Hermeneutika dan Fundamentalisme 

Senin, 17 Desember 2007 

Dosen IAIN mengatakan, ciri fundamentalis adalah orang-orang yang 
menolak hermeneutika. Kok bisa?. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] 
Adian Husaini ke-216 

Oleh: Adian Husaini 
  
Ahad (9/12/2007) lalu, di Solo, seorang mahasiswa pasca sarjana 
Universitas Muhammadiyah Surakarta memberi saya sebuah buku berjudul 
Is Religion Killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan 
al-Qur'an). Sudah cukup lama saya memiliki edisi bahasa Inggris buku 
karya Jack Nelson-Pallmeyer tersebut. Banyak hal bisa dikritisi dari 
isi buku ini, karena penulisnya sudah menggugat kesucian teks 
Al-Quran. Misalnya, penulis berkesimpulan, bahwa Masalah Islam yang 
identik dengan kekerasan tidak hanya sebatas adanya ketidaksesuaian 
teks-teks, tetapi berakar pada banyaknya ayat-ayat dalam Qur’an yang 
melegitimasi kekerasan, peperangan dan intoleransi. (hal. 165). 

Penulis buku ini juga dengan semena-mena membuat kesimpulan, bahwa 
Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut 
monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum 
beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah 
yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti 
teks-teks suci tersebut. (hal. 180). 

Tapi, Nelson-Pallmeyer menulis buku tersebut, berangkat dari 
pengalaman dan pemahamannya sebagai seorang Kristen di Barat. 
Pemahamannya terhadap Al-Quran dan Islam tampak dangkal. Maka, yang 
lebih menarik, adalah membaca kata pengantar edisi bahasa Indonesia 
buku ini yang ditulis oleh tokoh Katolik Dr. Haryatmoko S.J. dan 
khususnya oleh Dr. Hamim Ilyas, seorang dosen UIN Yogya yang juga 
anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. 

Karena cukup menarik, kita perlu menyimak kata pengantar Dr. Hamim 
Ilyas yang berjudul "Akar Fundamentalisme Dalam Perspektif Al-Qur'an". 
Berikut ini paparan Hamim Ilyas tentang fundamentalisme: 

Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius 
(mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga 
yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, taoi juga 
doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh 
tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu 
A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir 
al-Shadr, Abd as-Salam Faraq, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi. 

Menurut Hamim Ilyas, Karakteristik fundamentalisme adalah 
skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang 
merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan 
itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang 
kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, 
reinterpretasi dan pengurangan. 

Lalu, Hamim melanjutkan tulisannya tentang fundamentalisme dengan 
mengutip pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty, dengan 
menjelaskan sebagai berikut: 

Pertama, oposionalisme. Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil 
bentuk perlawanan yang bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman 
yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, 
baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. 
Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja 
adalah kitab suci, yang dalam fundamentalisme Islam adalah Al-Quran 
dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi. 

Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak 
sikap kritis terhadap teks. Teks Al-Qur'an harus dipahami secara 
literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu 
memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian 
tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu 
sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam kompromi dan 
menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. 

Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum 
fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap 
teks kitab suci. 

Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum 
fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis 
telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci... 
Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan 
a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk 
masyarakat ideal seperti pada zaman kaum salaf yang dipandang 
mengejawantahkan kitab suci secara sempurna. 

Karakteristik fundamentalisme yang telah mengakar membawa konskuensi 
logis munculnya doktrin-doktrin yang justru mengekang, menyiksa diri 
dan membatasi ruang gerak, bukannya membebaskan. Doktrin sentral 
fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak 
hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang 
secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam 
kehidupan pribadi maupun sosial, tulis sang dosen tafsir UIN Yogya 
ini. 

Ditambahkan lagi, bahwa Akar fundamentalisme yang berasal dari 
kesalahan menafsirkan teks suci al-Qur'an ternyata benar-benar 
mencoreng nama Tuhan (Allah Swt) dan al-Qur'an itu sendiri. Menjadikan 
Islam sebagai idoelogi yang mendorong timbulnya ekstrimisme dan 
radikalisme dapat diyakini sebagai perilaku berlebih-lebihan dalam 
beragama yang jelas-jelas dilarang. 

Demikianlah kutipan paparan Dr. Hamim Ilyas tentang fundamentalisme. 

Ringkasnya, menurut Hamim Ilyas, fundamentalis adalah orang-orang yang 
skripturalis atau literalis dalam memahami Al-Quran, menolak 
hermeneutika, menolak pluralisme, menolak relativisme dan sebagainya. 
Paparan dosen tafsir UIN Yogya tentang fundamentalisme Islam” ini 
sebagaimana banyak cendekiawan lainnya masih sebatas membeo definisi 
fundamentalisme yang aplikasikan oleh para ilmuwan Barat yang merujuk kepada 
pengalaman sosial-keagamaan kaum Yahudi dan Kristen. Jika dicermati, tulisan 
ini sebenarnya serampangan dan asal-asalan. 

Kita tentu sudah maklum, bahwa istilah dan wacana fundamentalisme 
keagamaan dikembangkan oleh Barat menyusul berakhirnya Perang Dingin. 
Seperti ditulis Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilization 
and the Remaking of World Order, bahwa adalah manusiawi untuk membenci 
karena untuk penentuan jati diri dan membangun motivasi, masyarakat 
perlu musuh. (It is human to hate. For self definition and motivation 
people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, 
opponents in politics). 

Sejak itu, wacana fundamentalisme keagamaan, khususnya 
fundamentalis Islam dikembangkan. Banyak sarjana dibayar untuk 
meneliti dan menulis tentang masalah ini. Seminar-seminar tentang 
fundamentalisme digelar. Media massa memainkan peran yang dominan 
dalam pembentukan opini negatif tentang kaum yang dicap sebagai 
fundamentalis. 

Istilah-istilah Islam fundamentalis, Islam eksklusif, Islam 
militan, Islam radikal,Islam konservatif, dan sejenisnya memang 
sering digunakan untuk memberikan stigma negatif terhadap 
kelompok-kelompok Islam yang pemikirannya tidak sejalan dan tidak 
disukai oleh Barat. Ilmuwan Yahudi, Prof. Bernard Lewis, dalam bukunya 
The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat 
dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. 
(Fundamentalists are anti-Western in the sense that they regard the 
West as the source of the evil that is corroding Muslim society). 

Dalam Catatan Pinggirnya” di Majalah Tempo, 27 Januari 2002, Gunawan 
Muhammad menutup tulisannya dengan kalimat: Fundamentalisme memang 
aneh dan keras dan menakutkan: ia mendasarkan diri pada perbedaan, 
tetapi pada gilirannya membunuh perbedaan.Lalu, pada pidatonya di 
Taman Ismail Marzuki Jakarta, 21 Oktober 1992, Nurcholish Madjid 
mengatakan: Kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya 
dengan narkotika. 

Genderang perang yang ditabuh oleh Barat dan sekutu-sekutunya dalam 
melawan fundamentalisme agama tentu saja dibuat dalam perspektif Barat 
dan untuk kepentingan Barat. Karena itulah, proyek ini mendapatkan 
kucuran dana yang sangat besar. Salah satu yang menonjol adalah proyek 
liberalisasi Islam. Karena itu, kita tentu maklum dengan munculnya 
orang-orang seperti Hamim Ilyas ini, yang entah karena 
ketidaktahuannya atau karena hawa nafsunya membuat opini-opini yang 
menyudutkan kaum Muslim dan cendekiawan Muslim tertentu seperti 
al-Maududi, dengan memberi stigma negatif semacam fundamentalis dan 
sebagainya. 

Kita bisa saja tidak setuju dengan sebagian pemikiran Hasan al-Banna 
atau Abul A'la al-Maududi. Tetapi, untuk apa memberi cap bahwa mereka 
adalah fundamentalis, literalis, anti-pluralis, dan sebagainya? 
Tuduhan-tuduhan seperti ini sebenarnya sangat naif dan bodoh, apalagi 
dilakukan oleh seorang doktor dan dosen tafsir. Abul A'la al-Maududi, 
misalnya, adalah pemikir besar yang karya-karyanya telah memberi 
inspirasi dan manfaat bagi jutaan kaum Muslim di seluruh dunia. 

Lalu, dikatakan oleh Hamim Ilyas, bahwa salah satu ciri fundamentalis 
adalah menolak hermeneutika. Pada muktamarnya di Boyolali tahun 2004, 
NU juga menolak penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa NU juga 
fundamentalis? Di Muhammadiyah sendiri, banyak tokohnya yang telah 
menulis secara kritis bahaya penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. 
Apa mereka semua itu adalah kaum fundamentalis? 

Jika dikatakan Hamim Ilyas, bahwa doktrin sentral fundamentalisme 
adalah Islam kaffah” maka, pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 
juga telah ditetapkan tujuan jangka panjang Persyarikatan 
Muhammadiyah, yakni tumbuhnya kondisi dan faktor-faktor pendukung 
bagi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Bukankah 
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang mau diwujudkan oleh 
Muhammadiyah juga sesuai dengan konsep Islam kaffah?Apa 
Muhammadiyah juga dicap fundamentalis karena mencita-citakan 
terbentuknya masyarakat Islam yang kaffah? 

Kita pun patut bertanya kepada doktor tafsir UIN Yogya ini, apa 
salahnya jika kaum Muslim ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam 
seluruh aspek kehidupannya? Apa salahnya jika kaum Muslim menolak 
paham Pluralisme Agama, sebagaimana telah difatwakan oleh MUI dan 
banyak ulama lainnya? Sebelum MUI menolak paham ini tahun 2005, pada 
tahun 2000, Vatikan juga telah terlebih dahulu menolak paham tersebut. 
Juga, apa salahnya jika kaum Muslim menolak paham relativisme, yang 
memang merupakan paham yang merusak pikiran dan keimanan? 

Sebenarnya, jika dicermati, sang dosen UIN Yogya ini pun tidak 
konsisten dengan paham relativisme yang diagungkannya sendiri. Lihat 
saja, gaya tulisannya yang menghujat dan menyalah-nyalahkan apa yang 
disebutnya paham fundamentalisme! Artinya, dalam hal ini, dia juga 
telah menjadi fundamentalis, karena merasa sok benar sendiri, dan 
tidak menerima pandangan lain, selain pandangannya sendiri. 

Di akhir tulisannya, Dr. Hamim Ilyas mengkaitkan aksi terorisme dengan 
tafsir fundamentalis. Katanya: Akhirnya, terorisme yang dilakukan 
oleh sebagian umat Islam, dalam kenyataannya merupakan fakta yang 
direkayasa, mungkin oleh Barat dan mungkin juga oleh Al-Qaidah 
pimpinan Usama bin Ladin. Perbuatan mereka yang merusak itu sedikit 
banyak berhubungan dengan tafsir fundamentalisme ini sebagai basis 
ideologis. 

Kesimpulan yang mengaitkan terorisme dengan tafsir keagamaan 
sebenarnya terlalu jauh. Ada yang menarik kesimpulan sederhana, karena 
pelaku aksi pengeboman membaca buku-buku Ibn Taimiyah, kemudian 
dikatakan, bahwa buku Ibn Taimiyah adalah sumber terorisme. Padahal, 
ratusan juta orang telah membaca karya-karya Ibn Taimiyah, dan mereka 
tidak melakukan pengeboman. Karena itulah, ada sebagian politisi Barat 
yang meminta agar Al-Quran dilarang, hanya karena dia melihat para 
pelaku pengeboman juga membaca Al-Quran. 

Dengan menggunakan sedikit saja kecerdasan, kita bisa membuktikan, 
bahwa aksi-aksi terorisme yang terjadi di berbagai penjuru dunia 
bukanlah dipicu oleh paham keagamaan, tetapi lebih banyak dipicu oleh 
faktor eksternal, terutama faktor ketidakadilan. Para pengikut Hasan 
al-Banna di Palestina melakukan aksi jihad yang oleh Zionis Israel 
dikatakan sebagai terorisme” -- karena mereka terjajah dan terzalimi 
di negerinya. Di zaman penjajahan Belanda, kita juga membanggakan 
pahlawan-pahlawan kita yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk 
meraih kemerdekaan, meskipun oleh penjajah dilabeli dengan kaum 
ekstrimis, dan sebagainya. Di Indonesia, para pengkit Hasan al-Banna 
atau pengagum Abul A'la al-Maududi tidak melakukan aksi-aksi 
pengeboman. 

Karena itulah, sangatlah tidak tepat jika masalah fundamentalisme dan 
terorisme dikaitkan dengan penolakan terhadap hermeneutika dan 
relativisme. Ini sudah sangat berlebihan dan keterlaluan dalam 
membebek dan membeo saja pada pendapat ilmuwan Barat. Orang yang menolak 
penggunaan metode hermeneutika dan menggunakan ilmu Tafsir untuk memahami 
Al-Quran sudah dimasukkan kotak maut bernama 
fundamentalis. Bahkan, kaum Muslim yang meyakini kebenaran agamanya 
sendiri, yang berjuang untuk menjadi Muslim yang kaffah juga divonis 
sebagai fundamentalis, yang dikonotasikan sudah dekat dengan 
teroris. 

Di era reformasi dan penjajahan modern ini, sudah begitu banyak 
aset-aset umat dan bangsa yang sudah hilang. BUMN sudah banyak yang 
dijual. Kekayasan alam telah punah. Ekonomi, politik, teknologi, 
budaya, dan sebagainya juga telah dikuasai. Yang masih tersisa dalam 
diri kita saat ini adalah kemerdekaan iman dan pemikiran; kemerdekaan 
untuk meyakini kebenaran agama kita sendiri, kemerdekaan untuk 
memahami Al-Quran dengan cara kita sendiri, bukan dengan cara agama 
atau budaya lain. 

Kini, sisa-sisa milik kita yang paling pribadi dan vital itu pun mau 
dirampas pula. Kita tidak boleh meyakini agama kita sendiri yang 
benar, dan harus memeluk paham pluralisme dan relativisme. Kita tidak 
boleh lagi menggunakan Ilmu Tafsir kita sendiri dalam memahami 
Al-Quran, karena sudah ada ilmu baru yang disodorkan Barat yang 
bernama hermeneutika. Intinya, kita disuruh beragama, sebagaimana 
orang-orang Barat beragama. 

Sayang sekali, saat ini, kemerdekaan iman dan pikiran kita itulah yang 
hendak mereka rampas, baik dengan cara halus maupun kasar. Kita bisa 
paham, jika yang berniat merampas kemerdekaan iman dan pikiran kita 
adalah orang-orang sejenis Snouck Hurgronje dan kawan-kawannya. Tapi, 
alangkah sedih dan prihatinnya kita, jika yang melakukan perampasan 
iman dan pikiran kita itu adalah oknum-oknum bergelar doktor dalam 
bidang agama, yang sedang berkuasa di lembaga-lembaga agama. 
  
Mudah-mudahan Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk 
mempertahankan iman dan pemikiran keislaman kita di tengah zaman yang 
penuh dengan fitnah ini. Amin. 
  [Depok, 14 Desember 2007/www.hidayatull ah.com] 

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara 
Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah. com 


 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke