Ini tulisan ini yang aku dapat melalui japri beberapa  waktu lalu. Kiranya 
sangat tepat untuk dijadikan bahan tandingan bagi tulisan yang ber-judul: For 
better or worse: becoming Indonesia.
   
  Yang perlu di sidik apakah penulis ini Grace Tan memang ber-ujut, karena aku 
takut nanti berachir seperti kasus Vivian yang mengisahkan soal Mei 98 yll. 
Walaaupun tanpa cerita Vivain pun, tidak ada seorangpun yang akan menyangkal 
bahwa peristiwa Mei 98 tidak membawa korban selain pribumi juga etnis Tionghoa 
yang mengalami kerugian materi dan korban jiwa dan pelecehan seksual.
   
  Gampang misale di sidik apakah ada seorang dokter tentara yang punya anak 
perempuan bernama Grace ini. Bisa misale Bung YHG ikut tanya sana sini, karena 
aku anggap Bung Yap kan banyak tahu soal abri di tanah air.
   
  Harry Adinegara
  

      
 
   
   
   
  
 
         



  

 
            Wong Indonesia, orang China opo wong IndoChina?? Mumet!!! 
  (Grace Tan - Melbourne)
   
   
  Adalah hal yang wajar orang ingin berimigrasi ke suatu negara
  yang dianggapnya lebih baik untuk masa depan dirinya sendiri
  maupun
  keluarganya, jika memang sudah berkeluarga.
   
  Ngomong2 mengenai berimigrasi, saya baru akan 2 tahun
  menjalani rasanya jadi imigran. Kebetulan saya adalah seorang
  keturunan Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia. Rencana untuk
  imigrasi tidak pernah terlintas dalam kepala saya, semua
  serasa tiba-tiba, karena memang ada kesempatan dan biaya yang
  cukup memadai untuk berimigrasi.
   
  Sebelumnya saya ingin curhat sedikit berkaitan dengan judul di
  atas... bukan mau sara atau apa, sama sekali tidak.. ini
  benar2 pengalaman yang rasanya kalau tidak di share sayang.
   
  Ayah saya adalah seorang dokter tentara, jadi praktis masa2
  saya bertumbuh sangat jarang ditemani oleh ayah saya yang
  sangat saya sayangi. Dia adalah tipe orang yang selalu bilang
  ok untuk membantu orang lain, siapa pun itu. Dari tukang becak
  sampai pemilik hotel mewah atau turis2 asing yang membayar
  dengan dolar, semua diterima dengan timbangan yang sama. Jadi
  sebagai anak, meskipun kehilangan moment yang seharusnya
  dilalui dengan kehadiran seorang ayah, saya bisa mengerti
  karena itu merupakan pilihan hidupnya, dan saya sangat bangga
  padanya.
   
  Masalahnya ketika saya dewasa... saya melihat penghargaan akan
  apa yang dilakukan ayah saya selama ini dan apa yang saya
  alami rasanya kok jadi kecewa dan ingin rasanya berkata pada
  ayah saya... "Pa, kenapa si kok papa mau sampai begitunya
  memperhatikan mereka?"
   
  Kenapa saya sampai punya pertanyaan demikian, sebab ketika
  saya SD, kebetulan waktu itu jarang keluar rumah, jadi kulit
  masih agak putih kekuningan, begitu keluar rumah mau jalan2
  sore.. anak-anak seusia saya langsung berteriak "Cina...
  cina...cina.." Waduh... saya langsung lari masuk ke rumah,
  karena takut setengah mati. Rasanya mereka seperti melihat
  mahkluk aneh dan menjijikan... well, it is true.. still very
  clear in my memory. I wish I could wipe it away!!
   
  Ketika duduk di kelas 1 SD entah hari apa, seorang guru masuk
  ke dalam kelas dan bertanya demikian : " Siapa yang keturunan
  Tionghoa angkat tangan.." Siapa yang pribumi angkat tangan."
  Waktu itu saya masih bodoh, saya pikir saya dan teman2 saya ya
  sama sajalah. Apa itu tionghoa... apa itu Jawa..? Pengetahuan
  saya memang masih nol besar.
   
  Tapi perasaan saya tidak enak ketika yang mengangkat tangan
  untuk kelompok pribumi lebih banyak daripada yang kelompok
  Tionghoa... sebagai anak saya mau masuk yang kelompok banyak
  dong... bodoh ya? Waktu itu saya
  satu-satunya anak perempuan yang tidak angkat tangan. Sampai
  seorang guru bertanya pada saya begini "Grace, kamu kalau
  panggil ibunya ibumu, dengan nenek atau emak...?" Meskipun
  saya tahu emak... saya tidak mau menjawab... Saya tidak mau
  masuk kelompok yang sedikit, hik hik..
   
  Lalu pulang dari sekolah saya masih ingat, saya langsung tanya
  dengan ibu saya, "Ma, kita ini orang pribumi apa keturunan
  Tionghoa sih?" Lalu ibu saya menjawab... :" Kita ini ya
  keturunan Tionghoa." Reaksi saya waktu itu berhubung masih
  kecil langsung kecewa.. kok masuk yang minoritas?? Saya
  menangis.. karena waktu itu pikiran saya, tidak mau masuk
  kelompok yang sedikit.
   
  Perjalanan hidup saya justru makin lama makin dekat dengan
  orang pribumi. Kulit saya berhubung sering naik sepeda pergi
  dan pulang sekolah jadi hitam.. kebetulan mata saya belo jadi
  bukan sipit seperti amoy2 yang masih asli lho, dari Tiongkok.
  Teman karib saya seorang pribumi, namanya Ani saya masih
  ingat.. malahan sama orang keturunan saya hampir tidak
  berkumpul. Sekolah SMA saya malah di negeri, karena saya pikir
  hidup di Indonesia ya udah jadi orang Indonesia...mau apa
  lagi.
   
  Ada pengalaman lucu, waktu akan mendaftar ke UGM, saya tahu
  harus pakai SBKRI, itu lho... waktu ambil formulir pendaftaran
  kan ditanyain, orang indonesia asli atau keturunan... dsb
  dsb... Wah daripada repot pikir saya... nekat saya pakai
  sepatu butut.. rambut awut2tan.. ngga rapi sama sekali, trus
  berhubung di sekolah diajarin bahasa jawa (kan jadi bisa
  dong!!) Saya maju ambil formulir dengan sopannya model mbak2
  yang alus wis nggono nganggo boso jowo sing alus njaluke
  formulir... langsunglah suksessss... nggak ditanyain SBKRI!!
  Siippp..
   
  Dalam hati saya... lha nek saya sudah bisa begini mestinya
  lulus jadi warga negara indonesia asli, ada tambahannya asli,
  karena kalo tidak, cuma warga negara indonesia, tapi
  keturunan... laaaaah sama aja dong... kok ada embel2
  keturunannya.. hik hik!
   
  Kapan ya dianggap samanya?
   
  Jadi saya ini serba salah... pertama kali ketemu dengan
  orang-orang pribumi mereka akan mengira saya orang pribumi..
  lama-lama tau jugalah.. kan saya juga tidak bisa bohong melulu
  mengenai keluarga, apalagi kalo main ke rumah saya... dari
  yang tadinya panggil MBAK... setelah berkunjung ke rumah, tuh
  liat ada foto nenek moyang... jadi panggilnya nggak pakai Mbak
  lagi...
   
  Di kelompok keturunan, berhubung saya lumayan coklat
  kehitaman, dan mata belo, dianggap bukan keturunan... wah
  repot!! Kalo bergurau cerita film silat, terus terang saya
  kurang pengetahuan... jadi merasa kuper dan tidak bisa
  mengikuti obrolan kelompok ini juga. Ini dulu... waktu masih
  masa sekolah. Lha mereka keluarga pedagang, saya keluarga
  tentara... meskipun sama2 keturunan mana bisa klop obrolannya?
  Filmnya Liu Tek Hua aja ngga tau kayak apa... film serian
  silat lagi... mana bisa pinjam, video pun tak punya!!
   
  Nah... sekarang saya jadi imigran lagi di Australia... dulu di
  Indonesia berarti saya imigran juga dong... paling tidak nenek
  moyang saya dulu dari China. Tapi banyak hal membuat saya
  terharu ketika sampai di negara ini ya, kalo boleh disebut
  banyak jadi dikit aja ya ... saya melihat anak-anak saya tidak
  diperlakukan seperti ketika saya kecil... padahal suami dan
  saya sendiri tidak ada andil sama sekali buat negara
  Australia, bukan tentara seperti ayah saya yang keliling ke
  Timor2... Kupang... Soe... demi membantu rakyat miskin.
   
  Ketika diperlakukan sama dalam hal2 kesehatan.. dan baru2 ini
  saya terima surat, saya buka, saya pikir ini dari deparatemen
  education victoria, asiiik... saya ditawarin kuliah lagi atau
  apa... eh ternyata isinya check dari pemerintah, berkaitan
  dengan anak saya yang baru saja masuk SMP, 300$ katanya uang
  bantuan soalnya sudah memasukkan anak ke sekolah, artinya
  mendukung program pemerintah dalam hal pendidikan. Waduh...
  apa ngga terharu ya.. kaget aja, kita ini kan orang dari
  Indonesia... banyak warga Australia yang jadi korban bom
  bali.. dsb. Tentu saja pemerintah tahu saya ini imigran dari
  negara mana. Tapi tidak dipermasalahkan.
   
  Anak saya tidak pernah di data kamu orang apa... atau ketika
  berjalan2 dikata-katai indo indo.. indo.. apa ya mau dikatai
  indo... wong keturunan china.. jadi mau dikatain apa, bingung
  juga mestinya ini para bule seandainya mereka mau iseng...
  indocina apa? Mumet!! Kita tidak harus mengganti nama menjadi
  Grace Mc Donald atau Grace Inggals Wilder...
   
  Pengalaman hidup di Aussi malah makin excite buat saya ..
  .ketika belanja di daerah orang vietnam, saya diajak ngomong
  vietnam...Mana ngerti?!! ketika belanja di daerah pecinan,
  tiba2 seorang bapak-bapak ngajak omong bahasa mandarin, dan
  saya cuma jawab wo wo wo... ya ya ya... sie sie... rupanya dia
  bilang kalo pilih roti kalengan yang ini enak.. hau je...
  Ketika ketemu kelompok bule, dianggap orang dari Filipina...
  wah wah waaaaaah, mungkin tampang saya ini sudah amburadul...
  saya malah berpikir begitu. Bener2 deh.. kok ngga ada yang
  anggap dari Indonesia!
   
  Kalau boleh curhat ya... seseneng senengnya tinggal di
  Aussi... hati ini berhubung sudah lahir, makan, tidur, sekolah
  ( di UI ehm... ehm..., yang ini ngaku kalo punya SBKRI lhooo,
  kesadaran saya sudah tumbuh nih
  ceritanya) di Jawa... tentu masih kangennya mendoan, tempe,
  tahu, rujak, gado2... Itu tidak bisa disangkal. Kalo makan
  bangsa steak, spaghetti... apa lah itu namanya makanan Eropa,
  enak si enak, suka si suka, tapi hati ini kadung cinta dengan
  suasana bakso tek-tek lewat, soto mie... dan bakul songkro
  nasi goreng telor mata sapi dan krupuk warna warni... Slruup
  slruup..!
   
  Hmmm.... tapi setiap orang mesti memilih. Bikin pilihan...
  Life is a matter or choice kata orang tua. No pain no Gain..
  Artinya semua hal ada konsekuensinya. Tinggal mana yang paling
  sreg... paling yahui di hati. Intinya sulit bisa happy kalau
  masalah jati diri seperti ras.. agama.. status.. masih di
  jadikan grundelan dalam hati. Mana bisa bebas bicara.. ih
  takut! Mau kerja yang baik, rajin.. damai... maunya begitu...
  tapi apa ada yang menjamin anak cucu yang notabede keturunan
  tionghoa ini akan jadi warga negara indonesia (sama dengan
  asli), tidak ada embel2 keturunan tionghoa? Keselamatan mereka
  jika ada kerusuhan?
   
  Ayah saya begitu taat pada negara. Keluarga ditinggalkan
  bertahun-tahun makan beras jatah tentara, bagaimana sedih hati
  saya melihat teman-teman didampingi ayah, sedangkan saya tidak
  .. demi tugas. Ibu saya seorang guru, lho apa lagi, kurang apa
  orangtua saya sudah bener2 100% mau jadi orang Indonesia. Saya
  bisa tari jawa juga lho.. Mesti mengganti nama sudah... suruh
  berbahasa indonesia sudah (sampai2 sama sekali tidak bisa
  berbahasa cina lagi).
   
  Well.... saya berdoa semoga Indonesia suatu saat nanti
  memiliki hukum yang kokoh dan pasti, tidak pakai suap2an...
  pejabatnya memberi contoh hidup yang sederhana, karena rakyat
  masih banyak yang miskin, birokrasi bersih, peraturan diikuti,
  rakyat diperhatikan, koran2 bukan membahas artis ABC DE.. tapi
  kesejahteraan rakyatnya. Semoga para keluarga tentara, polisi
  bisa sejahtera, dengan gaji yang pantas dan layak.
   
  Anak saya yang sulung, tiba2 berkata demikian ketika kami naik
  mobil dari sekolahnya menuju rumah... "Mah... kita suruh orang
  Australia tukeran negara sama Indonesia yuk. Biar mereka punya
  tanah yang subur tidak gersang seperti ini... dan biar orang
  Indonesia senang, bisa punya rumah semua .. tidak kebanjiran."
   
  Saya hanya termangu... dalam hati berkata.. ya.. mama juga
  maunya seperti itu. Seandainya...
   
  I never hate you Indonesia, still I love you. But man... life
  is a matter of choice!
   
  Melbourne, 27 February 2007, 10.50 pm.
   
  Terima kasih!! Tuhan memberkati!!!
   
            
  
  
 

  
  
---------------------------------
  Sucker-punch spam with award-winning protection.
Try the free Yahoo! Mail Beta.
    
---------------------------------
  Don't be flakey. Get Yahoo! Mail for Mobile and 
always stay connected to friends. 



  
---------------------------------
  Live Search delivers results the way you like it. Try live.com now! 

 Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke