Kisah Sebuah Nostalgia

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Ketika masih berusia 15 tahun, untuk pertama kalinya penulis meyaksikan
sebuah kampaye Pemilihan Umum (Pemilu). Ketika itu, partai NU (Nahdlatul
Ulama) mengelar kampanye di alun-alun utara kota Jogyakarta. Di atas
panggung, sederetan juru kampanye mengajak para pemilih yang berjumlah
puluhan ribu orang, di samping Kyai Asnawi dari Kudus, yang membawakan
sebuah salawat Nabi Muhammad SAW dan diikuti para hadirin. Dengan hanya
bermodalkan hal itu, partai NU menjadi pemenang ke-3 dalam pemilu, paling
tidak secara nasional.


Tema utama dari kampanye tersebut adalah sesuatu yang sangat simplistik:
menangkanlah partai NU, jika ingin Islam menang.


Dari gambaran di atas, tampak jelas, bahwa kemenangan organisasi atau parpol
(partai politik) Islam adalah kemenangan bagi agama tersebut. Ini dapat
dibilang begitu, karena waktu itu NU berasas Islam. Jadi tidak ada
komplikasi bagi pengakuan, memperjuangkan NU adalah memperjuangkan Islam
pula. Keyakinan ini demikian membara, sehingga dalam tahun 1971 seorang juru
kampanye NU (Kyai Fuad Hasyim dari Buntet Astanajapura di Cirebon) harus
lari dari podium karena tekanan-tekanan berat secara fisik atas dirinya.


Tekanan fisik itu berupa air yang disemprotkan dari pipa sebuah truck
penyemprot air merangkap pemadam kebakaran, kaca-kaca mobilnya juga
dipecahkan oleh lemparan batu salah satu parpol perserta pemilu lain. Kyai
tersebut menerima hal itu sebagai pengorbanan yang dilakukannya bagi Islam,
melalui NU sebagai partai politik.


Jelas dari uraian di atas, dahulu kita beranggapan memenangkan NU
memenangkan Islam. Pengorbanan fisik diberikan, pengorbanan benda (termasuk
uang) dijalani dengan sukarela, semua itu demi kepentingan Islam. Tetapi
mereka yang tidak menjadi warga gerakan Islam, tentu tidak akan dapat
merasakan itu. Hanya saja terdapat sebuah hal negatif, melalui parpol
masing-masing mereka hanya berjuang bagi kepentingan "golongan" sendiri.
Untuk kepentingan golongan Islam atau kalau tidak untuk kepentingan
komunisme tentu untuk kepentingan golongan nasionalis.


Dengan demikian, perjuangan mereka juga meleset dari kepentingan bangsa
secara keseluruhan. Hanya dengan kajian mendalam dan pikiran yang dingin,
dapat di kembangkan pemikiran baru dalam melihat masalah ini.


*****


Pikiran untuk memenangkan golongan sendiri menjadi begitu kuat, dan
memenangkan golongan sendiri dianggap sebagai memenangkan kebenaran. Dengan
demikian, pihak atau golongan lain tidak memperoleh akses sama sekali kepada
kebenaran yang dicari itu. Sebagai akibat, para pemilih lalu menjadi bingung
dan suara mereka pun menjadi terpecah. Itulah sebuah "rahasia" mengapa dalam
pemilihan yang bebas selama ini, suara pemilih menjadi begitu terpecah dan
tidak ada pihak yang memegang dominasi atas kehidupan politik.


Kalau dalam politik saja -yang menjadi ajang pertarungan memenangkan jabatan
antara pihak yang menang dan yang kalah-sudah terjadi "perpecahan" seperti
itu, apalagi dalam kehidupan masyarakat yang demikian prulastik dalam
pemikiran cita-cita, selera dan acuan-acuan konseptual.


Tidak heranlah kita jika kehidupan bangsa secara keseluruhan menjadi
demikian dilematis, dan hal ini mengundang sebuah pendekatan otoriter untuk
memaksakan sebuah pemikiran dalam kehidupan bangsa secara keseluruhan.


Karena itulah Orde Baru mensyaratkan "demokrasi" di negeri kita, yang lambat
laun menjadikan kita bangsa yang sedikit banyak terjajah dan terkukung kaku,
walau tidak dikatakan terjajah dan tertindas.


Perjuangan yang dimulai para mahasiswa untuk merobohkan pemerintah Orde Baru
di tahun 1998, adalah cermin dari penolakan total atas pragmatisme politik
yang menghinggapi pemerintahan Orde Baru. Demikianlah penulis membaca
kejadian demi kejadian yang menimpa bangsa kita. Ketika kemudian reformasi
(di segala bidang) dicari orang, dengan diabdikan kepada kepentingan dan
ambisi politik pribadi sejumlah politisi, yang kemudian menjadi pimpinan
parpol-parpol dan menguasai DPR-MPR, maka terjadilah proses pemiskinan
(povertysasi) pemikiran yang merajalela sekarang ini. Demi melayani ambisi
politik pribadi masing-masing politisi, parpol-parpol yang ingin memenangkan
pemilu yang akan datang, tampaknya hanya dapat ditolong dengan
koalisi-koalisi politik.


Di sinilah nantinya "politik golongan" akan kembali merajalela dan
masyarakat kita kembali akan terpecah belah, balik politik, cultural maupun
ekonomis.


*****


Sekarang berpulang kepada kita semua, apakah akan berpolitik "nostalgia"
seperti itu ? Atau menempuh jalan baru sama sekali. Kalau kita kembali
mengulang masa lampau, yang penuh dengan slogan-slogan ideologis tapi kosong
dari praktek-praktek kongkrit dalam kehidupan masyarakat, maka kita akan
hanya meneruskan sistem politik pemerintahan yang mulai mapan dewasa ini.
Orang tidak tahu lagi beda antara badan-badan eksekutif dan legislatif,
sedangkan badan tertinggi yudikatif (Mahkamah Agung) hanya berdiam diri saja
dalam soal-soal mendasar bagi bangsa kita, kerena ketakutan. Bahkan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) saja sudah mulai dijadikan ajang pertempuran
kepentingan pihak-pihak yang menguasai legislatif.


Ini adalah sebuah kenyataan yang harus diteliti dengan cermat. Sistem
politik pemerintahan inilah yang melahirkan bayi paling aneh dalam sejarah
umat manusia: DPR yang mengusulkan, Presiden yang menentukan calon yang
ditetapkan dari usulan tersebut. Sebagai akibat, maka kedudukan yang harus
masuk dalam daftar usulan DPR itu lalu menjadi ajang permainan uang. Siapa
yang membayar termahal dialah yang akan dicalonkan DPR. Dapatkah diharapkan
dari cara penetapan fungsionaris pemerintahan di dalam dan di luar negeri
seperti ini, dicapai oleh orang-orang yang memang benar-benar diperlukan?


Karenanya dalam pandangan penulis, segala sistem politik pemerintahan kita
sebaiknya diubah sama sekali. Caranya, tidak terlalu sulit secara teoritis.
Berikan kemenangan berupa mayoritas mutlak (single majority) kepada pihak
yang memiliki konsep sistem politik/pemerintahan baru dalam pemilihan umum
yang akan datang. Dengan sistem baru itu, akan tercapai pemerintahan yang
benar-benar kita perlukan untuk masa depan. Ini kalau memang ada keinginan
untuk memperbaiki/membuat sistem baru
di antara para peserta pemilu yang akan datang.


Hanya dengan cara memberikan kedudukan mayoritas mutlak bagi salah satu
peserta pemilu itulah, dapat diharapkan akan terjadi perubahan-perubahan
yang berarti dalam sistem politik pemerintahan kita di masa-masa akan
datang. Memang mudah kedengarannya namun sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 1 Mei 2003


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to