Wawancara JIL dengan Fauzi Isman:
Iklim Kebebasan Kita Harus Disyukuri
03/07/2006

Perubahan sikap eskrem dalam beragama sangat mungkin asalkan sang 
ekstremis mau membuka diri dan bergaul dengan banyak orang dari latar 
belakang berbeda. Itulah yang pernah terjadi pada Fauzi Isman, mantan 
aktivis Kelompok Warsidi yang getol memperjuangkan negara Islam di 
tengah rezim represif Orde Baru. Pria yang kini menjadi terapis 
akupuntur itu menuturkan pengalamannya kepada M. Guntur Romli dari 
Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (22/6) lalu.

M. GUNTUR ROMLI (JIL): Mas Fauzi, apa yang dulu menjadi cita-cita Anda 
dan teman-teman waktu ikut terlibat kasus Tegalsari Lampung yang 
berkehendak mendirikan negara Islam itu?

FAUZI ISMAN: Cita-cita kami waktu itu, yang kemudian distigmatisasi oleh 
pemerintah sebagai gerakan pengacau Warsidi, adalah keinginan mendirikan 
negara Islam. Kenapa kami berpandangan seperti itu? Karena kami melihat 
bahwa Pancasila sebagai ideologi negara waktu itu telah gagal. Dan kami 
waktu itu melihat Islam sebagai sebuah alternatif. Saat itu kami yakin 
bahwa hanya dengan Islamlah bangsa ini akan dapat dibawa ke arah 
perubahan yang lebih baik.

JIL: Anda sebagai apa dalam Kelompok Warsidi?

Awalnya, kelompok Warsidi itu adalah salah satu faksi di dalam kelompok 
NII (Negara Islam Indonesia). Pada waktu itu, kelompok ini merupakan 
pecahan dari kelompok Usroh, Santan Nur Hidayat. Kemudian Nur Hidayat 
merekrut saya, Darsono, dan Wahidin, yang kebetulan punya pemikiran yang 
sejalan. Melihat kita perlu segera mewujudkan negara Islam, kita harus 
membentuk kekuatan militer. Sebab waktu itu, kekuatan militer cukup 
dominan dan tindakan represi dari pemerintah Orde Baru keras sekali. 
Banyak sekali aktivis-aktivis NII yang dipenjarakan, sehingga waktu itu 
faksi-faksi ini seperti kehilangan pemimpin, sehingga mereka-mereka yang 
sudah punya pola pikir fundamentalis tidak tersalurkan ke dalam aksi 
perbuatan. Itulah dasar pemikiran kami sehingga membentuk suatu jamaah. 
Kami tidak membentuk apa-apa lagi, tapi kira-kira jamaah itu bertujuan 
untuk mendirikan negara Islam.

JIL: Mengapa ideologi Islam begitu mempesona sebagai alternatif di masa itu?

Saya pribadi tertarik karena sikap kritis terhadap rezim yang berkuasa 
ketika itu. Dan ketertarikan saya pertama kali terhadap ideologi Islam 
bermula ketika mengikuti training yang diselenggarakan Pelajar Islam 
Indonesia (PII) di Bandar Lampung. Pada waktu itu, saya masih duduk di 
kelas 3 SMP. Saat itulah saya sadar bahwa sebagai seorang muslim, 
seharusnya saya mencari pandangan hidup ataupun ideologi yang Islam. 
Tapi dari sana juga saya menyadari kekuarangan pemahaman saya tentang 
Islam, sehingga saat duduk di kelas 1 SMU, saya minta orangtua saya 
memondokkan saya di pesantren Tambak Beras, Jombang.

Saya sempat dua tahun belajar di sana dan dari situ pula saya makin 
menyadari pentingnya ideologi Islam setelah mengkaji fikih Islam dan 
segala macam disiplin ilmu di pesantren. Saya lalu kuliah di perguruan 
tinggi umum di Jakarta. Di Jakarta inilah kemudian saya bertemu dengan 
kelompok NII, salah satu faksi NII Nur Hidayat. Saya tertarik karena 
semangat dia yang menggebu-nggebu hendak menegakkan syariat Islam di 
Indonesia.

Sebagai kelanjutan dari itu, kami membuat satu program yang ingin 
memberi suatu percontohan tentang negara Islam. Kami sebut Islamic 
Relief di Lampung. Lalu kami sosialisasikanlah misi ini ke faksi-faksi 
NII yang lain. Misalnya ada faksi dari Tahmid, faksi Ajangan, faksi 
Masduki, dan faksi lainnya, termasuk orang-orangnya Abdullah Sungkar dan 
Abu Bakar Ba’asyir. Tapi waktu itu Ba’asyir lari ke Malaysia, dan 
sebagian orang menganggap tindakan Ba’asyir dan Sungkar tersebut sebagai 
tindakan pengecut.

Saya ingat persis, waktu itu seorang teman bernama Usman selalu 
mengatakan kok ada rasul yang hijrah duluan meninggalkan jamaahnya. 
Kebetulan setelah itu kami bertemu jamaah Warsidi di Lampung yang juga 
salah satu jamaah NII. Setelah itu, jadilah kami kelompok yang paling 
keras di antara yang keras. Itulah isu di kalangan NII kala itu. Kami 
lalu membuat program Islamic Village, dan melakukan program hijrah. Kami 
pindahkan keluarga-keluarga kami, lebih kurang 100 keluarga, ke tanah 
Warsidi.

Kepindahan orang-orang yang waktu memakai krudung masih dianggap aneh 
dan identik dengan ciri kelompok fundamentalis. Itu lalu menimbulkan 
kecurigaan aparat pemerintah. Sebab waktu itu pendekatan intelijen dan 
militer sangat kuat. Danramil waktu itu, Kapten Sutiman, meminta Warsidi 
untuk melaporkan kegiatannya, yang ditolak Warsidi. Tindakan menolak itu 
yang lalu dinamakan pembangkangan. Karena laporan intelijen juga 
menyebut kami sebagai kelompok radikal, lalu Sutiman melakukan 
penyerbuan dengan satu pasukan.

Di situlah terjadi insiden karena jamaah melakukan perlawanan dan 
Sutiman tewas. Selang dua hari kemudian, barulah Komandan Korem 
melakukan operasi pembersihan, sehingga banyak yang tewas. Ada sekitar 
200 orang korban. Kami yang sisanya kemudian ditangkap, diadili, dan 
mengalami penyiksaan selama proses pemeriksaan. Pada waktu itu, saya 
diadili di Jakarta dan divonis 20 tahun penjara.

JIL: Kapan Anda berubah dari cita-cita ingin negara Islam menuju gerakan 
memperkuat basis-basis demokrasi?

Perubahan itu tidak terjadi seketika. Ada proses yang panjang dan mulai 
timbul ketika saya berada di penjara yang cukup lama, yaitu 10 tahun. 
Padahal usia saya waktu itu baru 22 tahun. Cuma waktu itu saya punya 
satu dasar yang menganggap semua itu sebagai proses mencari kebenaran 
dalam hidup. Itu dimungkinkan karena dalam diri saya ada sikap kritis.

Setelah mengalami kegagalan di Lampung, di penjara kita punya banyak 
waktu untuk kontemplasi atau melakukan muhasabah. Di situlah sikap 
kritis muncul. Doktrin-doktrin NII yang saya telan begitu saja selama 
ini, mulai saya kritisi. Dalam NII, kalau kita mengaji, ada konsep 
bai’at. Dampak psikologis bai’at itu ternyata betul-betul sangat 
mendalam. Seakan-akan, kita berbai’at di hadapan Allah langsung. Kalau 
kita melanggar bai’at itu, berarti kita menentang Allah. Padahal kita 
berbai’at tidak kepada Allah, tapi kepada manusia biasa yang kebetulan 
pimpinan. Belakangan saya bertanya, otoritas apa yang ia punya kok 
mengatasnamakan Allah?

Pada awalnya, saya takut-takut juga berpikir begitu. Tapi saya coba 
mencari referensi dari kitab-kitab fikih, apakah bisa bai’at tersebut 
dibatalkan. Dan saya kebetulan juga senang bergaul di dalam penjara. 
Waktu itu, tahanan politik ataupun narapidana politik ada sekitar 100 
orang yang dibagi antara ekstrem kiri dan ekskrem kanan. Ekstrem kiri 
adalah tahanan politik yang terlibat atau diduga terlibat dalam kasus 
G30S/PKI, sementara ekstrem kanan yang terlibat masalah-masalah Islam 
kayak kasus Tanjung Priuk, Lambung, Usroh, dan NII.

Lalu saya berjumpa narapidana politik kasus Timor Timur. Ada yang 
bernama Sanan dan ada juga dari OPM (Organisasi Papua Merdeka), almarhum 
Dr. Thomas Wangggai. Nah, saya senang bergaul dengan mereka. Di situlah 
terjadi diskusi yang intens, walau kami tinggal di blok khusus EK 
(Ekstrem Kanan) yang dipisah dari tahanan khusus EK (Ekstrem Kiri) atau 
PKI. Blok tahanan Tim-Tim juga tersendiri. Pengawasannya sangat ketat. 
Tapi dari interaksi itulah saya memahami orang komunis.

Saya tidak tahu kebijakan apa pada waktu itu yang membuat pimpinan LP 
dan Bakorsanada menyatukan tahanan Lampung satu blok dengan tahanan 
politik G30S/PKI. Saya ketemu Kolonel Latif, Sersan Bungkus dari 
Cakrabirawa, dan bergaul juga dengan Asep Suryaman, anggota biro khusus 
PKI. Juga ketemu Sukatno, Ketua Pemuda Rakyat, dan Rewang Iskandar 
Subekti. Dari pergaulan dengan mereka saya tahu, meskipun ideologi 
mereka komunis, tapi mereka tidak atheis sebagaimana yang selama ini 
saya pahami. Pak Latif tetap shalat Jumat ke Masjid, dan Asep Suryaman 
juga demikian. Itu pengalaman yang sangat mengesankan bagi saya yang 
pada akhirnya membuat pandangan saya tentang mereka tidak hitam-putih.

Saya bisa memahami latar belakang perjuangan mereka. Tapi ketika itu, 
tahun 1990, setiap tanggal 1 Oktober, bersamaan dengan peringatan 
G30S/PKI, tahanan PKI itu diambil untuk diekskusi mati. Saya masih satu 
blok dengan mereka-mereka. Saya di kamar 11, sementara Pak Asep Suryaman 
di kamar 4. Nah, pada tengah malam ketika dia ingin dipanggil, mereka 
sudah tahu kalau akan dieksekusi. Mereka lalu datang untuk pamitan ke 
kamar saya. “Bung, kalau saya ada kesalahan dalam pergaulan dengan Anda, 
saya minta maaf. Saya tidak tahu apakah saya termasuk mereka yang akan 
dipanggil atau tidak,” katanya. Padahal dia sudah menjalani hukuman 
penjara 27 tahun. Karena itu, dia mengatakan, “Saya sudah siap 
menghadapi kematian.”

”Apa yang membuat Anda siap, Pak?” tanya saya. ”Saya membawa ini,” 
katanya sambil menunjukan buku surat Yasin kecil di kantongnya. Saya 
sangat tertegun melihat peristiwa itu. Ternyata saya salah selama ini. 
Mereka berideologi komunis, tapi tetap shalat. Dan ketika menghadapi 
kematian, buku Yasin kecil itu yang membuat dia yakin. Itulah yang 
mengubah pandangan saya agar tidak melihat orang lain secara 
hitam-putih. Padahal, selama ini, dalam NII diajarkan, pokoknya orang 
yang di luar kelompok kita adalah kafir dan segala macam cap buruk 
lainnya. Nah, itu yang mengubah saya, dan mendorong untuk mengupas dan 
mengkritisi doktrin-doktrin NII.

JIL: Mengapa Anda begitu lama tersadar akan kekeliruan doktrin NII?

Karena kelompok-kelompok seperti itu kan melarang jamaahnya untuk 
bergaul dengan kelompok lain. Untuk pengajian di jamaah lain pun nggak 
boleh. Kita juga dilarang membaca buku-buku di luar buku doktrin yang 
tersedia. Dulu ketika masih di NII, bacaan wajib saya adalah kitab 
Jundullâh (Serdadu Tuhan, Red). Di situ diterangkan, kalau kita sudah 
menyatakan kesetiaan atau walâ kepada seorang pimpinan, maka kepada 
selain dia harus barâ’ atau emoh taat. Ternyata, setalah saya pelajari 
lagi, konsekuensinya kan tidak selamanya seperti itu dalam kehidupan 
kita ini.

JIL: Ada buku yang mempengaruhi Anda ketika di penjara?

Banyak sekali. Kebetulan kami dikunjungi pula oleh berbagai kelompok. 
Saya mulai merambah buku-buku Islam dari berbagai lapisan. Buku-buku 
yang dikarang ulama Syiah juga saya baca. Buku-buku tentang demokrasi 
segala macam juga saya baca. Saya merasa beruntung ketika di penjara 
mempunyai banyak kesempatan untuk belajar, intropeksi-diri, kontemplasi, 
dan bergaul, termasuk dengan tahanan kriminal. Dari situ saya memahami 
tidak semua orang yang divonis kriminal itu jahat. Kadang-kadang lebih 
banyak motif ekonomi yang menyebabkan mereka terjebak dalam kriminalitas.

JIL: Mas Fauzi, bagaimana Anda melihat pelbagai gerakan Islam radikal 
yang sekarang ini cukup lantang bersuara memanfaatkan iklim demokrasi di 
Indonesia?

Bagi saya ada penyelesaian yang sangat gampang: penjarakan saja mereka 
dalam waktu yang lama, sehingga bisa intropeksi. Tapi memenjarakan itu 
tentunya kalau mereka melanggar hukum. Jadi pemerintah harus melakukan 
tindakan tegas. Menurut pengalaman saya, orang-orang ekstrem yang 
dipenjara cukup lama di masa lalu, akan merasakan pengalaman psikologis 
dalam perkembangan kesadaran mereka. Sehingga dengan begitu, mereka yang 
tadinya terlalu radikal akan jadi moderat.

Saya bisa contohkan kasus Abdul Kadir Barajah. Tadinya kita mengenal dia 
sebagai pengeboman Borobudur. Ketika divonis 18 tahun penjara dan 
menjalani masa tahanan hampir 12 tahun, setelah keluar dia mendirikan 
gerakan Khilafatul Muslimin yang lebih berorientasi kultural. Jadi dia 
tetap memperjuangkan syariat Islam, tapi dengan cara yang lebih ramah. 
Jadi, saya bisa katakan bahwa mayoritas orang-orang yang dulu 
berpandanagan radikal seperti Abu Bakar Ba’asir dan lain sebagainya itu, 
ketika dipenjara menjadi cukup moderat atau arif. Dalam kasus NII, saya 
bisa sebutkan nama Tahmid Kartosuwiryo, kemudian almarhum Aceng Kurnia, 
dan banyak lagi.

Pengalaman intropeksinya itu lebih lama, sehingga mereka bisa menyadari 
sebetulnya di mana kesalahannya. Hanya saja, dulu Abu Bakar Ba’syir 
kabur ke Malaysia dan tidak berani menghadapi pengadilan dan 
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Itu memang hak dia. Tapi saya 
memilih strategi pencerahan, melakukan kajian, dan diskusi tentang Islam 
politik. Dengan begitu, tafsiran tunggal yang monopoli kebenaran tentang 
negara Islam yang selama ini didomonasi oleh kelompok-kelompok ekstrim 
tersebut, mendapat pembanding. Ternyata, kalau kita kaji 
literatur-literatur klasik Islam, banyak sekali sikap moderat dalam 
memandang hubungan Islam dan negara. Tapi karena selama ini tidak ada 
pembanding, orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal Islam itu jadi 
terkesima. Saya dulu juga orang yang seperti itu.

JIL: Menurut Anda, apa perbedaan antara kelompok-kelompok radikal Islam 
radikal saat ini dengan Anda dulunya?

Ada satu hal mendasar yang saya lihat. Kalau dulu, munculnya 
radikalisasi dari kalangan Islam itu karena adanya tindakan represif 
dari penguasa. Jadi kita berbeda pendapat sedikit saja sudah ditahan, 
diintrogasi, dan disiksa. Kita nggak bisa bebas. Khatib-khatib Jumat, 
kalau dulu mau berkhutbah, bahannya harus diperika dulu oleh Laksusda 
Jaya dan Bakorkanas seminggu sebelumnya. Tapi sekarang, saya melihat 
kekerasan itu justru terjadi secara horisontal, bukan untuk melawan 
kesemena-menaan, dan hanya untuk pemaksaan pendapat. Jadi ada keinginan 
untuk memonopoli dan kalau ada orang yang tidak sependapat dengan dia, 
dilakukanlah berbagai tindak intimidasi, stigmatisasi, dan teror.

Itulah yang membedakan keduanya. Karena itu, untuk yang saat ini, saya 
tidak melihat adanya alasan bagi mereka untuk bertindak. Terhadap 
pelacur dipukuli; apa alasannya? Saya yakin, tidak ada orang yang ingin 
menjadi pelacur. Jadi harus dilihat persoalannya itu apa sebenarnya.

Jadi proses radikalisasi itu dulunya untuk melawan represi, sementara 
kini untuk melakukan represi?

Ya, karena itu kini tidak ada alasan rasional untuk ada. Tapi anehnya, 
terhadap kelompok yang melakukan anarkisme itu, tidak ada penekanan yang 
memadai dari aparat. Saya tidak melihat aparat melakukan itu pada 
Muhammad Riziq Shihab, misalnya. Seharusnya, dia bersyukur dengan 
kondisi saat ini. Dulu kita memperjuangkan dan menyosialisasikan wacana 
Islam dan bicara soal negara Islam saja sudah dipenjara. M. Irfan Awas 
itu dulu pernah menerbitkan buletin Risalah lalu kalau tidak salah, 
dipenjara 7 tahun. Itu hanya karena dia mau menerbitkan buletin yang 
menyosialisasikan wacana negara Islam.

Nah, sekarang kan dengan bebasnya kita bisa berdiskusi dan berwacana. 
Kondisi ini harus kita syukuri, dan untuk itu, tawarkanlah ide-ide 
negara Islam dengan cara yang ramah. Biarlah masyarakat yang menentukan 
mau menerima atau tidak. Bukan dengan pemaksaan seperti yang terjadi 
sekarang ini.

JIL: Beberapa individu yang sempat seideologi dengan Anda juga 
dipenjara, tapi setelah keluar tetap tak berubah. Apa yang membedakan 
orang seperti Irfan Awwas itu misalnya, dengan Anda?

Irfan Awwas itu dipenjara di Nusakambangan, sebuah daerah terisolir. 
Jadi pergaulan dia dengan kelompok-kelompok politik yang lain sangat 
terbatas. Sehingga dia tidak punya kesempatan untuk bergaul dengan orang 
lain, seperti tahanan politik dari berbagai latar belakang ideologi. 
Tapi memang ada juga yang pernah sama-sama di Cipinang dengan saya, tapi 
kini tetap ekstrem. Saya ingin contohkan Abu Fatih yang sekarang menjadi 
ketua Mantiqi II Jamaah Islamiyah yang sedang dicari-cari. Namanya dulu 
dikenal sebagai Abdullah Mansyuri. Tapi saya melihat, memang sejak dulu 
dia tidak mau bergaul dengan orang lain. Dia tetap memelihara sikap 
ogahnya.

Dulu saya ingat, pernah ada bantuan dari kelompok Gereja. Dia begitu 
takut bantuan itu akan membahayakan akidah. Pasti mereka ingin 
mengkristenkan kita, pikirnya. Padahal, kalau dia sudah yakin dengan 
ideologi Islamnya, kenapa mesti takut akan dikristenkan? Dia sampai 
membakar baju yang diberikan pihak gereja. Jadi memang ada sikap-sikap 
yang tidak mau bergaul sejak dulu. Mungkin itu pilihan dia. Saya kira 
itu di antara beberapa faktor yang penting. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1076



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
See what's inside the new Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/2pRQfA/bOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke