http://serbaserbikehidupan.blogspot.com/2008/09/indoglish.html

Di tempatku bekerja, sebuah kursus Bahasa Inggris yang lumayan punya nama di 
Indonesia, kita semua guru berusaha untuk mematuhi ‘peraturan-peraturan’ 
English yang baku tatkala menggunakan bahasa yang diimport dari negeri Ratu 
Elizabeth ini. Termasuk penggunaan kata “Mr. …” yang seyogyanya diikuti oleh 
family name, sehingga kita sangat jarang menggunakan kata “Mr. …” ini untuk 
menyebut nama seorang guru laki-laki. Maklum, kebetulan di kantorku tidak ada 
satu guru laki-laki pun yang memiliki family name di belakang nama mereka. Beda 
dengan penggunaan “Ms. …” yang memang ada dalam kamus untuk menyebut nama guru 
perempuan sejak zaman baheula. Walhasil, “Ms. Nana” terdengar biasa-biasa saja, 
sedangkan “Mr. Agung …” jarang terdengar, kecuali siswa-siswi yang menyebutnya. 
Kita tetap menyapa rekan kerjaku itu sebagai, “Pak Agung …”.
Tatkala aku menghadiri seminar TEFLIN yang diselenggarakan di Surabaya tahun 
2002, dan Jack C. Richards sebagai salah satu keynote speaker encouraged orang 
untuk menumbuhkembangkan localized English, aku hanya berpikir, mungkin dalam 
Indoglish (baca  INDONESIAN ENGLISH) kita bisa menyisipkan kata-kata yang tak 
ada dalam Bahasa Inggris, misal “deh”, “sih”, “dong” dlsb. NOTE: kerangka dasar 
pemikiran Jack C. Richards adalah bahwa English is a universal language, 
sehingga di masa ini, orang-orang British, American, maupun Australian tak lagi 
bisa merasa ‘arogan’ sebagai pemilik bahasa ini. Yang paling penting adalah, 
asal para ‘interlocutor’ saling memahami tatkala mereka berkomunikasi.
Satu kenyataan lain yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kita tidak 
memiliki native speaker. Semua guru lokal dengan asumsi bahwa para guru dulu 
pun mengalami masa-masa awal mempelajari bahasa import ini, sehingga diharapkan 
mereka akan mampu mentransfer pengalaman mereka kepada para siswa.
Di kantorku yang baru ada beberapa guru expat. Banyak pula siswa yang mixed 
blood. Dan ternyata justru di sinilah aku menemukan gejala “Indoglish” yang 
sebenar-benarnya.
Contoh:
“Halaman berapa?” yang seharusnya diterjemahkan menjadi “What page?” ternyata 
di kantorku yang baru ini sangat biasa menemukan anak-anak yang bertanya, “Page 
how many?”
“Kamu bisa ga?” yang tatkala diterjemahkan kedalam English, kita seharusnya 
menyertakan kata kerja, misal, “Can you do that?” menjadi ‘hanya’, “Can you?” 
dan kemudian dijawab, “Can!” dengan nada yang sama persis tatkala kita 
mengucapkan bahasa Indonesia, “Bisa!” atau tatkala seorang siswa merayu seorang 
guru, misal agar bisa agak molor mengumpulkan tugas, “Can ya Miss? Can ya?” 
Satu penggalan kalimat yang TIDAK PERNAH KUAJARKAN di kursus Bahasa Inggris 
tempat aku bekerja sejak tahun 1996 itu.
Contoh berikut tidak hanya diucapkan oleh siswa-siswi, namun juga diucapkan 
oleh beberapa guru.
Misal, “Bisakah saya bertanya sesuatu Pak?” diterjemahkan menjadi, “Can I ask 
you something Mister?” “Bisa ya Pak?” menjadi, “Can ya Mister ya?”
Selain vocabulary dan word order yang ‘aneh’ itu, logat bicara yang sangat 
nJawani terdengar sangat kental.
Aku perhatikan, para expat itu pun akhirnya “tunduk” pada “word order” 
Indoglish ini sehingga mereka tak lagi menganggapnya aneh. Kupingku saja yang 
masih sering merasa ‘risih’ tatkala mendengarnya. Namun sebagai seseorang yang 
beradaptasi dengan mudah (terutama dalam penggunaan bahasa, termasuk dialek dan 
logat), tak lama lagi aku pun “jangan-jangan’ akan ketularan. LOL. Selama ini 
rekan-rekan kerja di kantor lama menganggap logatku dalam berbicara bahasa 
Inggris lumayan ‘bisa melepaskan diri’ dari pengaruh nJawani maupun Semarangan, 
(meskipun di telinga Abangku yanglama tinggal di luar negeri aku masih 
terdengar Jowo banget), ‘jangan-jangan’ tak lama lagi aku akan ketularan logat 
berbicara siswa-siswi dan rekan kerja baruku. Maklum, lebih banyak guru lokal 
dari pada guru expat-nya.
Kembali ke apa yang dikatakan oleh Jack C. Richards, kita harus tetap bangga 
dengan our localized English. Nevertheless, I do hope, I WILL NOT GET 
CONTAMINATED. LOL.
PT56 20.4 260908

Minds are like parachutes, they only function when they are open.   (Sir James 
Dewar)
visit my blogs please, at the following sites
http://afemaleguest.blog.co.uk
http://afeministblog.blogspot.com
http://afemaleguest.multiply.com

THANK YOU
Best regards,
Nana



      

Reply via email to