Refleksi: Riwayatmu kini hanya 'tjerita tempo doeloe'
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/15/opini/1976751.htm Indonesia Bangsa Maritim, Riwayatmu Kini Oleh: DJOKO SUMARYONO Beberapa hari lagi bangsa Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun Ke-60 Kemerdekaan RI, yakni 17 Agustus 2005. Sebagaimana menyambut bulan Agustus pada tahun-tahun sebelumnya, segenap insan Indonesia mulai dari tingkat RT sampai dengan tingkat nasional merayakan hari ulang tahun kemerdekaan itu dengan berbagai cara. Pada kesempatan ini, penulis ingin mencoba membuka wacana kita semua untuk merenungkan dan mengkaji kembali, apakah selama kita merdeka ini kita telah mensyukuri karunia nikmat Tuhan Yang Maha Esa berupa alam Nusantara dengan keunggulan geografis yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Sudahkah kita bertanggung jawab kepada Sang Maha Pencipta untuk mengisi kemerdekaan itu dengan mengelola kekayaan geografis itu secara konstruktif? Sudahkah kita membuat suatu rencana strategis untuk membangun potensi wilayah maritim kita ini, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang sebagai landasan bagi segenap komponen bangsa di setiap periode untuk memanfaatkan keunggulan geografis yang kita miliki tersebut. Sudahkah kita memelihara karunia itu melalui pembangunan yang berorientasi maritim? Sampai saat ini rasanya perhatian kita terhadap jati diri kita sebagai bangsa maritim terabaikan. Hal itu dapat dilihat pada belum terkelolanya sistem transportasi antarpulau secara memadai. Kisah tragis musibah tenggelamnya KM Digoel di perairan Merauke yang menelan korban sekitar 200 penumpang telah membangkitkan kita dari tidur lama di atas biduk yang tidak kita sadari ternyata sudah lama terdampar di gunung. Banyak pelajaran yang mestinya kita petik dari musibah ini yang menunjukkan betapa kurangnya perhatian kita pada sekelompok anak bangsa yang mengalami musibah di laut. Sejak hari pertama kejadian sampai hari kelima, pertolongan yang dilakukan oleh perangkat daerah di bawah kendali Pejabat Bupati beserta Kepala Polres dan Komandan Lanal Merauke, berjalan seadanya karena keterbatasan sarana yang dimiliki. Dengan jumlah korban mencapai 200 orang, tidakkah lebih bijaksana kalau pertolongan diberikan dalam skala yang lebih besar. Bahkan, jika perlu ditetapkan sebagai urusan SAR Nasional, atau paling tidak atensi yang diberikan bisa lebih profesional dan proporsional. Seyogianya, tanggung jawab SAR tidak diserahkan kepada daerah semata, yang kemampuannya sangat terbatas, tetapi perlu melibatkan berbagai komponen yang memiliki kemampuan penyelamatan di laut. Kenyataannya, sampai hari kesepuluh tidak ada bantuan atau pelibatan unsur pelayaran nasional, baik kapal niaga, kapal penumpang modern yang kita beli dari Jerman yang jumlahnya cukup banyak melayari wilayah Timur, maupun kapal-kapal Penjaga Laut dan Perairan, serta Perhubungan Laut. Bahkan ironisnya, komponen yang memiliki semboyan "Justru di Laut Kita Jaya" pun tidak menampilkan pelibatan yang maksimal (hanya 1 KRI jenis Frosch, yaitu KRI Sangkulirang yang hadir dan membawa peralatan penyelam). Padahal rakyat tahu bahwa kita punya kapal salvage, kapal rumah sakit, dan kapal tunda samudra. Jadi, wajarlah bila rakyat bertanya di mana dan untuk apa kita memiliki sea power kalau dalam masa damai saja tidak terpanggil untuk menolong sesamanya yang sedang mendapat musibah di laut? Padahal, di antara sesama pelaut di dunia ada ikatan kesetiakawanan yang sangat terkenal dengan semboyan seamen brotherhood, seperti dicontohkan oleh Nakhoda MV Tampa saat menolong imigran ilegal yang kapalnya terapung-apung di perairan Selatan Pulau Jawa, serta kesediaan Angkatan Laut Inggris untuk menolong awak kapal selam mini Rusia (Priz As-28) yang terperangkap jaring ikan di dasar laut Samudra Pasifik. Jawabannya, mungkin karena kita semua sudah terlalu lama meninggalkan apa yang pernah menjadi kebanggaan nenek moyang kita sebagai bangsa pelaut. Oleh karena itu, agar generasi penerus tidak mengulangi kesalahan kita selama ini, perlu dilakukan upaya untuk membangkitkan kembali semangat bahari sebagaimana dahulu pernah dimiliki para pendahulu kita. Budaya maritim Memasuki perjalanan 60 tahun Proklamasi Kemerdekaan, harus jujur kita akui bahwa budaya maritim yang pernah kita miliki berabad-abad lalu telah lama kita tinggalkan. Ada beberapa faktor dan indikator yang dapat menjelaskan mengapa kita kehilangan budaya maritim. Pertama, budaya maritim bangsa Indonesia mengalami kemunduran pada abad ke-18 ketika kolonialis Belanda mulai membatasi akses masyarakat Indonesia saat itu untuk berhubungan dengan laut, seperti larangan berdagang dengan pihak selain Belanda. Padahal, suatu peradaban muncul dan berkembang pada awalnya dari wilayah pantai, di mana penduduk yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan pendatang asing. Akibatnya, budaya maritim menjadi luntur. Sayangnya, kita tidak menyadari hal itu, padahal untuk membangun budaya bangsa tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Seorang tokoh Inggris bernama Lord Cunningham pernah menyatakan bahwa, "It takes a Navy three years to build a ship but it takes a nation three hundreds years to build a tradition." Kedua, kebijakan kurang berpihak pada bidang maritim. Sebagai contoh, penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah otonom dirumuskan berdasarkan perbandingan luas wilayah darat terhadap penduduk. Sehingga wajar bila Gubernur Maluku menuntut keadilan DAU karena wilayah lautnya lebih luas daripada daratan. Ini menunjukkan bangsa kita tidak peka dan tidak peduli terhadap keberadaan laut yang mempersatukan kepulauan Nusantara. Ketiga, bangsa kita tidak bisa menangkap momentum kebangkitan Asia Pasifik di mana sea trade meningkat tajam. Ironisnya, perusahaan pelayaran nasional justru menjadi lumpuh karena kalah bersaing dengan perusahaan pelayaran asing yang didukung oleh permodalan yang kuat. Beruntunglah pada tahun ini lahir Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Keempat, kita kurang serius memanfaatkan UNCLOS 1982 padahal UNCLOS 1982 merupakan prestasi terbaik kita dalam memperjuangkan konsepsi negara kepulauan. Bangsa kita kurang maksimal memanfaatkannya. Akibatnya, isu perbatasan pulau-pulau terluar tidak maksimal tertangani. Tidak mengherankan bila sewaktu-waktu bisa saja terjadi insiden seperti kasus Gugus Tempur Kapal Induk USS Carl Vinson pada Juli 2003 di perairan Bawean dan lepasnya pulau-pulau terluar, seperti Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal tersebut dapat saja terulang kembali bila tidak diwaspadai. Kemenangan Malaysia dalam kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Mahkamah Internasional Den Haag pada 17 Desember 2002 karena melakukan penguasaan secara efektif (effective occupation) terhadap kedua pulau itu. Hal itu sebenarnya menjadi pelajaran berharga bagi kita agar kita tidak lagi menyia-nyiakan potensi maritim yang kita miliki. Kelima, bangsa kita belum memanfaatkan laut dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, peluang pemanfaatan potensi perikanan laut yang begitu melimpah belum dikelola untuk menghasilkan keuntungan ekonomis bagi negara. Dengan luas wilayah perairan yang mencapai 3,2 juta kilometer persegi, ditambah hak atas sumber daya laut di perairan ZEE seluas 2,7 juta kilometer persegi, menghasilkan sekitar 6,7 juta ton ikan setiap tahun. Namun, kenyataannya, ikan hasil tangkapan dari wilayah perairan Indonesia pada umumnya dinikmati oleh pengusaha-pengusaha asing. Mereka memanfaatkan pengusaha dalam negeri, yang sebenarnya tidak memiliki armada perikanan sebagai counter part. Oleh karena itu, dari jumlah lebih dari 7.000 kapal armada perikanan di Indonesia, 80 persen di antaranya adalah milik asing yang diberi bendera Indonesia. Kita mestinya belajar dari negara-negara tetangga kita yang demikian proaktif di dalam mengusahakan perikanannya, seperti Thailand. Walaupun luas perairannya itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas perairan Indonesia, Thailand tercatat sebagai the third largest fishing fleet in the world. Negara kepulauan UNCLOS 1982 mengakui eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan, yang mengatur hak dan kewajiban negara kepulauan, antara lain adalah memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di perairan teritorial, zona tambahan, dan ZEE. Selain itu, klausul pengaturan batas maritim bagi negara kepulauan dibedakan dengan pengaturan serupa untuk negara pantai, seperti cara penarikan garis pangkal, penetapan perairan pedalaman, dan penarikan garis pangkal. Adapun kewajiban negara kepulauan di antaranya adalah membuka perairannya bagi kepentingan navigasi internasional, baik lintas damai (innocent passage), lintas transit (transit passage), dan lintas alur laut kepulauan (archipelagic sea lane passage). Bersamaan dengan itu, ruang udara di atas lintas alur laut kepulauan juga dinyatakan terbuka bagi penerbangan internasional. Dalam pelaksanaan kewajiban tersebut, negara kepulauan wajib senantiasa berkonsultasi dengan International Maritime Organization (IMO) sebagai badan PBB yang bertanggung jawab dalam masalah keselamatan pelayaran dan lingkungan laut. Jika mendiskusikan tentang UNCLOS 1982 yang dikaitkan dengan posisi strategis Indonesia, terdapat tiga titik temu dalam hal keunggulan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: Pertama, Indonesia berada pada posisi silang yang secara otomatis memberikan peluang dan risiko. Posisi ini memberi peluang Indonesia untuk meningkatkan posisi tawar terhadap dunia internasional, khususnya dalam isu keamanan kawasan. Sebaliknya, posisi ini berisiko masuknya kekuatan asing untuk ikut mengamankan laut Indonesia. Oleh karena itu, apabila Indonesia tidak memiliki ketegasan sikap terhadap isu keamanan laut, seperti isu Selat Malaka, maka akan menimbulkan kerawanan intervensi asing. Kedua, Indonesia adalah negara kepulauan. Artinya, ada peluang untuk menambah luas wilayah laut teritorial, zona tambahan dan ZEE yang telah dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 hingga pengesahan UNCLOS 1982. Ketiga, Indonesia kaya akan sumber daya laut. Ini merupakan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa apabila dikelola dengan baik dan konstruktif. Sebaliknya, kita hanya akan menjadi penonton apabila orang lain yang menikmati kekayaan tersebut, seperti yang terjadi selama ini. Kesinambungan kebijakan Dalam rangka menggerakkan pembangunan maritim ke depan, ada beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian bersama. Pertama, pembangunan maritim adalah amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sebagai negara kepulauan sudah menjadi kewajiban kita untuk membangun sektor maritim bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Kedua, laut adalah bagian dari budaya bangsa. Selama 60 tahun merdeka, kita belum melakukan upaya serius dalam membangun budaya maritim. Budaya maritim sebenarnya telah menjadi budaya bangsa Indonesia, khususnya pada kelompok-kelompok masyarakat yang bermukim di pesisir pantai. Namun, pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke darat telah memengaruhi eksistensi budaya maritim yang sudah melekat pada sebagian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia, yang mendiami wilayah geografi yang sangat kental dengan nuansa lautnya, sudah saatnya mulai menumbuhkan kembali semangat kemaritiman sebagaimana telah dicontohkan oleh nenek moyang kita. Keinginan orang-orang Eropa pada masa dulu untuk menjelajahi dunia, mencari rempah-rempah hingga kolonialisasi, telah mendorong munculnya kebanggaan bangsa Inggris yang menguasai hingga tiga perempat dunia melalui kemampuannya menguasai lautan, yang dimulai dari ungkapannya Brighton rules the waves hingga ke Pax Britanica. Kebanggaan tersebut terus dipertahankan oleh Bangsa Inggris, bahkan national hero yang menjadi kebanggaannya adalah figur yang terkait dengan kelautan, seperti Admiral Nelson. Ketiga, kesinambungan dan sinkronisasi kebijakan. Terdapat belasan instansi yang memiliki keterkaitan dengan laut, namun sejauh ini belum ada kebijakan maritim yang terpadu dan bersifat lintas sektoral. Merupakan suatu ironi bahwa sebagai negara kepulauan dan negara maritim terbesar di dunia, Indonesia justru tidak memiliki kebijakan maritim yang seharusnya jadi acuan bagi pembangunan nasional. Selama ini ada kesan bahwa berbagai instansi terkait masih bersifat sektoral sehingga menimbulkan kendala dalam koordinasi, integrasi, sinkronisasi berbagai kebijakan kelautan atau kemaritiman. Sebagai contoh, pada sektor perikanan negara telah dirugikan triliunan rupiah per tahun akibat pencurian ikan yang berawal dari kebijakan yang belum komprehensif. Keempat, model pembangunan. Pembangunan di bidang maritim memang bukan merupakan sesuatu yang mudah, apalagi jika hanya bergantung pada anggaran pemerintah. Oleh karena itu, perlu dikembangkan model pembangunan maritim berbasis Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet). Sebagai contoh, untuk pembangunan maritim di sekitar Selat Makassar dibentuk Kapet Maritim dengan senantiasa mengacu pada kebijakan nasional. Terkait dengan Kapet itu agar tidak menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif, perlu ditetapkan dahulu bagaimana status hukum Kapet Maritim dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah. Kiranya momentum ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan yang ke-60 ini merupakan waktu yang tepat untuk melihat kembali jati diri kita sebagai bangsa maritim dan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Sudah sesuaikah pembangunan bangsa yang telah kita laksanakan selama ini dengan jati diri kita sebagai bangsa maritim? Djoko Sumaryono Insan Bahari, Mantan Panglima Armabar [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> <font face=arial size=-1><a href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hs1nej1/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1124068871/A=2894350/R=0/SIG=10tj5mr8v/*http://www.globalgiving.com">Make a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving</a>.</font> --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/