http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/5/2/o4.htm
Senin Wage, 2 Mei 2005 Artikel Kalau Wajar 9 tahun masih harus dipertahankan, maka target utamanya bukan lagi sekadar ''melawan'' buta huruf. Sebab, seiring dengan perkembangan media informasi masyarakat secara alamiah belajar dengan sendirinya. Justru yang harus menjadi orientasi utama pendidikan dasar dan menengah adalah menciptakan masyarakat yang tidak ''gagap moral dan intelektual''. Hardiknas: Haruskah Menyalahkan Sekolah Biaya Mahal? Oleh Abd. Sidiq Notonegoro SEKOLAH mahal tidak semua sekolah harus dihapuskan. Karena sekolah mahal ''pada umumnya'' selain menjanjikan kualitas pendidikan yang lebih baik, juga menyandang popularitas yang cukup diperhitungkan di dunia kerja. Justru yang harus diberantas adalah lembaga-lembaga pendidikan yang menjanjikan kelulusan ataupun gelar dengan sekadar mengeluarkan dana, baik mahal ataupun murah, tetapi tidak melalui sistematika proses belajar menurut mekanisme yang benar dan wajar. Ilmu memang Mahal Pepatah Barat kaum kapitalis menyebutkan, ''tidak ada sarapan pagi gratis''. Patut diketahui, bahwa tidak semua cabang ilmu pengetahuan yang harus dipelajari itu mahal. Juga tidak semua perguruan tinggi memasang tarif mahal, tanpa harus mengorbankan jaminan kualitas pendidikan. Ada beberapa jurusan studi yang aplikasi praktisnya pada dimensi sosial. Inilah jurusan-jurusan yang menawarkan biaya murah. Menariknya, jurusan ini merupakan jurusan yang paling tidak diminati orang. Sebab, sudah dapat ditebak, pangsa pasarnya pascamenyelesaikan studi di sini non marketable. Di sisi lain, para ''tukang sekolahan'' ini bercita-cita untuk dapat ''menjual'' dirinya dengan harga mahal. Oleh karena itu, sesungguhnya naiknya tarif pendidikan sebenarnya tidak terkait langsung dengan adanya imbauan untuk ''berilmu pengetahuan'', atau berkait dengan Wajar (Wajib Belajar) 9 tahun. Apalagi tujuan Wajar yang (memang) tidak jelas. Kalau sekadar untuk bisa ''baca-tulis, dan hitung'' secara sederhana, maka anak didik tidak perlu harus masuk sekolah pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 13.00 siang. Justru akan dapat menjenuhkan anak didik. Pun banyak anak di pinggir jalan yang tidak harus masuk sekolah-sekolah formal, mampu ''baca-tulis-hitung''. Penjual koran jika kita amati secara serius, di sela-sela waktu istirahat tidak jarang yang menyempatkan untuk membaca, walau sekadar pada sesobek koran bekas. Lalu apa yang harus menjadi target Wajar 9 tahun? Wajar 9 tahun hanyalah untuk mengejar predikat formal. Maka kalau Wajar 9 tahun masih harus dipertahankan, maka target utamanya bukan lagi sekadar ''melawan'' buta huruf. Sebab, seiring dengan perkembangan media informasi masyarakat secara alamiah belajar dengan sendirinya. Justru yang harus menjadi orientasi utama pendidikan dasar dan menengah adalah menciptakan masyarakat yang tidak ''gagap moral dan intelektual''. Mengapa Pendidikan Mahal? Beberapa PTN dan PTS memasang tarif yang gila-gilaan. Akibatnya, sebagian besar orangtua dan anak-anak lulusan SMA kelimpungan. Impian untuk dapat kuliah di UGM, UI, ITB, ITS dan sebagainya seakan sedang dihadang ''ranjau'' yang membahayakan masa depan. Padahal, PTN favorit tersebut hanya menyediakan 10-15% saja untuk dapat diraih dengan jalur khusus? Maksudnya khusus untuk yang berani membayar mahal dengan konsekuensi tanpa melalui tes yang rumit. Sedangkan 85-90% tetap melalui jalur seperti biasanya, dengan membayar biaya pendidikan yang juga seperti biasanya. Dengan catatan harus dapat lolos tes akademik. Persoalannya, mengapa biaya pendidikan di UGM, ITB, ITS, UI menjadi mahal? Tidak lain karena PTN ini memang sangat marketable. Maka mengikuti hukum ekonomi, ''biaya tinggi'' ini mengikuti ''permintaan yang naik'' dari masyarakat untuk dapat belajar di PTN ini. Di sisi lain, dengan otonomi kampus, kampus diharuskan mampu mengelola lembaganya sendiri tanpa bantuan dana dari pemerintah. Memang cukup dilematis, di satu sisi lembaga pendidikan dituntut untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam hal memberikan pelayanan pendidikan secara baik. Tetapi secara paradoks, masyarakat ternyata tidak mau memberikan pelayanan yang baik kepada lembaga pendidikan. Padahal, rumah jompo saja membutuhkan biaya yang besar, paling tidak untuk membayar para perawat orang-orang yang tidak produktif lagi, apalagi dengan lembaga pendidikan yang justru bertanggung jawab untuk menjadikan manusia agar produktif. Karena itu, kalau kita mengikuti logika kaum kapitalis wajar-wajar saja lembaga pendidikan tinggi menjadi lembaga bisnis yang profit oriented, sebab mahasiswa yang hendak kuliah di situ juga (dapat dikatakan) 99,9% untuk mengejar profit pula. Program studi yang sangat diminati mahasiswa adalah yang menjanjikan peluang meraup keuntungan material di masa depan. Jika demikian halnya, maka boleh-boleh saja perguruan tinggi favorit menjadi jual mahal. Karena bagaimana pun yang begitu gigih untuk masuk di kampus tersebut sudah sejak awal didasari oleh semangat kapitalisme dan materialisme, yaitu agar setelah lulus mudah mendapatkan pekerjaan yang menggiurkan. Memulai dari Rumah Menarik gambaran cita-cita pelajar Jepang yang begitu sederhana dan praktis, tetapi penuh harapan, roh, dan semangat hidup. Dibandingkan dengan cita-cita pelajar kita yang terkesan muluk-muluk dan keluar tanpa sadar (Jawa: ngelindur). Hal ini terjadi, kembali pada sistem pendidikan keluarga. Dari rumah, sejak dalam timangan orangtua sampai menjadi sarjana anak didik telah terprogram menjadi kapitalis dan materialis murni. Orangtua cenderung memprogram agar anak kelak menjadi ''mesin uang''. Dari rumah sampai sekolah anak terkondisikan dalam sistem ''budak''. Di rumah tidak boleh membantah perilaku orangtua walau jelas-jelas salah, begitu pula di sekolah. Guru ibarat dewa ilmu pengetahuan yang tidak dapat salah. Ucapan orangtua dan guru ibarat sabda pandita ratu. Ucapan yang selalu mengandung kebenaran yang tak terbantahkan. Menentang berarti kurang ajar, durhaka dan akhirnya kualat. Anak sekolah agar kelak jadi dokter, politisi, konglomerat dan sebagainya. Hampir tidak ada pesan orangtua kepada anak yang hendak berangkat sekolah ''agar jadi anak cerdas'' dan bermoral. Akibatnya, anak terbiasa untuk bagaimana sekolah cepat lulus, nilai bagus tanpa harus menjadi orang cerdas atau pandai. Kuliah anak dituntut untuk masuk program studi yang menjanjikan profit di masa depan dan sebagainya. Karena itu, salahkah jika biaya sekolah harus mahal? Bukankah saat ini justru sekolah mahal merupakan favorit yang diburu orang? Sekolah dengan biaya murah ibaratnya ''kacang goreng''. Akhirnya, kalau kita berpikir untuk selalu masuk sekolah dengan biaya murah maka sebenarnya masih banyak yang membuka peluang. Namun orientasinya masih orientasi sosial. Karena itu, maukah kita kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa untuk menjadi guru di SLB, atau ke fakultas agama yang jika lulus bertanggung jawab dalam pembinaan moral masyarakat? Mengapa jurusan semacam itu sepi peminat? Apakah karena tidak marketable? Jika demikian maka biarlah ''pendidikan ala pasar'' terus berjalan. Penulis, dosen FAI Univ. Muhammadiyah Gresik [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/