Humaniora         
Sabtu, 19 November 2005     
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0511/19/humaniora/2222140.htm

Indonesia, Negara-Bangsa Majemuk yang Timpang

Budi Radjab

Fenomena masyarakat majemuk adalah hal yang umum! Di antara sekitar 175 
negara anggota PBB yang bersifat multietnik, hanya ada sekitar 12 negara 
yang kurang lebih homogen, di antaranya kalau di Eropa adalah Jerman, di 
Asia adalah Jepang, dan di Afrika adalah Somalia.

Jadi, keragaman penduduk itu bukanlah khas Indonesia, meskipun mesti 
diakui heterogenitas penduduk Nusantara ini cukup besar. Mungkin 
padanannya hanya ada pada negara India dan China.

Dari Sabang sampai Merauke ada ratusan suku bangsa dengan bahasanya 
sendiri-sendiri. Anutan agama formal dari sekian ratus suku bangsa juga 
tidak sama; ada yang Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha.

Memang ada hubungan antara suku bangsa tertentu dengan anutan agama 
tertentu, umpamanya menjadi orang Sunda dan Melayu identik dengan 
beragama Islam, sebagaimana halnya menjadi orang Minahasa identik dengan 
beragama Protestan. Tetapi, hubungan langsung itu juga tidak mutlak, 
misalnya orang-orang Jawa, meskipun mayoritas menganut Islam, ada juga 
yang Kristen. Demikian pula etnik di Tapanuli dan di Kepulauan Maluku, 
ada yang beragama Kristen dan ada pula yang Islam.

Yang jadi persoalan, apakah pluralitas penduduk Nusantara ini jadi 
masalah dalam integrasi dan perkembangan negara-bangsa (nation-state) 
Indonesia?

Masalah ketidakstabilan

Suatu masyarakat dikategorikan majemuk bila memiliki sub-sub kebudayaan 
yang bersifat diverse. Salah satunya ditandai kurang berkembangnya 
konsensus yang disepakati seluruh warga masyarakat.

Pierre L van den Berghe mengajukan beberapa ciri masyarakat majemuk. 
Pertama, adanya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki 
kebudayaan berbeda. Kedua, memiliki struktur sosial yang terfragmentasi, 
yang tidak saling melengkapi. Ketiga, kurang mengembangkan konsensus 
bersama di antara berbagai kelompok atas nilai-nilai yang bersifat 
dasar. Keempat, adanya konflik, meskipun tidak selalu terbuka, di antara 
kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dan, kelima, kalaupun 
terlihat ada integrasi landasannya didasarkan atas paksaan (coersion) 
atau karena adanya dominasi oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok 
yang lain.

Clifford Geertz melihat, meskipun negara-bangsa Indonesia modern telah 
terbentuk sejak 1945, tapi penduduk yang multi-etnis, multi-agama, 
multi-bahasa, dan multi-rasial, setiap kelompok cenderung menelusuri 
identitasnya pada hal-hal yang asali; dari mana mereka berasal dan 
dibesarkan. Dalam rangka hidup berkelompok, penduduk akan mencari, 
membentuk wadah, atau memasuki organisasi yang anggota-anggotanya 
berasal dari agama, bahasa, etnik, dan ras yang dianggap sama.

Hal yang demikian itu oleh Geertz dilihat sebagai pengelompokan yang 
keanggotaannya didasari ikatan primordial (primordial attachments). 
Secara sosiologis kelompok ini terbentuk karena di antara para 
anggotanya mempunyai perasaan keterikatan yang sama pada daerah, 
lingkungan keagamaan, bahasa, ras, atau kebiasaan tertentu, yang hal-hal 
itu dianggap sebagai tempat pertama di mana seseorang mulai hidup dan 
dihidupi. Dan, karena itu mereka tidak boleh berpisah dan memisahkan 
diri, harus memiliki pandangan, orientasi, loyalitas, dan solidaritas, 
serta kepentingan yang sama.

Baik Berghe maupun Geertz melihat kemajemukan sebagai persoalan besar 
dalam kehidupan negara-bangsa, karena masing-masing kelompok sulit 
berinteraksi, tidak memiliki konsensus yang sama atas nilai-nilai dasar 
kenegaraan dan kebangsaan. Menurut Geertz, negara-bangsa yang plural 
akan dihadapkan pada persoalan disintegrasi. Bila ketidakpuasan ekonomi, 
kelas, atau intelektual menjurus pada revolusi yang mendorong pergantian 
tatanan ekonomi dan politik negara-bangsa, tetapi ketidakpuasan yang 
didasarkan ikatan primordial menjurus pada disintegrasi bangsa. 
Perpecahan dalam masyarakat majemuk korbannya bukan individu, kelompok, 
atau kelas tertentu, tapi negara-bangsa itu sendiri yang akan tercerai 
berai; negara-bangsa itu akan terdisintegrasi, terpecah.

Kemajemukan berlapis

Bila kita mengamati secara komparatif dan saksama pola hubungan dalam 
masyarakat majemuk di dunia, tampaknya tidak semua negara-bangsa yang 
plural menunjukkan ketidakstabilan. Umpamanya negara-bangsa Belgia, 
Switzerland, dan Kanada termasuk ke dalam kategori masyarakat majemuk, 
tetapi heterogenitas penduduk di ketiga negara tersebut tidak begitu 
menjadi persoalan dalam integrasi nasional. Tidak terjadi konflik yang 
terbuka antarkelompok, dan negara selalu dalam keadaan stabil. Tetapi di 
pihak lain, di beberapa negara di Afrika, Timur Tengah, Yugoslavia, Asia 
Tenggara, hubungan antaretnik dan penganut agama yang berbeda sering 
kali berada dalam situasi konflik yang terus menerus, sehingga 
ketidakstabilan merupakan hal yang juga berlarut larut.

Ketika JS Furnivall mengamati pola-pola hubungan pada masyarakat plural 
di zaman Hindia-Belanda, ia melihat, pluralitas masyarakat di wilayah 
Nusantara di samping menunjukkan kemajemukan horizontal, sekaligus juga 
merefleksikan pelapisan sosial-ekonomi. Ras tertentu, yaitu kulit putih 
(sebagian besar orang Belanda), memiliki akses dan kontrol yang besar 
pada sumber-sumber daya ekonomi dan memegang tampuk kekuasaan politik. 
Kemudian lapisan penduduk yang menempati posisi di bawah penguasa 
kolonial adalah kelompok ras Timur asing seperti China, India, dan Arab 
yang bergerak di bidang perdagangan. Sementara sebagian besar masyarakat 
pribumi, baik di Jawa maupun di luar Jawa, dalam penguasaan 
sumber-sumber daya ekonominya kurang, bergantung pada pengelolaan 
sumber-sumber daya alam dengan menggunakan teknologi yang belum maju.

Dengan kata lain, di samping heterogenitas, masyarakat Indonesia 
menunjuk pada diferensiasi sekaligus pula memperlihatkan polarisasi. 
Dan, menurut Furnivall, pada setiap masyarakat majemuk di mana pun 
selalu terdapat konflik kepentingan. Namun, konflik kepentingan tersebut 
menemukan sifatnya yang tajam, karena kesenjangan dalam penguasaan 
sarana produksi dan kekayaan jatuh bersamaan dengan kemajemukan 
masyarakat. Masyarakat plural Hindia-Belanda, di samping berbeda pada 
aspek-aspek budaya dan agama, juga timpang dalam sektor ekonomi dan 
politik. Kondisi yang demikian sangat potensial untuk terjadinya ledakan 
konflik yang terbuka.

Setelah Indonesia merdeka, struktur masyarakat majemuk yang timpang itu 
tidak banyak mengalami perubahan, perbedaan horizontal tetap diikuti 
perbedaan vertikal. Malah di masa rezim Orde Baru berkuasa ketimpangan 
antardaerah, antarlapisan masyarakat, dan antarsuku bangsa bukannya 
dieliminsi, tetapi lebih diperkuat.

Model pembangunan Orde Baru telah mengakibatkan terjadinya ketimpangan 
regional, (Jawa dengan luar Jawa serta kota dengan desa); sektoral 
(industri dengan pertanian rakyat); antarlapisan masyarakat (pengusaha 
besar dengan pengusaha kecil); dan antar-ras (nonpribumi dengan 
pribumi). Strategi pembangunan Orde Baru sama sekali tidak mengusahakan 
untuk mengangkat kelompok-kelompok masyarakat yang katakanlah dalam 
tingkat peradabannya masih berada pada lapisan bawah. Sebaliknya, 
sumber-sumber daya ekonomi yang tersimpan dan dikuasai pada lapisan 
bawah dieksploitasi dan diekstraksi secara besar-besaran demi 
kepentingan lapisan atas.

Implikasi dari model pembangunan Orde Baru adalah terjadinya 
marjinalisasi pada masyarakat yang tingkat peradabannya berada di level 
bawah.

Politik rezim Orde Baru dalam mengelola pluralitas terfokus pada 
pengeliminasian perbedaan masyarakat pada tataran horizontalnya, tetapi 
perbedaan vertikalnya tidak diupayakan untuk didekatkan. Karena itu, 
hingga kini kita masih melihat dengan jelas berbagai ketimpangan. Ada 
suku bangsa atau ras atau pemeluk agama tertentu yang penguasaan atas 
sarana produksi dan kekayaan lebih banyak dibandingkan dengan suku 
bangsa, ras, dan pemeluk agama lain. Di samping itu, secara regional 
kita pun mengamati ada daerah yang kaya, sementara daerah lain miskin 
padahal sumber daya alam yang ada di situ cukup melimpah.

Beberapa prasyarat

Selama Orde Baru memegang pemerintahan, konflik antarkelompok etnik atau 
agama memang tidak banyak muncul. Hal itu dikarenakan sebelum muncul 
terbuka ke permukaan dengan segera diredam dengan tindakan yang 
represif. Namun, saat pusat kekuasaan rezim Orde Baru jatuh dan aparat 
keamanan yang menopangnya kehilangan legitimasi, konflik laten yang ada 
pada masyarakat plural menjadi mengeras. Dan, biasanya, konflik yang 
muncul dari adanya perbedaan horizontal dan vertikal ledakannya besar.

Peristiwa-peristiwa konflik di masa lalu yang belum begitu jauh dan 
masih berbekas sampai sekarang ini, seperti di Ambon, Poso, Sambas, 
Aceh, dan Papua sedikit banyak dapat merepresentasikannya. Boleh 
dikatakan, faktor dominan dari terjadinya konflik tersebut adalah akibat 
dari politik rezim Orde Baru yang monolitik, sentralistik, 
otoritarianisme, serta pengabaian prinsip pemerataan ekonomi.

Masyarakat majemuk memang punya potensi untuk konflik, karena adanya 
perbedaan dalam orientasi agama atau kultural pada masing masing 
kelompok. Namun, konflik itu tak akan termanifestasi bila perbedaan 
horizontal tak diikuti perbedaan vertikal. Jika berbagai kelompok 
masyarakat yang pada mulanya sudah memiliki perbedaan lalu berbeda pula 
dalam penguasaannya atas sumber- sumber daya ekonomi dan politik, 
potensi itu menjadi mudah meledak dan akan berlangsung secara dahsyat. 
Namun, potensi itu tak akan termanifestasi bila persyaratan-persyaratan 
tertentu dipenuhi.

Pertama, sistem negara itu demokrasi-partisipatif. Semua kelompok 
masyarakat mayoritas atau minoritas, kaya atau miskin, masyarakat dengan 
tingkat peradaban rendah atau tinggi, singkatnya semua lapisan dan 
golongan terwakili dan hubungan di antara kelompok yang berbeda itu 
dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum yang obyektif. Dalam sistem 
demokrasi- partisipatif hukum adalah supremasi; tidak memihak pada 
kelompok tertentu, tapi mengatasi semua kelompok tanpa kecuali.

Kedua, adanya distribusi pendapatan dan sarana ekonomi yang relatif 
merata. Artinya, ketimpangan sosial ekonomi tidak begitu senjang 
antarlapisan, golongan, dan antardaerah.

Di ketiga negara-bangsa yang disebut di atas, Switzerland, Belgia, dan 
Kanada, sistem demokrasi-partisipatif, strategi desentralisasi, dan 
distribusi pendapatan yang relatif merata berjalan dengan baik. Mungkin 
negara kita bisa belajar pada mereka bagaimana cara mengelola masyarakat 
majemuk dengan tetap menjaga kemajemukan itu sendiri. Berarti, di sini 
faktor ekonomi dan politik menjadi signifikan, bahkan determinan, dalam 
mengelola masyarakat majemuk tersebut.

Bila Orde Reformasi yang kini sedang memegang tampuk kekuasaan pada 
institusi-institusi formal kenegaraan juga mungkin orde-orde lain yang 
akan berkuasa nanti memiliki kehendak untuk tetap menjaga keutuhan dan 
mendinamisasi negara-bangsa Indonesia, maka keadilan ekonomi dan 
demokrasi politik yang partisipatif harus menjadi proyek utama dalam 
upaya meredam konflik yang memang melekat dalam masyarakat majemuk 
Indonesia ini.

Budi Rajab Staf Pengajar Jurusan Antropologi, FISIP-UNPAD





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/wlSUMA/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke