Republika 27/10/2004 Guru Bisnis Buku Di Sekolah Oleh M Fauzi
Masalah penjualan buku-buku pelajaran di sekolah yang dilakukan para oknum guru setempat kini sudah banyak menuai keluhan dari para orangtua murid. Juga telah mengundang kritikan dari berbagai kalangan. Betapa tidak, karena untuk memasukkan anak sekolah saja, setiap tahun orang tua harus banyak mengeluarkan biaya mahal, tetapi sesudah anak bisa masuk sekolah masih "digenjot" pula oleh para oknum guru menyusul adanya keharusan membeli buku-buku pelajaran yang dijual di masing-masing sekolahan dengan harga yang relatif mahal. Lebih parah lagi, tahun ajaran baru selalu diidentikkan dengan buku pelajaran baru. Akibatnya, buku tahun lalu tidak bisa dipergunakan oleh murid-murid tahun sekarang. Hal inilah yang membuat beban pikiran orang tua murid. Terutama bagi mereka yang ekonominya pas-pasan, masalah ini jelas menjadikan beban yang semakin berat. Memang, tidak semua oknum guru mengharuskan para muridnya untuk membeli buku pelajaran secara tunai. Sebagian di antara mereka malah ada yang masih berbaik hati dan membolehkan murid membayar buku secara cicilan, namun seringkali orang tua murid terpaksa membayar cash. Karena, bila tidak dibayar sekaligus, khawatir akan terjadi hubungan kurang harmonis antara guru itu dengan anaknya yang bahkan dapat mengganggu perkembangan belajar. Kenyataannya, ada saja guru-guru yang memberi ancaman sanksi bagi murid-muridnya yang tidak membeli buku pelajaran dari mereka, sekalipun murid yang bersangkutan bisa melengkapi dirinya dengan buku termaksud dengan cara meminjam atau mem-foto kopi buku tersebut. Di sini jelas terkesan, bahwa selama ini para murid bagi kalangan pendidik lebih merupakan obyek ekonomi daripada sebagai obyek pendidikan. Oknum guru sales buku tersebut merasa tertarik bisnis buku di sekolahan tempat mereka mengajar diduga karena memperoleh komisi dari penerbit. Kisarannya pun sangat menggiurkan, yakni sekitar 30-50%. (Kompas, 16/07/04) Bisa dipahami memang, sebab peluang penghasilan tambahan yang relatif besar ini tanpa harus meninggalkan tempat kerjanya. Bisnis perbukuan yang kompetitif, menyebabkan buku-buku pelajaran sekolah tidak hanya dipasarkan secara konvensional (melalui toko buku), tetapi juga melibatkan guru yang bersedia sebagai tenaga pemasaran. Modus operandi semacam ini sudah berlangsung sekitar lima tahun terakhir dan agaknya akan terus berlanjut, karena dinilai lebih efektif dibandingkan dengan pemasaran secara konvensional. Maklum saja, jika usaha sampingan oknum guru itu dari kalangan sekolah swasta. Karena, hal itu dapat merupakan upaya menggali dana dari masyarakat guna menunjang biaya operasional sekolah yang bersangkutan. Namun bila hal yang sama dilakukan juga oleh oknum guru dari kalangan sekolah negeri, bisa terbentur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi setiap pegawai negeri (dalam kasus ini melibatkan pegawai negeri sipil atau PNS). Padahal, sekalipun anggaran sekolah negeri sangat terbatas, sebenarnya anggaran untuk masing-masing sekolah sejenis itu sudah disiapkan negara atau menjadi tanggung jawab pemerintah. Kenyataannya, sebagian oknum guru sekolah negeri tidak kalah gairahnya, jika harus berperan sebagai sales buku-buku pelajaran. Berdasarkan pada Pasal 12B Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kasus penerimaan komisi oleh guru yang berjualan buku di sekolah sangat bisa dikenakan sanksi hukum. Pasal itu berbunyi: (1) "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya." Pada ayat (2) dinyatakan, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (duapuluh) tahun, dan pidana denda minimal Rp 200.000.000,- (duaratus juta rupiah), dan maksimal Rp 1.000.000.000,-- (satu miliar rupiah). Adapun ruang lingkup dari gratifikasi berdasarkan penjelasan Undang-Undang tersebut adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Ketentuan sebagaimana termaktub di dalam pasal 12B ayat (1) baru dinyatakan tidak berlaku bila pelaku melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), sesuai dengan ketentuan pasal 12C ayat (1). Selanjutnya di dalam ayat (2) dinyatakan: "Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tigapuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima." Pihak pemerintah selama ini terkesan membiarkan oknum guru PNS yang berbisnis buku pelajaran di sekolah. Masalahnya, peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja tanpa adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) untuk menindaklanjuti proses hukum secara lebih konkret, dan hal ini merupakan kelemahan pihak pemerintah yang harus segera diatasi agar masalahnya tidak berlarut-larut. Pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional perlu menetapkan aturan aspek teknis yang jelas dalam jalur penjualan buku-buku pelajaran. Aspek teknis itu berkaitan dengan apakah kepala sekolah atau guru boleh menerima komisi dari penerbit atas penjualan buku-buku pelajaran. Kebijakan Depdiknas diharapkan bersifat tegas, konsisten, tanpa adanya keberpihakan pada kepentingan apa pun. Menurut rencana, awal Oktober mendatang, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Indra Djati Sidi akan mengundang Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) -- selaku asosiasi penerbit -- dan bupati/wali kota atau pejabat dinas pendidikan dari tiap daerah untuk membuat nota kesepahaman tentang pengadaan dan penyaluran buku pelajaran. (Kompas, 28/09/04). Ikapi diminta melarang anggotanya menyalurkan buku ke sekolah. Mekanisme penyaluran buku seharusnya melalui took buku, dengan terlebih dahulu memberikan informasi kepada sekolah tentang buku dan terbitan mana saja yang lolos penilaian dan sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Terhadap penerbit yang melanggar kesepakatan ini, Ikapi diminta memberikan sanksi. Pada sisi lain, bupati/walikota bisa memberikan sanksi kepada kepala sekolah yang tetap menjalin transaksi bisnis dengan penerbit. Tak kurang pentingnya pembenahan dari dalam sekolah yang dilakukan kepala sekolah dan tenaga pengajar di masing-masing sekolah. Untuk itu, perlu ada sosialisasi UU tentang tindak pidana korupsi di kalangan guru PNS sekolah tingkat dasar dan menengah, khususnya berkaitan dengan bab gratifikasi. Hal ini mengingat bahwa masalah komisi, diskon, atau rabat, sudah dianggap biasa bagi kalangan PNS. Agar Komite Sekolah/Dewan Sekolah mampu turut menentukan kebijakan perbukuan di sekolah yang sesuai dengan UU, maka eksistensinya harus independen. Masalahnya, keberadaan Komite Sekolah/ Dewan Sekolah selama ini belum menjadi inspirator bagi orang tua murid, melainkan lebih merupakan tukang stempel dari kebijakan pengelola sekolah. Koperasi sekolah bisa dilibatkan, jika buku penunjang memang harus diadakan, asalkan perlu berhati-hati dalam menyeleksi buku pelajaran. Menurut Kepala Pusat Perbukuan, Sugijanto, kini banyak beredar buku pelajaran tak layak pakai. (Suara Pembaruan, 28/09/04). Bisa saja kualitas/pengadaan buku wajib kurang memenuhi harapan guru, maka proses penjualannya tidak langsung oleh guru yang bersangkutan, tetapi sebaiknya dikelola oleh koperasi sekolah. *** (Penulis adalah pengamat masalah sosial dan pendidikan, tinggal di Jakarta). [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> $9.95 domain names from Yahoo!. Register anything. http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/