Sementara masyarakt adat lain (Komoro dll) merasa berhak juga atas dana 
tersebut. Terjadilah konflik-konflik internal sebagai babak baru persoalan PT 
FI yang berkepanjangan. Walaupun kemudian dibentuk 7 yayasan yang mengelola 
dana tersebut dengan melibatkan berbagai unsur pimpinan adat setempat melalui 
SK Gubernur Irja, konflik-konflik diantara mereka tetap saja terjadi. Intinya 
adalah ketidakpuasan, ketidakadilan, dan pengelolaan yang tidak profesional. 

Namun sesungguhnya konflik-konflik sekitar PT FI telah dimulai sejak perusahaan 
itu berdiri. Pada saat persiapan awal projek PT FI sekira 1960-1973 telah 
terjadi konflik dengan masyarakat adat setempat berkaitan dengan pengakuan 
identitas dan pandangan hidup yang berhubungan dengan alam dan konsep tentang 
Hai (konsepsi nenek moyang mereka di alam "atas"). Di samping itu konflik 
pertama terjadi manakala tim ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 meminta bantuan 
kepada masyarakat sekitar untuk membawa barang-barang keperluan rombongan, 
tetapi pada akhirnya tidak dibayar. Kekecewaan dan merasa ditipu merupakan awal 
dari konflik ini. 

Konflik berikutnya yang dikenal dengan konflik January Agreement yang dibuat 
tahun 1974. Isinya menyangkut kesepakatan antara PTFI dengan masyarakat suku 
Amungme dalam kaitan pematokan lahan penambangan dan batas tanah milik PT FI 
dengan masyarakat adat setempat. Namun pada kenyataannya, diduga PT FI telah 
mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati. Masyarakat adat 
semakin tergerser dan menjadi kaum pinggiran (pheripheral saja). 
Konflik-konflik berkaitan dengan January Agreement terus saja berlanjut sampai 
pembentukan Lemasa tahun 1992. 

Konflik lainnya dipicu oleh kerusakan lingkungan yang semakin parah. Lemasa 
yang dikomandoi oleh Tom Beanal kemudian mengadakan musyawarah adat Lemasa 
(7-13 Desember 1998) yang menghasilkan 4 resolusi yang berisi tentang resolusi 
SDA, HAM, gugatan terhadap PTFI dan meminta dialog nasional. Lemasa memang 
diyakini telah berubah dari gerakan sosial mejadi gerakan politik. Tahun 2003 
terjadi kerusuhan di Timika, penyebab awal kerusuhan tersebut, bermula dari 
adanya peresmian Provinsi baru. Kemudian kematian orang AS di Timika juga 
memperpanjang daftar masalah PT FI ini. Dan kejadian Abepura kali ini merupakan 
suatu rangkaian konflik yang tidak putus dari mata rantai konflik-konflik PT 
FI. 

Menurut keterangan Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Anton Bahchrul Alam 
bahwa aktivis Front Papera Papua Barat, Selvius Bodi terlibat, namun sebenarnya 
tidak mudah melakukan deteksi dini atas kasus ini dikaitkan dengan link up 
gerakan internasional. Secara politik internasional tidak mustahil kasus 
Abepura terkait dengan agenda terselubung (hidden agenda) dari (1) berbagai 
gerakan separatis OPM, yang secara ilegal telah membuka perwakilan di Vanuatu, 
memanfaatkan gerakan melanesian brotherhood, serta melakukan lobi-lobi 
internasional di tempat pengasingan. (2) anggota Kongres AS yaitu Donald M. 
Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomafalega (Samoa Amerika) yang 
membuat surat kepada Menteri Luar Negeri AS dan Sekjen PBB tahun lalu, 
mempersoalkan legalitas proses bergabungnya Papua ke dalam NKRI melalui PAPERA 
pada 14 Juli-2 Agustus 1969 dan (3) Dewan Adat Papua yang meminta negara-negara 
Pasifik, Eropa, dan AS meninjau kembali Resolusi 2504 (XXIV) .

Kita juga berharap Polisi dan TNI jangan dijadikan petugas "pemadam kebakaran" 
atas berbagai limbah kebijakan pemerintah pusat. Rakyat jangan diaduhadapkan 
dengan aparat. Musuh kita adalah imperialis-imperialis gaya baru yang berbaju 
kapitalisme dengan mesin dan agen-agen perusahaan multi nasional yang 
dijalankan kaum neoliberalis yang menindas. 

Andaikan saja pimpinan bangsa ini tidak munafik dan masih memiliki nurani yang 
sehat, perlu perenungan mendalam (kontemplasi) apakah kehadiran PTFI lebih 
membawa berkah dan kemashlahatan bagi masyarkat Papua dan eksistensi NKRI atau 
malah sebaliknya. Setelah itu membuat keputusan yang "berani" , tegas dan 
memihak kepada kepentingan rakyat dan kedaulatan NKRI. Rakyat Papua sudah lelah 
dengan berbagai konfllik yang diakhiri dengan korban demi korban! Sebab, tanpa 
ada upaya konkrit dalam penanganan PT FI, masyarakat Papua akan tetap diliputi 
oleh kabut ketidakjelasan masa depannya.*** 

Penulis, dosen ilmu politik Universitas Pendidikan Indonesia, kandidat doktor 
ilmu sosial politik PPS Unpad, pernah melakukan survei pertahanan ke puncak 
Grasberg, pertambangan Freeport Tembagapura di Mimika tahun 2005


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to