Dear Netters, Mohon ma'af posting terdahulu tidak lengkap. Mudah2an ini memang lengkap. Salam, Sidqy L.P. Suyitno POLITIK, DAKWAH, DAN TEOLOGI MAUT Oleh: Ahmad Syafii Maarif Pendahuluan Judul yang semula diberikan Sinar Harapan adalah Politik Islam vs. Dakwah Islam, saya ubah menjadi Politik, Dakwah, dan Teologi Maut dengan tiga pertimbangan: pertama, sekalipun pada ranah praksisme, watak politik pada umumnya berbenturan dengan sifat dakwah, dalam perspektif al-Quran tidak semestinya demikian. Kedua, dengan perubahan judul itu pembicaraan saya siang ini diharapkan akan bercorak lebih umum, tidak larut dalam realitas kekinian politik Indonesia yang menyesakkan nafas. Ketiga, lagi, dari perspektif al-Quran, baik dakwah mau pun politik sama-sama punya dimensi pendidikan untuk pencerahan. Kemudian apa yang dimaksud dengan teologi maut dalam kaitannya dengan politik yang menggejala di kalangan segelintir umat Islam? Mari kita coba melihatnya lebih jauh. Politik dan dakwah pada ranah praksisme Apa yang pernah saya sampaikan dalam ungkapan berikut adalah format praksisme tentang hubungan politik dan dakwah: Politik mengatakan: Si A adalah kawan Si B adalah lawan Dakwah mengoreksi: Si A adalah kawan Si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah Dakwah merangkul dan mempersatukan. Dalam perspektif al-Quran, politik seharusnya menjadikan filosofi dakwah sebagai acuan, tetapi alangkah sulitnya, termasuk realitas yang sering kita tonton dalam kelakuan partai-partai yang mengaku berdasarkan Islam. Sikut menyikut, perang ayat, masing-masing ingin memaksa Tuhan untuk berpihak kepada kepentingan jangka pendeknya, berupa posisi politik dan ekonomi, merupakan realitas sepanjang sejarah. Sulit sekali praktik politik itu dapat dijinakkan oleh dakwah yang menjunjung tinggi moral dan sikap santun. Oleh sebab itu, di dunia nyata tidak mudah bagi kita untuk membedakan kelakuan politik antara mereka yang mengaku percaya kepada wahyu dan mereka yang tidak hirau lagi dengan segala prinsip yang berhulu kepada nilai-nilai profetik-transendental, di samping adanya pengalaman agama di Eropa yang menentang kemajuan ilmu pengetahuan. Barangkali karena melihat kenyataan yang serba kontradiktif inilah, seorang Bertrand Russell sampai kepada pendapat bahwa semua agama itu berbahaya (all religions are harmful). Tetapi dunia tanpa Tuhan dan agama juga akan kehilangan apa yang disebut nilai-nilai tertinggi sebagai acuan yang dalam bahasa F. Nietzshe diungkapkan dalam formula kematian Tuhan. Jika kita bawa turun ke bumi Indonesia kontemporer, pertanyaannya adalah: apa ada perbedaan fundamental antara kelakuan politik mereka yang rajin ke masjid, bahkan sudah haji, dengan mereka yang tidak lagi hirau kepada agama sebagai sumber nilai tertinggi? Bukankah kedua kelompok ini telah sama-sama membunuh Tuhan, sehingga acuan moral tertinggi sudah lama menghilang? Akibatnya sangat nyata, yaitu merapuhnya hampir seluruh pilar moral bangsa. Indonesia dari hari ke hari semakin ringkih dan kropos saja, baik karena beban utang negara yang sudah mencapai Rp. 1.300 triliyun, mau pun karena gurita korupsi yang masih mengganas, pembalakan kayu, pajak yang tidak distor ke kas negara oleh penagihnya yang telah menggarong kekayaan bangsa dalam jumlah puluhan triliyun. Juga, yang tidak kurang membebani batin kita adalah wajah premanisme sebagian politisi kita yang sungguh a-moral, tidak terkecuali sebagian mereka yang mengaku dan duduk sebagai wakil rakyat. Dalam pada itu muncul pula sekelompok kecil orang dengan jubah dakwah, tetapi di otak belakang mereka sarat dengan libido kekuasaan, ingin mengubah Indonesia menjadi sebuah negara teokratis, karena negara Pancasila dinilai telah gagal mencapai tujuan utamanya berupa terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ironisnya adalah negara teokratis yang adil terhadap semua dan terbuka seperti yang mereka berhalakan itu tidak ada contohnya di muka bumi sekarang ini. Artikulasi politik mereka sungguh sangat dangkal, tetapi dalam suasana mental bangsa yang lagi goyah, jualan mereka ada juga pembelinya. Labih seram lagi, dari catatan harian seorang perangkai bom dan pembunuh berdarah dingin yang ditembak di Wonosobo pada 27 April 2006, tahulah kita bahwa telah muncul sekelompok orang yang sedang memasarkan teologi maut: ingin cepat mati, karena tidak berani hidup. Di seberang sana telah menanti bidadari yang cantik! Orang ini demikian tinggi mengagumi Dr. Azhari Husain yang dinilai mati syahid saat dikepung dan ditembak di Batu, Malang, pada 9 Nopember 2005 itu dengan kalimat: Di antara sifat-sifat beliau yang ana [saya, aku, Bahasa Arab] amati selama ana berinteraksi dengan beliau di antaranya: penyayang terhadap binatang, beliau sangat tidak suka bila melihat orang yang mengurung burung/ikan sendirian, beliau sangat bahagia bila melihat burung yang bebas dan berkicau. Beliau juga sangat tegar, kuat dalam memegang prinsip, sangat-sangat benci kepada orang kafir, beliau sangat menjaga harga diri/muruah. Pernah suatu ketika kita singgah di sebuah tempat, ahlul bait [tuan rumah] siap menampung beliau dengan segala akomodasinya, namun beliau tetap memberikan sejumlah dana kepada ahlul bait guna memenuhi kebutuhan akomodasi selama beliau tinggal di situ. Beliau sangat tegar, dan sangat benci atas segala kekufuran, beliau tidak ingin tertangkap oleh thoghut [yang melewati batas, tuhan palsu, kekuatan yang menyesatkan] hidup-hidup, kenapa? Di antara alasan-alasan beliau yang pernah disampaikan kepada ana : ketika dua pasukan salingan berhadapan, maka haram hukumnya untuk mundur, namun bila jumlah musuh lebih banyak maka diperbolehkan untuk mundur (bergabung dengan yang lain). Namun, menurut beliau, ia akan lebih memilih bertahan dan menyerang. Beliau juga sering mengatakan kepada ana, bahwa di antara tingkatan-tingkatan syahid itu: orang yang tahu dan yakin bahwa ia akan syahid, ia pun syahid, dan di tangan ia sendiri (demi menjaga rahasia); yang kedua, syahid karena oleh tangan musuh; yang ketiga wah ana lupa tuh. Catatan tentang Azhari ini tidak kurang dari 11 halaman tulis tangan, sekalipun tidak dibubuhi angka halaman. Sebuah paradoks terbaca dalam catatan itu: binatang disayangi, tetapi manusia dibunuh dengan alasan jihad yang tersesat arah. Penderitaan rakyat Palestina yang dizalimi Israel dengan dukungan pemerintah Amerika menjadi latar belakang mengapa bom bunuh diri diekpor pula ke Indonesia. Ini yang sama sekali tidak nalar. Mengapa Indonesia dijadikan target sasaran bom bunuh diri? Dalam catatan hariannya, si perakit bom ini juga tidak lupa menyertakan memori Azhari ketika berada di Afghanistan yang langsung terkait dengan al-Qaidah pimpinan Usama bin Laden. Kita turunkan, di antaranya: Di antara memori yang tidak bisa beliau lupakan adalah ketika pergi ke bumi jihad Afghan. Di kala sidang diadakan majlis dengan para petinggi al-Qaidah, di antaranya Syekh Usama, Aiman, dan lain-lain, dan para pembesar. Merupakan suatu kebiasaan bahwa mereka duduk di atas bantal-bantal. Kala itu ada satu bantal yang berada tepat di samping Syekh Usama, maka para ikhwah [sahabat] mujahidin pun saling berbisik, siapakah yang akan duduk di samping Syekh Usama? Apakah ada pejabat lain yang belum datang? Hingga suatu ketika Syekh Usama menunjuk asy-Syahid [Azhari] untuk duduk di samping beliau. Asy-Syahid pun menganggap yang ditunjuk itu bukanlah dia, namun ikhwah lain karena asy-Syahid tidak bisa berbahasa Arab kecuali kaifa haluka [apa kabar] saja. Namun Syekh Usamah kembali menunjuk ke arah asy-Syahid untuk duduk di sampingnya. Maka ikhwah-ikhwah yang lain pun mendorong beliau untuk segera memenuhi panggilan Syekh Usamah. Akhirnya dengan berat hati asy-Syahid pun duduk di samping Syekh Usama dan para petinggi lainnya. (Jika pada saat itu satelit musuh memfoto majlis tersebut, mungkin musuh akan bertanya-tanya, siapa nih yang duduk di samping Syekh Usamah?). Dalam catatan si perakit bom ini disebutkan bahwa pengetahuan agama Azhari tidak seberapa, tetapi mengapa karismanya begitu dahsyat? Pengikutnya rela mati, demi melaksanakan perintah tokoh yang tidak mengerti agama ini? Mungkin setidak-tidaknya ada dua faktor yang patut dikatakan. Pertama, Azhari adalah seorang dengan kualifaid doktor tamatan Inggris, cerdas, dan penuh dedikasi untuk merealisasikan teologi mautnya; kedua, karena Usama bin Laden telah memberikan legitimasi politik dan moral kepada Azhari dengan memanggilnya duduk di sampingnya dalam sebuah sidang di Afghanistan. Kedua faktor ini tampaknya menjadi unsur penting mengapa Azhari, warga Malaysia itu, punya pengikut fanatik, bukan di negaranya Malaysia yang relatif makmur, tetapi di Indonesia, sebuah bangsa korup, di mana para elitnya telah lama mati rasa. Kondisi ini merupakan lahan subur bagi kekuatan-kekuatan militan destruktif, baik yang keras dalam wacana, tetapi bukan kelompok teroris, mau pun yang keras dalam wacana dan sekaligus kejam dalam tindakan. Selama suasana kumuh dan timpang ini belum juga membaik, Indonesia akan tetap rentan bagi mereka yang haus kekuasaan melalui kekerasan. Politik dan dakwah di negara Pancasila dan situasi eksternal Ada sebuah prestasi besar yang patut disyukuri di Indonesia, yaitu Pancasila telah diterima oleh mayoritas kekuatan politik dan rakyat Indonesia. Adapun masih ada kelompok-kelompok kecil yang ingin menukarnya dengan yang lain dan anti demokrasi, jumlahnya dari ke hari semakin mengecil, tetapi lantang dan vokal. Seakan-akan merekalah yang mewakili Islam di Indonesia, bukan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, dua sayap besar umat Islam di nusantara yang sudah menerima Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Mengapa mereka anti demokrasi? Salah satu jawabannya adalah karena mereka tidak mau ikut pemilu, sebab pasti kalahnya. Jangankan kelompok-kelompok garis keras ini, partai-partai dengan dasar Islam pun dalam Pemilu 2004 juga menderita kekalahan fatal. Jika kalah, dan pasti kalah, maka wibawa mereka di depan publik akan merosot secara drastis. Ini yang mereka tidak mau lihat. Pada ranah praksisme, Pancasila juga bukan sepi dari masalah-masalah serius. Selama hampir 60 tahun pasca proklamasi, Pancasila sering dihadapkan kepada tragedi demi tragedi. Beberapa waktu yang lalu, saya menulis tentang tragedi yang diderita Pancasila dalam kurun dan rentang waktu yang panjang. Sebagian kutipannya adalah sebagai berikut: yang ingin ditegaskan adalah bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya yang dahsyat itu telah mengalami tragedi demi tragedi, tidak dalam kata, tetapi justru dalam laku, sebagaimana yang sering saya kemukakan di berbagai forum. Dalam ungkapan lain, jika kita memperkatakan Pancasila, implementasi nilai-nilai luhur inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian utama, bukan memperdebatkannya secara teoretikal. Bagi saya semua nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sangat jelas, tidak perlu orang terlalu berbelit-belit menyikapinya. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara tulus dan otentik. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak bisa ditafsirkan selain bahwa bangsa ini wajib menegakkan keadilan dan keadaban dalam berprilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Penyimpangan dari prilaku adil dan beradab adalah pengkhianatan terhadap sila ini. Dan inilah yang sering berlaku selama hampir 61 tahun kita merdeka. Pengkhianatan ini tidak semata-mata dalam bentuk upaya sementara orang yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain. Tetapi laku yang beringas, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, menggarong harta bangsa, main hakim sendiri, merusak milik negara sekalipun itu dengan meneriakkan Allahu Akbar, semuanya adalah perbuatan khianat dalam perspektif sila kedua. Kemudian, sila ketiga berupa Persatuan Indonesia, bukan Kesatuan Indonesia, semestinya membimbing bangsa ini dalam kebhinnekaan (pluralisme) yang kaya dalam mosaic budaya yang beragam. Tetapi, yang terjadi selama sekian dasar warsa adalah politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistem sosial budaya local secara paksa melalui undang-undang. Ini adalah bentuk pengkhianatan konstitusional yang telah menimbulkan keresahan dan perlawanan diam-diam dari berbagai sub-kultur Indonesia yang kaya itu. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, tegas sekali memerintahkanbahwa demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui musyawarah yang bertanggung jawab dan dengan lapang dada. Di luar cara-cara itu, sila kerakyatan yang memuat prinsip demokrasi itu akan membuahkan malapetaka berkepanjangan yang telah menjadikan rakyat banyak sebagai kelinci percobaan politik yang amoral. Perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi tampaknya semakin jauh dari roh Pancasila dalam pengertiannya yang utuh dan padu. Ini adalah bentuk tragedi yang selalu saja ditimpakan orang pada Pancasila. Terakhir, sila kelima, Keadilan sosial bagi [seluruh] rakyat Indonesia, telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Hampir tidak ada kebijakan pemerintah dan DPR yang benar-benar dibimbing oleh sila ini. Rakyat dari masa ke masa tidak semakin merasakan keadilan, tetapi penindasan berencana via undang-undang, apakah undang-undang itu berupa darurat militer, undang-undangan hubungan pusat dan daerah, undang-undang penanaman modal asing, dan lain-lain. Oleh sebab itu, matahari sudah condong ke barat bagi kita semua untuk berhenti menjadikan Pancasila sebagai retorika politik yang kosong dan menipu. Pancasila di bawah sinar wahyu harus menuntun seluruh laku kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sekarang dan untuk selama-lamanya, jika Indonesia memang masih mau dipertahankan. Kutipan yang agak panjang ini sudah sedikit menjelaskan di mana posisi saya dalam membaca peta politik dan dakwah di Indonesia, sebuah bangsa yang sedang ringkih dan rapuh secara moral. Saya melihat tidak ada pilihan lain selain dari bersikap demikian, jika keutuhan bangsa dan negara ini mau dipelihara dan dipertahankan dalam tempo yang panjang. Jika perbaikan fundamental ini tidak juga kunjung menjadi kenyataan dalam dekat ini, maka teologi maut masih akan punya pengikut, betapa pun di antara pemimpin puncaknya telah ditangkap atau terbunuh. Dimensi global dari terorisme di Indonesia Selanjutnya, mari pula kita kaitkan sejenak situasi nasional kita dengan peta global yang jauh dari suasana adil, ramah, dan manusiawi. Saya dapat memahami hipotesis yang dikemukakan Tariq Ali, seorang penulis Inggris keturunan India, yang mengatakan bahwa kekuatan yang berbenturan sekarang bukan antar peradaban, tetapi antar dua kubu fundamentalisme: fundamentalisme Kristen politik yang dipimpin oleh Presiden George W. Bush dan fundamentalisme Islam politik dipimpin oleh Usamah bin Laden. Sewaktu era perang dingin Bin Laden adalah sahabat Amerika, demi melawan Uni Soviet yang menduduki Afghanistan pada waktu itu. Lebih dari tujuh tahun Bin Laden berperang di sana dengan bantuan Amerika. Maka tidaklah mengherankan bahwa di sampul depan buku Tariq ini terpampang muka Bush yang sedang memakai pakaian Usama bin Laden, sementara di sampul belakang kita saksikan Usamah bin Laden sedang berpidato di podium kepresidenan Amerika Serikat. Pendeknya di mata Tariq, kedua fundamentalis inilah yang tengah mengacau dunia. Bush melalui politik imperialistiknya, Bin Laden dengan bom bunuh dirinya sambil membunuh orang lain. Pengikutnya di Indonesia di luar nalar telah pula melakukan keonaran dan kebiadaban dengan bom bunuh diri untuk membunuh orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Chechnya, atau Iraq. Kita kutip Tariq Ali tentang kaitan Amerika Serikat dengan kelompok Islam militan di Afghanistan: Washingtons role in the Afghan war has never been a secret, but few citizens in the West were aware that the United States utilised the intelligence services of Egypt, Saudi Arabia and Pakistan to create, train, finance and arm an international network of Islamic militants to fight the Russians in Afghanistan. Sekarang antara Bush dan Bin Laden telah pecah kongsi sejak tragedi 11 September 2001 yang biadab dan menghebohkan jagat raya itu. Yang tidak kurang biadabnya adalah bahwa atmosfir pertarungan dua fundamentalisme itu dibawa ke Indonesia oleh Azhari, Noor Din M. Top, dan para pengikutnya di negeri ini yang telah melakukan keonaran demi keonaran sampai sekarang. Dengan cara membabi buta mereka meledakkan bom di Bali, Marriot, dan di kedutaan besar Australia di Jakarta. Dalam pembicaraan panjang dengan Detasemen Khusus 88 Kepolisian Republik Indonesia pada 9 Maret 2006 di Hotel Hyyat Jogjakarta, saya mendesak agar terorisme di Indonesia cepat diakhiri. Keganasan mereka sungguh sudah sangat melampaui batas dengan teologi maut yang jadi pegangan mereka. Tampaknya Detasemen ini telah bekerja keras, dan sampai batas-batas tertentu berhasil. Tetapi alangkah sukarnya melumpuhkan seluruh jaringan teror mereka dalam kondisi sebuah bangsa yang sedang rapuh! Dan pada tataran global, umat Islam secara keseluruhan masih berada di buritan peradaban teknologis. Perpecahan sesama mereka masih jauh dari selesai. Konflik Syii-Sunni di Iraq pasca invasi Amerika dan sekutunya adalah di antara contoh mutakhir yang dapat kita saksikan. Kesulitan kita di Indonesia ditambah lagi oleh pernyataan segelintir orang bahwa teroris yang tewas ini juga mati syahid. Cara berfikir yang kacau ini telah menambah beban mental mayoritas umat Islam Indonesia yang masih berfikir jernih, tidak kalang kabut, sekalipun di antara mereka banyak yang miskin. Penutup Dengan segala borok dan beban berat yang terpikul di bahu umat Islam sekarang ini, baik pada tingkat nasional, mau pun pada skala global, the silent majority dari mereka masih tetap siuman dan tidak pernah lupa bahwa missi mulia Islam adalah membangun peradaban untuk menebarkan rahmat di muka bumi., bagi semua, dengan tidak memandang perbedaan agama, latar belakang, etnisitas, bahkan kelompok ateis pun harus merasakan rahmat itu. Doktrin inilah yang menuntun saya untuk terus berteriak dan berteriak bahwa jalan kekerasan bukan jalan al-Quran, tetapi jalan setan yang terkutuk. Kegagalan umat Islam berurusan dengan gelombang modernitas yang agresif pasti telah dan akan tetap menyadarkan mereka bahwa cara-cara biadab dan gelap mata hanyalah punya satu risiko: bunuh diri. Akhirnya, saya ingin menyudahi pembicaraan siang ini dengan kutipan makna ayat al-Quran berikut: Wahai orang-orang yang beriman: Jawablah panggilan Allah dan panggilan rasul, pada saat rasul itu memanggilmu kepada sesuatu yang menghidupkan kamu. Teologi maut yang membenarkan pembunuhan dan hara-kiri peradaban jelas mengingkari dan bahkan mengkhianti ayat ini. Posisi di buritan peradaban dan himpitan perasaan yang berat (despair) tidak boleh menyebabkan orang lalu menjadi gelap mata dan berbuat onar di muka bumi. Matahari tampaknya masih akan bersinar milyaran tahun lagi. Oleh sebab itu stamina spiritual umat Islam harus tetap tegar dan prima, betapa pun beratnya situasi yang melingkari mereka. Jangan korbankan masa depan melalui perbuatan nekat dan putusasa. (Disampaikan pada public lectures bersama Nono Anwar Makarim dan Faisal Basri dalam rangka peringatan lima tahun terbitnya kembali Sinar Harapan, di Garden Tarrace, Four Seasons Hotel, Jakarta, 6 Juli 2006) Jakarta, 6 Juli 2006
--------------------------------- Talk is cheap. Use Yahoo! Messenger to make PC-to-Phone calls. Great rates starting at 1¢/min. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Check out the new improvements in Yahoo! Groups email. http://us.click.yahoo.com/6pRQfA/fOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/