[ Rabu, 17 September 2008 ] Musibah Berebut Berkah Oleh A. Mustofa Bisri * 

Ramadan mestinya merupakan bulan berkah. Tapi, kita dikejutkan oleh suatu 
peristiwa yang memilukan sekaligus luar biasa aneh: 21 nyawa melayang saat 
pembagian zakat. Musibah apa ini, ya Allah! Seorang kaya di Pasuruan, yang 
agaknya tidak percaya dengan amil zakat mana pun, mengundang para mustahiq 
zakat untuk diberi zakat. Melebihi BLT (bantuan langsung tunai), orang-orang 
pun berbondong-bondong datang dan berdesak-desakan mengambil zakat. Dan 
berakibat jatuhnya banyak korban terinjak-injak. 

Seperti biasa, beberapa tokoh agama langsung memberikan komentar. Ada yang 
menyalahkan si orang kaya pemberi zakat. Bahkan, ada yang terang-terangan 
menyatakan bahwa kejadian yang mengenaskan itu akibat si orang kaya pamer 
kekayaan. Ada yang mengatakan bahwa kejadian tersebut akibat orang tidak 
percaya dengan badan amil zakat yang ada.

Bagi kita yang terbiasa menyalahkan orang, sangatlah mudah mencari kambing 
hitam. Kambing hitam dalam peristiwa tragis itu bisa si orang kaya yang 
berzakat yang (niatnya mungkin tidak pamer, tapi agar orang-orang kaya lainnya 
mau juga berzakat) tidak memperhitungkan caranya; bisa mereka yang berebut 
zakat yang tidak sabaran; bisa para tokoh agama yang seharusnya memberikan 
taushiyah kepada masyarakat dalam soal keagamaan; dan sangat bisa pemerintah 
yang berkewajiban dan berhak mengangkat amil zakat untuk menyejahterakan dan 
melindungi rakyat.

***

Tapi marilah, mumpung masih berada di bulan Ramadan, setelah menyampaikan 
belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada mereka yang terkena musibah, mari 
kita merenung sejenak mencari akar masalah mengapa terjadi musibah seperti di 
Pasuruan itu? Saling menyalahkan atau hanya mencari kambing hitam terbukti 
tidak memecahkan masalah dan sering justru hanya menambah permasalahan.

Siapakah mereka yang begitu bersemangat memenuhi undangan si orang kaya itu? 
Mereka rata-rata adalah perempuan. Kaum ibu yang sehari-hari dipusingkan oleh 
masalah dapur dan belanja kebutuhan keluarga. Anak-anak di bulan puasa ini 
minta menu bukanya lebih enak daripada biasanya. 

Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok di pasar semakin tidak terjangkau dan 
hari raya akan datang pula. Maka, anehkah bila mereka begitu bersemangat 
menyambut undangan si dermawan sehingga dibela-belain berdesakan untuk 
mendapatkan "berkah'' zakat?

Kalau kita perhatikan, peristiwa seperti yang terjadi di Pasuruan -atau 
peristiwa-peristiwa berdesakan berebut "berkah'' lainnya di tempat-tempat lain- 
itu tampaknya mengiringi zaman di mana "ketergantungan" masyarakat pada materi 
sudah sedemikian mengerikan. 

Kepentingan duniawi sudah menjadi "Tuhan" yang dapat menggiring orang yang 
berakal melakukan hal-hal yang tidak masuk akal; membuat orang terhormat 
mencampakkan kehormatannya; membuat orang beragama menjual agamanya; membuat 
saudara tega terhadap saudaranya; dan sebagainya.

Peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti itu tidak terbayangkan bisa terjadi di 
zaman dulu di saat masyarakat masih menganggap hidup di dunia ini hanya mampir 
ngombe, singgah minum sebentar. Di saat hidup sederhana masih menjadi budaya 
yang dipujikan. Di saat pasar rakyat masih belum dijuluki pasar tradisional 
yang harus mengalah dengan mal-mal dan supermarket-supermarket. Di saat 
masyarakat belum dijejali setiap hari oleh iming-iming TV agar menjadi 
konsumtif dan hedonis. 

Mumpung masih di bulan suci Ramadan, yang kata para kiai dan ustad bulan 
pelatihan mengendalikan diri, apabila kita setuju bahwa akar masalah -hampir 
semua masalah-dalam masyarakat adalah akibat kecintaan yang berlebihan terhadap 
materi dan pemanjaan yang kelewatan terhadap jasmani sehingga melupakan ruhani, 
usul yang paling masuk akal saya ialah: marilah kita kampanyekan untuk kembali 
kepada budaya hidup sederhana. Memandang dunia dan materi secara pas, hanya 
sebagai sarana dan alat dan bukan tujuan hidup.

Atau Anda punya pendapat lain dan usul yang lebih masuk akal? 

* H A. Mustofa Bisri , pengasuh Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa 
Tengah. Dikenal pula sebagai kolumnis di banyak media. 
 


      

Kirim email ke