Tahu-tahu Tahun Baru

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Tahu-tahu Ahad. Tahu-tahu Senin. Tahu-tahu Selasa. Tahu-tahu Rabu. Tahu
Kamis. Tahu Jumat. Tahu-tahu Sabtu. Tahu-tahu Januari. Tahu-tahu Februari.
Tahu-tahu Maret. Tahu-tahu April. Tahu-tahu Mei. Tahu-tahu Juni. Tahu-tahu
Juli. Tahu-tahu Agustus. Tahu-tahu September. Tahu-tahu Oktober. Tahu-tahu
November. Tahu-tahu Desember. Tahu-tahu Januari lagi. Tak terasa ya?!



Tak terasa. Berapa umur Anda sekarang? Berapa tahun lagi Anda ingin hidup?
10, 20, 30, atau 50 tahun lagi. Apalah artinya angka-angka ini bila setiap
saat umur kita digerogoti waktu, tidak terasa? Bahkan, sering justru dengan
suka ria kita menyambut dan merayakan tahun baru, seakan-akan kita tak paham
bahwa setiap tahun baru umur kita bertambah dan bertambah umur berarti
sebaliknya: berkurangnya umur.


Bayi dan anak kecil seperti lebih sadar dari kita yang tua-tua. Pertambahan
umur bagi mereka lebih bermakna. Perubahan diri mereka seiring bertambahnya
umur mereka, begitu jelas bisa dilihat. Dari tengkurap, merangkak, misalnya,
menjadi bisa berjalan; dari tak bisa bicara, ngoceh tanpa makna, hingga
lancar bicara; dari kemlucu, kemeplak, hingga jemagar; dari suka
bermain-main hingga suka bersolek; dsb, dst. Semuanya dapat jelas terlihat.
Bandingkan dengan kita yang tua-tua ini. Apa perubahan yang dapat dilihat
dari kita?


Kesibukan kita -entah apa?- tetap saja yang itu-itu. Berlari ke sana,
berlari ke sini. Yang memburu harta, terus memburu harta. Yang berebut
kursi, tetap tak berubah berebut meja, misalnya. Yang pamer kepintaran atau
kekayaan, terus pamer seperti tak kunjung yakin bahwa kepintaran atau
kekayaannya sudah diketahui. Yang bertikai tak pernah berubah menyadari
kesia-siaannya. Yang menipu, yang korup, yang merekayasa kejahatan, yang
nyogok, yang disogok, yang selingkuh, dst, meski sudah konangan, masih terus
tak berhenti. Berapa tahun lagi mereka ini akan istiqamah berlaku demikian?
10, 20, 30, 50 tahun lagi. Ataukah menunggu dikejutkan maut? Bukankah mereka
yang tidak pernah menyadari dan memikirkan perubahan waktu -karena sibuk
menjalaninya dengan kegiatan rutin tanpa mengevaluasi- berarti menunggu
kematian yang mendadak?


Bacalah berita! Simaklah isu dan opini yang berkembang di tanah air,
terutama beberapa tahun terakhir ini! Bukankah yang itu-itu saja yang kita
dengar? Reformasi, KKN yang hanya terus dibicarakan. Pemimpin yang terus
tidak jelas ke mana kita ini akan dipimpin. Kebijaksanaan yang sering sangat
tidak bijaksana terus saja dilakukan. Hukum yang terus dibuat permainan.
Pertikaian antarkelompok dan perorangan yang terus terjadi. Penggusuran dan
pelecehan hak rakyat yang terus berjalan. Politik praktis yang -seperti
Inul- terus menggoyang dan diedani. Para politisi yang terus berebut
kekuasaan. Rakyat yang terus dijadikan objek. Penggelapan di
departemen-departemen dan lembaga-lembaga penting yang tak kunjung kapok.
Pencurian besar-kecil, kasar-halus, yang terus merebak. Pemaksaan kehendak
yang terus sok hebat. Dan sebagainya dan seterusnya.


Kalau kita amati 'perilaku monoton' ini secara cermat, kita bisa telusuri
akarnya pada kegandrungan orang kepada dunia yang berlebihan. Kepentingan
dunialah yang menjadikan orang arif menjadi bebal, orang pintar menjadi
bloon, orang ramah menjadi sangar, orang waras menjadi majnun, orang sopan
menjadi kurang ajar, saudara lupa saudaranya, manusia menjadi binatang atau
bahkan setan. Geledahlah diri! Mengapa kita tega membiarkan anak kita tak
terdidik? Mengapa kita enteng merusak alam? Mengapa orang tak malu menilap
harta rakyat? Mengapa kita berkelahi dengan saudara kita sendiri? Mengapa
tanda gambar partai kita lebih kita agungkan katimbang bendera Merah Putih
dan lambang garuda? Mengapa kita yang beragama Islam lebih asyik membaca
koran daripada Quran? Mengapa ayat tidak kita ikuti, tapi kita buat
mengikuti kita? Mengapa nurani dan akal sehat kita kalahkan dengan hawa
nafsu? Mengapa memenangkan partai lebih kita pentingkan daripada memenangkan
persaudaraan bangsa? Mengapa kepentingan sesaat kita menangkan dari
kepentingan Indonesia? Bila kita jujur, kita akan menemukan jawaban itu
semua pada itu tadi: kegandrungan yang berlebihan kepada dunia. Benar sekali
dawuh yang menyatakan Hubbud dunya raasu kulli khathiiatin, gandrung dunia
adalah sumber dari setiap kesalahan.


Namun sebebal-bebal orang bebal, sebloon-bloon orang bloon, sesangar-sangar
orang sangar, se-majnun-majnun orang majnun, sekurang ajar-kurang ajar orang
yang kurang ajar, selupa-lupa orang lupa, masak suatu saat tidak
tersadarkan, misalnya, oleh umur yang kian menipis setiap tahun. Masak
sekian banyak pemimpin akan terus lupa semua ke arah mana akan dibawa
orang-orang yang mereka pimpin. Masak sekian banyak politisi akan terus
mbadut, padahal sudah lama tak lucu. Masak sekian banyak penegak hukum akan
terus melecehkan hukum semua. Masak sekian banyak orang yang mengaku membela
dan mewakili rakyat akan terus tak mau tahu kepentingan rakyat. Masak sekian
banyak penjabat akan terus berpikir jabatan itu langgeng. Masak sekian kali
pemilu masih tak kunjung bisa mendewasakan kita dalam berdemokrasi. Masak
sekian kemelut yang melanda tak kunjung menyadarkan sekian banyak makhluk
berpikir. Masak sekian banyak manusia akan terus lupa menyadari
kemanusiaannya yang mulia. Masak Allah Yang Maha Rahman akan terus dilupakan
hamba-hamba-Nya. Masak bertabahnya umur terus tak kunjung menambah kearifan?


Inilah -husnudzdzann atau kepercayaan tentang kemurahan Allah dan keaslian
manusia yang dimuliakan-Nya. Inilah yang masih membuat kita sedikit
optimistis menyambut tahun baru. Menyambut masa depan kita sendiri.

Selamat Tahun Baru! Semoga kita dan negeri kita selamat!


KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke