Media Indonesia
Senin, 25 April 2005


Gerakan Islam, Bersatulah!
Syaiful Arif; Peneliti Ciganjur Centre, Jakarta



KONGRES Umat Islam Indonesia (KUII) IV di Jakarta yang digelar Majelis Ulama 
Indonesia (MUI) baru saja usia, dengan menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi 
kemajuan bangsa. Kongres itu dihadiri sejumlah ulama, utusan organisasi massa, 
dan tokoh Islam se-Indonesia. Pertemuan lima hari yang dibuka Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono (17/4) itu bertujuan merumuskan kembali strategi kebangsaan 
dan dakwah Islamiah ke depan.

Secara historis KUII memang lahir dalam wacana politik Islam, yakni keinginan 
sebagian muslim untuk menegakkan Khilafah Islamiah. Pada KUII ke-2 di Garut, 
1924, kongres ini merupakan reaksi atas penghapusan kekhilafahan di Turki oleh 
rezim sekuler Attaturk, 3 Maret 1924. Layaknya gelora kebangkitan Islam kaum 
Ikhwanul Muslimin (Mesir), Jama'at Islamy (Pakistan), Wahaby (Saudi Arabia), 
umat Islam di Indonesia yang berwacana 'Islam kanan' juga merespons keruntuhan 
'kejayaan' Ottoman Turki tersebut. KUII ini juga tercatat sebagai forum 
tertinggi muslim yang kemudian melahirkan Masyumi, sebuah partai Islam yang 
getol menegakkan syariah melalui Piagam Jakarta.

KUII sebagai forum konsolidasi gerakan-gerakan Islam memang mempunyai posisi 
vital, apalagi di tengah problematika umat dan 'cita-cita' Islam yang hingga 
saat ini (untuk sebagian muslim), belum tercapai. Seperti kita tahu, cita-cita 
tertinggi Islam adalah menciptakan islamisasi, baik ranah state maupun culture. 
Cita-cita inilah yang selama Soekarno dan Soeharto selalu diredam, dan 
dimasukkan ke dalam pengertian ekstrem kanan, bersanding dengan ekstrem kiri 
komunisme.

Pada tataran struktur kenegaraan, Piagam Jakarta tak juga terkonstitusikan, 
hingga perjuangan terakhir oleh PPP dan PBB lewat amendemen Pasal 29 UUD 45, 
pada Sidang Tahunan MPR 2000, yang ternyata gagal. Demikian juga era Soeharto, 
rezim negara melakukan deislamisasi dan deidelogisasi Islam dengan mengharamkan 
kebangkitan Masyumi dan memaksakan asas tunggal Pancasila kepada PPP. Meskipun 
dekade 1990-an, Orba kemudian merevisi sekularisasinya ini dengan merangkul 
Islam ke dalam birokrasi, sehingga lahirlah birokrasi dan militer yang 'ijo 
royo-royo', serta ICMI sebagai ulamanya negara.

Bandul sejarah bergerak, dan momen demokratisasi pun lahir meruntuhkan 
diktatorisme sekuler, sekaligus mengawali kebangkitan Islam. Pasca-Soeharto, 
berbagai gerakan Islam yang dibungkam (dan bergerak laten) bangkit kembali. Hal 
ini ditandai dengan lahirnya ormas-ormas Islam; Hizbut Tahrir (HT), Lasykar 
Jihad, FPI, MMI, dan lainnya serta kelahiran partai-partai Islam yang 
menjadikan Islam sebagai ideologi. Berbagai gerakan ini saling berkontestasi 
dengan tetap membawa cita-cita besar sama: menegakkan sistem Islam (al-nizam 
al-Islamiyyah) di bumi Indonesia. Ada yang bersifat transnasional seperti 
penggantian sistem demokrasi dengan khilafah oleh HT, hingga penegakan syariat 
Islam di daerah seperti Aceh, Makassar, Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur.

Problematika Islam
Pada pra-KUII IV, 9-10 April, telah dilakukan inventarisasi problematika umat 
sebagai masukan untuk draf strategi dakwah dan etika ukhuwah Islamiah. 
Inventarisasi tersebut memang urgen, mengingat problem yang dihadapi umat, dan 
juga Islam sendiri, sangat kompleks. Ada beberapa problem di sana. Pertama, 
perang Barat terhadap Islam. Tidak bisa dipungkiri, bahwa pasca bom WTC 11/9, 
clash of civilizations benar-benar terjadi. Rezim Barat yang diwakili Amerika 
kemudian melakukan penghancuran militer terhadap 'sarang-sarang' teroris. Pada 
level wacana, Islam kemudian diidentifikasikan (tasywih shuratil Islam)-kan 
melalui 'penampakan' wajah Islam radikal, militan, dan prokekerasan. Berbagai 
bom pun melegitimasi, dan lahirlah Al-Qaeda dan Jamaah Islamiah sebagai 'wajah 
Islam' yang tak ramah, menghalalkan pembunuhan, antinonmuslim.

Kedua, liberalisasi tradisi. Penyudutan secara politik-militer tersebut 
kemudian dibarengi dengan penyudutan pemikiran. Lahirlah berbagai kelompok 
Islam liberal yang mewacanakan rethinking terhadap tradisi Islam. Pada lanskap 
kultur, wacana liberal semacam nikah beda agama, penghalalan tidak berjilbab, 
kesetaraan perempuan dalam hukum Islam, penolakan syariah, kemudian melahirkan 
'perang pemikiran' (ghazwul fikr) di kalangan gerakan Islam. Ulil Abshar Abdala 
beserta liberalisme Islamnya dicap sebagai 'aparat ideologis' Barat yang hendak 
menghancurkan tradisi Islam, sehingga fatwa kafir dan pemurtadan menjadi 
fenomena 'panas' politik Islam.

Ketiga, perbedaan tafsir. Inilah yang paling problematis. Sebab dengan adanya 
perbedaan penafsiran terhadap Islam, maka cita-cita Islam pun beragam.

Sistem khilafah yang digerakkan oleh HT, dianggap tidak relevan oleh ormas 
Islam moderat semacam NU dan Muhammadiyah. Demikian juga sebaliknya. Islamisasi 
kultural yang dilakukan dua jamiyyah 'Islam pribumi' itu dianggap terlalu 
lunak, oportunis, dan bahkan menodai Islam, karena telah akomodatif dengan 
sistem non-Islam semacam demokrasi, nation state, dan tradisi lokal. 
NU-Muhammadiyah juga dianggap tidak islami, karena tidak mau menegakkan syariah 
di level UU.

Berangkat dari fenomena di atas, maka KUII IV menjadi forum ukhuwah Islamiah 
yang sebenar-benarnya. Berbagai perbedaan gerakan Islam seharusnya menjadi 
rahmat dengan menciptakan persamaan visi: yakni demi kemaslahatan umat. Firqoh 
Islam yang bisa dirujuk dalam Islam klasik, seperti HT, FPI, MMI, JI, dst 
(neo-khawarij), NU-Muhammadiyah (Sunni), JIL (neo-mu'tazilah), dan Syiah ala 
Jalaludin Rahmat. Seharusnya menghentikan 'perang penafsiran' dengan lebih 
berkonsentrasi kepada permasalahan umat. Hal ini urgen, sebab di luar konflik 
pluralistik ini, sebuah hegemoni global tengah menancapkan imperialisme, bukan 
hanya 'penjajahan' tradisi, tetapi juga 'pemerataan' kemiskinan.

Hal ini sekaligus menjadi kritik bagi gerakan-gerakan Islam. Satu sisi, gerakan 
Islam yang dianggap 'kanan', lebih berkonsentrasi 'atas nama Islam untuk 
membela Islam' (apologetik), sementara sisi lain, ormas Islam yang di anggap 
lebih moderat-progresif (NU-Muhammadiyah), malah sibuk berpolitik ria: NU 
adalah PKB, Muhammadiyah adalah PAN. Gelora gerakan muslim pribumi ini ternyata 
lebih 'menggelegak' ketika momen politik semacam pemilu, atau kongres partai.

Demikian juga MUI, sebagai perwakilan umat di pemerintah, MUI ternyata lebih 
menjadi stempel negara, dan hanya bisa mengurusi masalah-masalah kecil semacam 
halal-haram daging babi, goyang Inul, film Buruan Cium Gue, dan seterusnya. 
Saatnyalah berbagai gerakan Islam bersatu, sehingga keberadaannya bukan malah 
menciptakan fitnah bagi umat.***

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke