Republika, Kamis, 26 Juli 2007

Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah

Oleh : Azyumardi Azra


Subjek tentang Islam dan negara --khususnya negara 'sekuler'-- tidak
ragu lagi merupakan salah satu tema diskusi dan perdebatan yang
hangat tidak hanya di antara para pemikir dan cendekiawan Muslim,
tetapi juga bahkan di kalangan parpol dan politisi Muslim.

Sekadar mengingatkan, pada dasarnya ada dua aliran mengenai subjek
ini; mereka yang menolak negara Islam atau integrasi resmi Islam ke
dalam negara, dan mereka yang menuntut amalgamasi Islam ke dalam
negara dan kekuasaan politik. Bagi kelompok kedua, pola seperti itu
memungkinkan penerapan syariah dengan kekuatan negara. Menurut
argumen mereka, tanpa kekuatan negara, maka penerapan syariah tidak
akan efektif.

Bagi mereka, penerapan syariah merupakan alternatif satu-satunya
bagi pemecahan berbagai masalah yang dihadapi negara-negara Muslim,
termasuk Indonesia. Karena itu, kelompok ini berusaha melakukan
berbagai upaya agar negara dapat secara resmi mengadopsi syariah.

Di tengah diskusi itu, sangat menarik membaca buku terbaru guru
besar Emory University, Atlanta, Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan
Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan,
2007). Penerbitan edisi bahasa Indonesia simultan dengan edisi
Inggris berbarengan diskusi dengan pengarangnya yang diselenggarakan
Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta.

Tujuan utama buku ini, menurut an-Naim, adalah mempromosikan masa
depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat
Muslimin, tetapi bukan melalui penerapan prinsip secara paksa oleh
kekuatan negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah
hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya.
Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya
apabila dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara
secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan positif
dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut an-Naim
sebagai 'netralitas negara terhadap agama'.

Lebih jauh an-Naim berargumen, syariah memiliki masa depan yang
cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam, karena dapat berperan
dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup beragama, bermasyarakat;
membina lembaga dan hubungan sosial. Syariah akan terus memainkan
peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma dan nilai
etika yang direfleksikan dalam perundangan dan kebijakan publik
melalui politik demokratis.

Tapi penting dicatat, dengan tarikan napas yang sama, an-Naim
berpendapat, prinsip dan aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan
diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan
publik hanya karena alasan bahwa prinsip dan aturan syariah itu
merupakan bagian daripada syariah. Apabila pemberlakuan syariah
seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara
dan bukan hukum Islam. Menurut an-Naim, adanya klaim elite penguasa
yang kadang-kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah
tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin
dilaksanakan.

Namun, menurut an-Naim, ini tidak berarti bahwa Islam -yang
merupakan induk syariah-- harus dikeluarkan dari kebijakan publik
umumnya. Sebaliknya, negara tidak perlu berusaha menerapkan syariah
secara formal agar umat Islam benar-benar dapat menjalankan
keyakinan Islamnya secara sungguh-sungguh, sebagai bagian daripada
kewajiban beragama, bukan karena paksaan negara.

Alasan an-Naim ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun --
baik sebagai mayoritas maupun minoritas-- dituntut menjalankan
syariah Islam sebagai bagian daripada kewajiban keagamaan. Tuntutan
ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral
terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha menerapkan
prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara.

Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya
bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah
tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan
kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-
nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting
digarisbawahi, tulis an-Naim, bahwa hal itu tidak dilakukan atas
nama agama tertentu.

Sebab, jika negara melakukan hal itu, maka dapat membahayakan
perdamaian, stabilitas, dan perkembangan yang sehat seluruh
masyarakat. Karena, mereka yang terabaikan haknya memperoleh
pelayanan dan perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam
politik dan kehidupan publik akan menarik diri; bahkan terdorong
melakukan tindakan kekerasan karena merasa tidak ada cara-cara lain
untuk menyelesaikan masalah.

Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya 'netral' terhadap semua
agama, pemikiran an-Naim sangat relevan dan kontekstual. Karena itu,
tidak ragu lagi, pemikiran an-Naim merupakan kontribusi penting bagi
negara-bangsa Indonesia. Bagi kelompok-kelompok di Tanah Air yang
sampai hari ini memandang syariah sebagai satu-satunya solusi; dan
memperlakukan syariah sebagai 'obat cespleng' untuk menyelesaikan
masalah, buku an-Naim ini patut dipertimbangkan dengan pikiran yang
tenang dan jernih.

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19

Kirim email ke