Ulama dan Kiai

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Boleh jadi pengaruh dan penyerapan dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia tak kalah banyak daripada sumbangan bahasa asing lain, terutama
bahasa Inggris. Kita melihat banyak sekali kosa kata kita yang merupakan
serapan dari -atau "rakitan" dengan bahan baku- bahasa Arab.



Contoh paling mencolok adalah istilah-istilah yang digunakan untuk
lembaga-lembaga legislatif kita. Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya,
berasal dari kata Arab majlis, musyawarah, dan raa'iyah. Dewan Perwakilan
Rakyat dari diiwaan, wakiil, dan ra'iyah. Dewan Perwakilan Daerah pun
demikian. Kata daerah diambil dari daairah.


Bahasa Arab juga banyak menyerap bahasa asing, namun galibnya terbatas pada
istilah-istilah baru yang tak ada di Arab. Misalnya, kata sijarah dari
cigarette, telefuun dari telephone, telefeziyuun dari television, dan
dimukrathiyah dari demokrasi. Kata-kata seperti itu mereka sebut mu'arrab,
yang diarabkan.


Berbeda dari kata-kata mu'arrab yang umumnya terbatas pada istilah-istilah
baru yang memang tidak ada dalam kamus Arab. Kata-kata Arab yang
diindonesiakan sering mengalami pergesaran dari makna aslinya atau sengaja
diberi muatan makna lain karena tidak tahu atau karena kepentingan tertentu.



Ada beberapa istilah yang diambil dari bahasa Arab itu yang kemudian rancu
atau dirancukan orang dengan istilah asli dari sononya. Istilah ulama yang
sudah mengindonesia dirancukan dengan 'ulamaa yang masih asli Arab. Di Arab,
kata 'ulamaa adalah bentuk jamak dari 'aalim/aliim, berasal dari
'alima-ya'lamu yang berarti mengetahui. 'Ilmu = pengetahuan dan
'aalim/'aliim = orang yang berpengetahuan. Jadi, 'ulamaa adalah orang-orang
yang berpengetahuan.


Karena itu, dalam bahasa Arab, orang-orang semacam Isaac Newton hingga
Habibie kita yang ahli pesawat terbang termasuk golongan 'ulamaa. Jadi,
bukan hanya tokoh-tokoh yang seperti para sahabat dan para mujtahid yang
bukan saja ahli dalam ilmu ke-Ilahi-an, tapi juga dalam amaliah. Meskipun,
lazimnya istilah 'ulamaa memang dimaksudkan untuk yang terakhir ini (dan
yang sejenis itu pada zaman ini, tampaknya, stock-nya sudah habis).


Setelah ditaklukkan (ini istilah Rendra) ke dalam bahasa Indonesia menjadi
ulama, bentuknya berubah tak lagi jamak, tapi mufrad, satu. Jadi, sebagai
orang Indonesia , Anda bisa dan sah, misalnya, mengatakan "Seorang ulama
besar" atau "Wahai para ulama!". Ulama dalam bahasa Indonesia memang berarti
seorang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Kita tahu, tidak semua amaliah orang yang ahli dalam sesuatu
bidang pengetahuan bersangkut-paut dengan pengetahuannya. Ada ahli hukum
yang tidak menghargai hukum, ada dokter hewan yang tidak pernah menyentuh
hewan, ada ahli jiwa yang sakit jiwa, dan sebagainya.


Demikian pula dengan ulama, ahli agama Islam, juga ada -kalau tidak banyak-
yang amaliahnya tidak atau kurang Islami. Apalagi, kita tahu sendiri,
pengetahuan agama di kita masih belum terlalu beranjak dari simbol-simbol
belaka (Majelis Ulama Indonesia saja masih lebih sibuk ngurusi label halal
dan logo kaset musik daripada ikut ngurusi koruptor serta tindakan arogansi,
misalnya. Padahal, korupsi jauh lebih menjijikkan daripada minyak babi dan
arogansi. Atau, takabur jauh lebih gawat akibatnya daripada logo kaset).


Yang berbeda dari istilah ulama adalah istilah kiai. Istilah kiai adalah
istilah budaya (Jawa), bukan terjemahan dari ulama. Orang Jawa mempunyai
kebiasaan menyebut kiai kepada apa atau siapa saja yang mereka hormati,
bahkan mereka keramatkan. Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten adalah benda. Kiai
Slamet adalah hewan. Para pendiri NU yang umumnya dari Jawa menamakan
jam'iyah mereka dengan Nahdlatul Ulama. Saya kira, itu karena mereka tidak
menemukan padanan kata kiai, lalu mengambil yang agak mirip. Karena pada
waktu itu peran kiai -yang relatif cukup menguasai ajaran Nabi Muhammad SAW-
memang sejauh mungkin meniru peran para sahabat, tabi'iin, dan para
mujtahid, terutama di dalam ri'aayatul ummah, mengawani umat; melihat umat
dengan kacamata kasih saying. Menolong mereka yang perlu ditolong, mengajar
mereka yang tidak tahu, mengingatkan mereka yang lupa, dan seterusnya. Dan,
itu mereka lakukan tanpa pamrih, kecuali rida Allah.


Jadi, kiai -yang kemudian disinonimkan dengan ulama- adalah istilah yang
diberikan masyarakat atau menurut istilah Arief Budiman: produk masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah itu semakin meruwetkan ketika
kemudian masyarakat tidak lagi bisa "memonopoli" dalam "memproduksi" kiai.
Kata Arief Budiman, pemerintah juga bisa memproduksi kiai/ulama. Pers juga
bisa. Dan, saya menambahkan, ada kiai/ulama produk partai dan produk
sendiri. Yang terakhir itu cukup dengan modal -selain aksesori seperti
kopiah, serban, dan tasbih- punya sedikit kemampuan akting, punya hafalan
beberapa ayat dan satu-dua hadis, sukyur sedikit-sedikit bisa ndukun. []



KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke