From: iwan piliang <iwan.pili...@yahoo.com>
Date: Tuesday, April 6, 2010, 11:15 PM


  







Sketsa ke-4 tentang pajak urusan kewajaran atau Transfer Pricing (TP), jumlah 
menambun lenyap menguap. Pada 2009 terindikasi Rp 1.300 triliun bermasalah. 
Uang siluman di rekening pribadi pejabat dan mantan pejabat juga ratusan 
triliun? Pengadilan Pajak terindikasi diatur Panitera & Hakim. Hakim selain 
mantan pegawai Ditjen Pajak, juga ada pengurus Kadin Indonesia. Mereka umumnya 
pro memenangkan kalangan usaha, kendati pun bersalah. Pada 2008, saya pernah 
menanyakan di Presstalk, QTV, kepada Fuad Bawazier, mantan Dirjen Pajak dan 
Menkeu: Bagaimana soal rekening Pajak Bumi dan Bangunan, sebelum masuk ke kas 
negara, mampir dulu ke rekening pribadi Fuad di BBD, kini Mandiri? Ia berkelit. 
Di era Gusdur, Fuad mengaku menghimbau membereskan rekening liar. Majalah 
Wartaekonomi pada Maret 2010 sekilas menyinggung soal uang negara di rekening 
liar pejabat. “Jika mau membereskan pajak, tangkap dulu pejabat dan mantan 
Dirjen,” ujar Burhanudin, di Facebok saya.



SENIN, Rabu dan Kamis pekan lalu, saya menuliskan Sketsa, mereportase keadaan 
di pengadilan pajak. Sketsa pertama, tidak berlebihan bila saya katakan membawa 
perubahan bagi mulai munculnya wartawan media mainstream ke pengadilan pajak. 
Sketsa kedua, membuka pintu - - pintu ruang sidang dalam arti riil - - di 
pengadilan pajak, yang selama ini tertutup, sebagaimana dilihat dilaporkan Ary 
Bustami, pembaca Sketsa di Kompasiana.com. Ia sangaja datang ke Pengadilan 
Pajak, pada Selasa 30 Merat 2010.

Senin 5 April 2010. Sosok Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada media di Jakarta 
mengatakan, “Mengakui banyak kelemahan di Pengadilan Pajak.”

Jika saja telunjuk layak ditudingkan maka alamat tepat kening Menkeu. Bagaimana 
seorang Menteri Keuangan tidak pernah mengontrol secara fisik Pengadilan Pajak? 

Sebagaimana sudah saya deskripsikan, ruang Pengadilan Pajak itu sekitar 
sepertiga lapangan basket saja. Kursi untuk wajib pajak, tergugat, atau 
terbanding tersedia masing-masing lima, termasuk untuk wakil Direktorat 
Jenderal Pajak (DJP). Hadirin pengunjung lain sulit kebagian kursi. Jika tak 
ada tempat duduk, otomatis Anda di luar, dan atau cari-cari kursi menambahnya, 
itu pun harus orang DJP melakukan. Tamu yang baru sekali datang pasti 
kebingungan.

Pintu ruang sidang, seperti ruang dokter kandungan di sebuah klinik ditutup 
rapat. Padahal menurut pasal 50 ayat (1) UU NO 14 tahun 2002, Pengadilan Pajak 
terbuka untuk umum. Nah di urusan ini saja Menkeu tak tahu menahu. Setelah 
media alternatif menuliskan maka tekuaklah. 

Pelanggaran UU sudah terjadi.
Ary Bustami, di blog Kompasiana.com, mengomentari Sketsa I, menambahkan 
pengamatannya di Pengadilan Pajak. “Saya baru ngeh. tukang koran yang bung Iwan 
lihat di sebelah penjual makanan di lantai 9 pengadilan pajak, juga menjual 
kumpulan putusan pengadilan pajak tahun-tahun silam.”
“Sayangnya, harganya mahal sekali., “ tulis Ary Bustami.
Riuh-rendah urusan oknum pejabat bermain di Pengadilan Pajak. Mulai dari 
panitera yang mengatur perkara, konsultan pajak, hingga hakim. Perihal ini 
terlihat tajam pada kasus Gayus Tambunan. 

Pada urusan hakim, di saaat mengikuti persidangan PT Toyota Motor Manufactur 
Indonesia (TMMI), yang terindikasi tajam mengakali penjualan ekspornya minus 
tak berkira pada penjualan Innova dan Avanza. Mereka mencatatkan laba penjualan 
lokal minim di 2% persen saja menjadi akal-akalan pengurangan pajak, menginjak 
logika kewajaran, mengindikasikan permainan praktek apa yang disebut Transfer 
Pricing (TP).

Lebih terperanjat saya, bahwa ketika saya menemui secara informal staf TP di 
DJP, mengabarkan bahwa sidang TP Pengadilan Pajak TMMI, sudah berlangsung untuk 
terakhir kalinya pelan lalu.

“Kami hadir ke persidangan, namun pihak TMMI sudah merasa cukup persidangan. 
Mereka hanya menyerahkan keputusan kepada hakim,” ujar Sutarno, sebut saja 
begitu, pejabat di seksi TP, DJP.

Senin, 5 April 2010, di siang hari di saat Jakarta mendung menjelang hujan, 
seorang pejabat TP DJP, sengaja datang ke kediaman saya. Ia mengambil undangan 
wawancara untuk program teve saya Presstalk, QTV, yang kami rencanakan bersama 
anggota konisi XI DPR, Achsanul Kosasi, akan dilakukan pada Selasa pukul 16.00. 
Kala itulah Ahmad buka kartu.

“Itu hakim ketua yang mengadili TMMI, adalah pengurus Kadin Indonesia,” ujarnya.

“Bisa dibayangkan, bagaimana keputusan hakim nanti, padahal jelas-jelas angka 
yang dimainkan TMMI, tak ketulangan akalan-akalannya.”

“Jika Kadin suaranya sumbang terhadap pengadilan pajak, jelas mereka 
menyuarakan kepentingan penguasaha besar itu.”

Sudah demikian parahkah Kadin Indonesia kini? Bukankah misinya menumbuhkan 
pengusaha sebanyak-banyaknya, bukan melindungi laku kriminil pengusaha?

Sebagai sosok yang pernah menjadi pengurus di Kadin Indonesia itu, saya tak 
terlalu kaget mendengar permainan pengusaha anggota Kadin Indonesia mengakali 
pajak. Namun yang membuat saya terperanjat, Hakim Ketua yang mengadili TMMI, 
adalah: Pengurus Kadin Indonesia. 

Mengapa bisa?

Apa tidak terjadi konflik kepentingan nanti, tanya saya?

“Yah begitulah Pak, ini info saja, sebab selain pejabat mantan pegawai Ditjen 
Pajak, hakim itu juga bersal dari pengurus Kadin, atau direkomendasikan Kadin,” 
tutur Ahmad.

Tidak cukup satu konflik kepentingan rupanya. Konflik kepentingan kedua di 
kasus kelompok Toyota Astra di mana TMMI ada. Konon unit uasaha Toyota Astra, 
Tonny Soemarsono, sebagai salah satu komisaris. Fakta ini sulit dikonfirmasi 
secara tertulis. Namun, menurut kenalan di Bursa Efek Jakarta, nama Tonny 
memang ada dalam jajaran unit usaha sebagai komisaris. Tonny adalah suami Sri 
Mulyani, Menteri Keuangan. Kalau sudah begini keadaan, di satu kasus saja, 
pah-poh-lah suasana.

“Wah kalau Ibu Menteri dengan suaminya ketat, sampai pakai fasilitas kantor 
saja, ngga boleh,” ujar Ahmad membela sang Menteri,

Ia kuatir soal urusan keluarga ini disangkut pautkan. 

Tetapi ini kan urusan logika saja kata saya.

Sama dengan logisnya Ahmad menghubungkan logika Pengurus Kadin Indonesia, 
dominan mememangkan pengusaha, merugikan negara.

Bisa Anda bayangkan Sidang Pembaca. Jika satu saja kasus, sudah demikian 
berpilinnya temali kepantingan. Beragam “pawang’ menjaga. “Pawang” bukan pawang 
anak bawang. Mereka duduk dalam struktur, bahkan menjadi hakim pengadilan.

Maka ketika saya saya mengamati di ruang sidang body language wakil dari TMMI, 
pandangannya sisnis ke staf TP DJP. Ketika hakim menegur bahan yang diajukan 
staf DJP, dua staf perempuan wakil TMMI yang duduk di barisan belakang bertepuk 
tangan pelan. Saya artikan, itulah tepuk tangan mengakali hak negara; tepuk 
tangan bagi sekolah rubuh; anak-anak kurang gizi; infrastruktur tak terurus.

Tameng sejarah dan kekuatan kelonpok usaha Toyota Astra di Indonesia, juga 
membuat gengsi yang bertepuk tangan pede.. Seakan mereka balik logika, mereka 
Goliath, negara cecere. 

Faktanya di negara inilah mereka mendapatkan profit. Pada 2009 mencapai Rp 20 
triliun, sesuai yang diumumkan ke publik. Tapi anehnya unit-unit usaha rugi, 
dan atau impas-impas. 

Mereka mencengkram bangsa ini melalui Departemen Perindustrian untuk selalu 
menempatkan program utama menjual mobil dan motor sebanyak-banyaknya. Jika 
diteruskan paparan saya, sudah sejak lama saya menduaa, matinya kemampuan 
industri otomotif hebat seperti di PT Perkasa Engineering, yang berkemampuan 
membuat mobil setara Astra, bahkan lebih - - terbukti mampu membuat truk 4 x 4 
bagus, kini dipakai TNI - - bahkan panser sekalpiun, akhirnya tenggelam karena 
indikasi tekanan tangan industri Jepang.

Maka tidak berlebihan, jika hampir semua PMA Jepang di Indonesia melakukan 
praktek transaksi ketidakwajaran atau Transfer Pricing (TP). Dari 750 PMA yang 
seumur-umur mengku rugi pada 2005, sebagian besar dari Jepang: berdagang, 
bertransaksi tidak dalam kewajaran. 

Sosok Ahmad yang naik motor ke kediman saya, menikmati gaji dan remunerasi 
memadai. Dugaan saya, ia mengantungi hampir Rp 20 juta sebulan. Karenanya ia 
dan tim kepada saya mengatakan, “Kami ingin bekerja serius buat negara. Tapi 
jika keadaan demikian, bagaimana hasil kerja kami,?”

“Acapkali kami seakan tamu di Pengadilan Pajak?” tutur Ahmad.

Saya lepas kepergian Ahmad dari kediaman saya di siang hari di saat hujan mulai 
rintik. Mendung menggayut, udara berkabut. Alam seakan paham betapa gundah hati 
ini melihat kasus pajak di Pengadilan Pajak.

Di dalam benak saya, tentulah tidak adil jika kenyatan ini menyalahkan Menkeu 
semata. Semua orang tak ingin hidup melarat. Namun jika segenap pejabat menjadi 
bagian menghisap hak rakyat, kehidupan menjadi kualat.

Biang kerok kekualatan itu, akan tajam Anda baca bila menyimak UU Nomor 36 2008 
tentang pajak. Di pasal 44 jelas dikatakan penggelapan pajak boleh diselesaikan 
di luar pengadilan dengan denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan.

Pasal inilah rupanya menjadi landasan penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, 
bahkan pengadilan pajak sendiri, melihat celah resmi negosiasi. Maka ketika DPR 
mengusulkan membuat Pansus Pajak, saya hanya bertanya, apa tak keblinger, 
bukankah lebih baik mereka merevisi secepatnya UU, agar keadaan tak kian parah? 

Seorang kawan di Facebook saya mengatakan: UU pajak menciptakan para drakula.

Apakah anggota DPR kini tak menyadari mereka menjadi bagian kedrakulaan itu?



SEORANG kawan lain di Facebook sengaja menitip kan pesan. Sosoknya pernah 
bekerja di mantan Dirjen Pajak Fuad Bawazier. Ia banyak tahu sepak terjang 
mantan pejabat satu ini. “Maka untuk membongkar kebobrokan di pajak, seharusnya 
tangkap semua pejabat Dirjen pajak, termasuk mantannya” ujar Burhanudin, sebut 
saja begitu.

Kalimat kawan itu mengingatkan saya kepada suatu petang di Gedung DPR RI. Baru 
saja sebulan anggota DPR yang sekarang ini dilantik. Sore itu kawan aktifis ini 
menyambut saya dengan jabat tangan erat. 

“Akhirnya kita berkantor juga di sini,” ujarnya. 

Kita? 

Anda, kata saya.

Wajah kawan itu kini banyak tampil di televisi di saat kasus Bank Century. Ia 
anggota Tim 9.

Dalam obrolan ringan, tak lama kemudian masuk satu rekannya se-fraksi dari 
Komisi XI, yang membawahi keuangan. Ia dulu bekerja sebagai kepala kantor 
wilayah pajak. Saya tanyakan soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang lama saya 
verifikasi. Bagaimana sebuah rekening PBB, uang negara masuk dulu ke rekening 
Fuad Bawazier?

“Dulu itu sebelum PBB gabung ke direktorat pajak, kebetulan saya berasal dari 
PBB, ada yang namanya upah pungut (UP).”

“UP itu semacam dana non bujeter, terakhir sebelum digabung ke direktorat 
jumlahnya besar sekali,” ujar Sunan, sebut saja demikian anggota Komisi XI itu.

Jika ranah perpolitikan kini semuanya harus dibeli dibeli dengan uang, bukan 
mustahil masuknya Sunan menjadi anggota dewan, karena asupan gizi ke pemilih 
nyata. 

Dari Sunan pulalah saya mendapatkan gambaran bahwa wewenang pejabat memang 
sangat sakti di pajak.

Maka kembali saya teringat akan wajah Fuad Bawazier saat saya wawancarai di 
Presstalk. Ia sempat kaget soal rekening liar yang saya tanyakan. “Ia saya 
bongkar itu di era Gusdur, agar rekening liar ditertibkan,” ujar Fuad berdalih 
kala itu.

Dalam verifikasi di lapangan, laporan kekayaan Fuad Bawazier, sebagai contoh. 
Ia pernah membuat laporan kekayaan ke KPK: property dan uang sebagai hibah Rp 
40 miliar. 

Entah siapa yang menghibahkan? 

Dari verifikasi saya di lapangan, setidaknya ada puluhan unit property miliknya 
berupa rumah mewah di Kemang, Jakarta Selatan, rumah Mewah di Menteng, Jakarta 
Pusat, juga apartment, juga kawasan tanmah yang belum dibangun, serta resort di 
luar kota. Termasuk rumah di dekat Sunda Kelapa, Menteng, yang dijadikan kantor 
KAHMI versi Fuad. Dari beberapa property itu, memang tidak semuanya atas 
namanya. Fuad tercatat mendanai banyak pendirian partai di awal. PAN, PKS, 
diantaranya. Kini ia juga tokoh penting pendana Hanura. 

Ichsanudin Noorsy, di Metro TV Senin, 5 April malam, “Makin tinggi jabatan 
seseorang di pajak, makin tinggi pula wewenang angkanya dalam membuat keputusan 
negosiasi tentang pajak.”

Begitulah sebagai contoh, Sidang pembaca. 

Jika semua ranah politik kita memang mahal, dan harus dibiayai dengan sumber 
dana yang tak jelas, dan setiap orang berlomba-lomba mempertebal pundi demi 
bargaining politik sakti, ke depan tenggorokan terasa akan kian sakit jadinya: 
ranah abu-abu, politik nego, dagang sapi, menjadi-jadi!

Dan hari-hari ke depan, suguhan media hanya akan berada di ranah kulit, apatah 
pula beberapa media mainstream, pemiliknya terindikasi tajam dalam permainan 
mengemplang pajak. Apa yang hendak dikata?

Hingga pada kenyataan inilah lahir kalimat saya, agar para para kufur di umur 
uzur untuk mundur. Sebagai rakyat biasa saya bertanya, apa yang kalian ingin 
cari, toh jika mati, hanya tulang tanah berkalang.

Revolusi di ranah pajak, adalah merevolusi diri sebagai pemimpin, yang di dalam 
lubuk bangsa ini sesungguhnya ada tauladan, seperti berkaca ke Muhammad Hatta. 

Karena cermin yang selama ini ditutupi, maka tak malu-malu diri para pejabat 
menampung sekitar 50.000 rekening uang negara ke rekening pribadinya. 
Wartaekonomi edisi Maret 2010 ini, sekilas menulis soal ini.

Inti soal maukah ranah jagad para pemimpin ini kembali melirik ceruk yang 
selama ini mereka tutupi sendiri, padahal di lubuk kemuliaan, berlian kehidupan 
nyata adanya. ***

Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blog-presstalk. com.





      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke